Oleh: M.Yusuf Putra Sinar Tapango
“Kriiing” suara telepon genggam segera membuyarkan lamunanku. Aku segera meraih ponsel yang terletak di atas meja tak jauh dari tempatku berdiri, di samping jendela kamarku.
”Halo, assalamu alaikum.” Terdengar suara Cindy kekasihku yang sudah tidak asing lagi.
”Iya, halo, walaikum salam sayang. Kamu lagi ngapain?” Jawabku dengan nada pelan, walau sebenarnya aku sangat gugup ingin mendengar kabar tentang pria itu.
”Kak, besok jam 9 pagi kita ketemu di tempat biasa ya. Udah ya kak, Cindy dah mau bobo nih. Assalamu alaikum.” Belum sempat kujawab tapi suara Cindy telah menghilang. ” Ada apa ya?” Tanyaku dalam hati.
***
Kulangkahkan kakiku menapaki trotoar taman Boulevard, tempat di mana aku dan Cindy janjian hari ini. Ehm..taman ini telah jadi saksi bisu cerita cintaku bersama Cindy beberapa bulan ini. Akankah semua berakhir sampai di sini?. Segera kubuang jauh-jauh pikiran itu. Kulihat Cindy sudah duduk di bangkui panjang yang biasa kami gunakan untuk menghabiskan waktu menikmati indahnya taman. Dengan berlari kecil aku segera menghampirinya.
”Pagi sayang.” Kuulurkan tangan dan segera mencium keningnya.
”Pagi kak,” Jawabnya datar. Tidak seperti biasanya, oh my God tatapan matanya kosong, di mana tatapan itu? Mata indah dengan tatapan yang penuh cinta. Sebuah tatapan yang selama ini menyejukkan hatiku kini tak lagi kutemukan.
”Kak, kok melamun?” Tegur Cindy dan segera membuyarkan sejenak lamunanku.
”Eh, iya nggak kok.” Jawabku sekenanya.
”Kak besok Ardi datang. Cindy harus bagaimana kak? Aku tidak sanggup untuk berpisah dengan kak Rendy!”. Kulihat mata Cindy berkaca-kaca. Sejenak aku terdiam. Kutatap wajahnya yang sendu. Bibirku terkunci. Pikiranku kalut antara percaya dan tidak apa yang barusan aku dengar. Akankah cintaku berakhir begini, dada ini seperti terguncang, bingung tapi tak tahu harus berbuat apa.
Kupalingkan wajahku melihat burung-burung yang sedang bertengger di atas pohon tepat di depan kami. Burung-burung itu tak berkicau seperti hari-hari sebelumnya. Mereka seperti larut dalam kesedihan yang kami rasakan. Aku menghela nafas yang panjang, berusaha menguasai diri dan pikiranku. Dengan nada suara yang sedikit bergetar kucoba menenangkannya.
”Tenang sayang, kakak yakin semua ini akan kita lalui bersama. Percayalah kalau memang ditakdirkan untuk hidup bersama, pasti kita akan terus bersama, sampai kapan pun. Namun harus disadari jika cinta memang tidak harus memiliki.” Kataku berusaha untuk menetralisir keadaan, mencoba menghibur Cindy. Jauh di lubuk hatiku sangat pedih dan sangat sulit menerima kenyataan ini. Kusandarkan ia di dadaku. Kubelai rambutnya. Cindy memeluk erat tubuhku. Kristal bening makin menguap di kelopak matanya.
”Tapi Kak! sebelum ia kesini menyusulku Ardi sudah melamar pada kedua orang tuaku. Sekarang kami sudah resmi bertunangan.” Suara Cindy lirih dalam pelukku. Mendengar semua itu seolah kurasakan sesuatu menggerogoti jiwaku. Hatiku sakit, marah, sedih, semua rasa itu bercampur menjadi satu. Tubuh Cindy kupeluk erat. Seluruh tubuhku terasa bergetar hebat. Tak terasa butir-butir air mataku menetes perlahan dari kedua mataku. Tangan kami saling menggenggam. Kami berdua terdiam. Hanya air mata yang terus mengalir. Matahari pagi itu perlahan beranjak naik memancarkan teriknya. Selang beberapa saat, kami memutuskan untuk pulang.
***
Kuhempaskan tubuhku di tempat tidur yang selama ini hampir 3 tahun menemani hariku-hariku di kota sakura ini. Kuraih bingkai foto yang kutaruh di atas meja samping tempat tidurku. Ya., foto kami berdua saat kami berlibur musim dingin di Tokyo. Kutatap dalam-dalam wajah Cindy. Ia adalah gadis yang telah memberi warna dalam hari-hariku. Gadis yang begitu aku cintai. Gadis yang telah membuat aku punya harapan untuk meraih masa depanku yang lebih baik. Akankah aku kehilangan dia?. Apakah ending dari kisah cinta kami harus berakhir seperti ini?. Suara petir menggelegar menyadarkan aku dari lamunanku.
Aku beranjak dari tempat tidurku menuju ke jendela kamar. Kulihat awan hitam berarak di langit. Sepertinya hujan lebat akan segera turun. Selang beberapa saat kemudian hujan turun. Kutatap rinai hujan itu. Ehm..mataku segera tertuju pada bunga anggrek di luar jendela kamar. Rintik-rintik air hujan membasahinya. Aku menghela nafas yang panjang. Kutatap bunga itu. Bunga anggrek itu pemberian Cindy. Sengaja kuletakkan di samping jendela kamar, agar saat kubangun di pagi hari membuka jendela, aku langsung melihat anggrek itu. Bunga itu selalu kujaga, kurawat dengan baik. Tapi hari ini sama sekali aku belum sempat menyentuhnya. Anggrek itu seolah ikut larut dalam nuansa hatiku yang sedang kalut.
Hujan belum reda. Aku masih terpaku berdiri di samping jendela kamar. Larut dalam lamunan dan kesedihan yang menghentak-hengtak rasaku. Cindy, di kota sakura inilah saat mata kami beradu. Aku pun jatuh cinta. Gadis cantik berdarah Belanda-Sumatra. Matanya indah. Sikapnya yang manja. Semua itu membuaiku dan terjebak dalam cintanya. Tapi besok Ardi akan datang dari Indonesia. Pria yang kini telah resmi menjadi calon suami Cindy. Teman satu kampus saat ia masih kuliah bersama di Bandung sementara Cindy melanjutkan kembali kuliah di Jepang untuk meraih gelar Magisternya. Ardi, ia kekasih Cindy sebelum bertemu denganku. Pria itu pastilah jauh lebih mengenal keluarga Cindy dibandingkan denganku, meski keluarga Cindy pernah memberiku kesempatan untuk melamar Cindy.
Seandainya saja mamaku saat itu mau mengerti dan tidak egois. Mungkin aku telah lebih dulu melamar Cindy. Sekarang aku sendiri bingung siapa yang salah?.Apakah aku, karena tidak mampu meyakinkan mama bahwa Cindy adalah yang terbaik?. Ataukah Cindy yang baru memberitahu, kalau ternyata ia sudah menjadi kekasih Ardi setelah aku benar-benar mencintai dan menyayanginya?. Mengapa semua ini harus terjadi? Kini apa yang harus kulakukan?. Semua pertanyaan-pertanyaan ini menari-nari di alam khayal dan menghantui pikiranku.
Dalam keterpakuanku, entah dari mana datangnya diantara rinai hujan aku seperti melihat sosok Cindy. Ia berdiri dengan berurai air mata tanpa senyuman melambaikan tangannya padaku. Ups.., tiba-tiba terdengar suara dering message dari handpone, membuatku tersentak. Segera kuambil handphone dari saku celanaku jeansku yang tergantung di dinding. ”Kak, nanti malam Cindy minta dianterin ke apartemen Om Gunawan jam 7 malam ya., mungkin ini saat terakhir bisa berdua ama Kak Rendy.” Begitulah pesan singkatnya. Aku segera kembali ke jendela kamar dan mencari-cari sosok Cindy yang barusan kulihat di luar sana. Tapi tak ada siapapun. Pasti itu hanyalah ilusinasi, pikirku.
***
Jam 18.30 waktu Jepang aku berangkat dari apartemenku menuju stasiun kereta. Malam itu aku akan menjemput Cindy. Harus menempuh jarak sekitar 15 menit dari stasiun Toyoda Chou tempat tinggalku menuju ke stasiun tempat Cindy di daerah Shizuoka. Aku sudah bertekad seandainya ini adalah yang terakhir, akan kubuktikan rasa tanggung jawab untuk selalu menjaganya. Begitulah amanah Ibunya waktu itu. Mungkin malam ini adalah malam terakhir aku bisa berada di samping Cindy dan menatap mata indahnya. Jam 18.50 aku tiba di stasiun Shizuoka. Cindy sudah menungguku di dalam stasiun.
Kami segera menumpangi kereta menuju tempat tinggal Om Gunawan di daerah Nagoya. Kami sengaja menumpangi kereta Shinkanzen, agar bisa cepat tiba meskipun tiketnya sangat mahal untuk ukuran kami sebagai orang asing. Malam itu penumpang kereta sepi. Sepanjang perjalanan, Cindy hanya terus menangis dan menangis. Seolah kami benar-benar akan berpisah dan tidak akan pernah bisa bertemu lagi. Aku pun hanya bisa terdiam, memeluk erat tubuhnya, sementara air hangat pun membasahi pipiku. Rasa cinta memang terkadang membuat kita tertawa bahagia, terkadang membuat kita bersedih, inilah rasa yang sedang aku rasakan.
Kesedihan yang menusuk sukma seolah-olah membuatku menjadi laki-laki yang lemah. Tapi apakah aku salah jika menangis karena semua ini. Tidak, aku tidak salah, inilah yang kunamakan cinta sejati. Seorang pria menitikkan air mata adalah simbol dalamnya rasa yang terpatri di dalam jiwanya. Tidak lama kemudian kami tiba di stasiun kereta Nagoya, lalu segera menemui Om Gunawan yang sudah menunggu. Kami hanya sempat bercakap-cakap sebentar, lalu pamit pulang karena malam sudah larut. Cindy akhirnya menginap di apartemen Om Gunawan, karena besok pagi ia harus menjemput Ardi di bandara Nagoya.
Malam itu mataku tak dapat kupejamkan, rasa kantuk pun tak kunjung datang. Aku sangat gelisah. Kunyalakan TV, tapi tak ada satupun acara yang menarik malam itu. Segera terlintas satu persatu memori yang telah tercipta diantara aku dan Cindy. Masih sangat segar dalam ingatanku saat kami pernah berjanji untuk saling memiliki, dan membangun bahtera rumah tangga yang bahagia. Sore kala itu kami terlibat pembicaraan yang hangat;
”Sayang, kakak pengen setelah menikah nanti punya banyak anak ya, kan seru tuh! rumah kita jadi rame” candaku saat itu sambil mencubit pipinya.
”Idih ogah ah kak, kalo banyak-banyak ntar Cindy kerepotan ngelahirinnya. Cukup 2 anak aja yah.” Jawab Cindy sambil balas mencubitku dengan manjanya.
”Kalo gitu, anaknya cewek dulu ya, baru cowok.” Candaku lagi.
”Nggak boleh harus cowok dulu kakak sayangku, biar nanti dia bisa menjaga dan melindungi adiknya.” Kata Cindy dengan mimik wajah yang dibuat lucu.
”Iya deh, pokoknya mau cowok maupun cewek sama aja sayang. Tergantung pemberian Allah SWT, yang penting kita tetap bersama dan bahagia. Iya gak?” kataku sambil mencium keningnya lembut, kubelai rambutnya yang panjang.
Begitu bahagianya kala itu, seolah semua itu benar-benar akan terjadi kelak. Tapi saat ini, aku benar-benar merasa lemah dan tak berdaya. Seolah terjatuh kedalam jurang yang sangat terjal dan dalam. Seperti berada di tengah lautan yang kehilangan arah. Dalam kegalauan hatiku, akhirnya kuterlelap dalam lelah, bercengkrama dengan kesunyian malam itu.
***
Keesokan harinya, aku melakukan aktivitas seperti biasa. Tepat saat jam istirahat siang dan sedang makan siang bersama teman-teman kerja, ponselku berbunyi. Ternyata ada SMS dari Cindy, tiba-tiba perasaanku menjadi tidak karuan.
”Kakak sayang, Ardi sudah datang. Tapi sejak tiba hingga sekarang dia selalu mempertanyakan tentang hubungan kita. Pertanyaannya macam-macam dari A sampai Z. Kamu sudah diapain aja sama dia? Sudah sejauh mana hubungan kamu sama dia selama ini? Seperti itulah pertanyaan-pertanyaan dia Kak! Cindy hanya bisa menangis dan menangis. Kak apa yang harus aku lakukan. Kalo begini terus Cindy nggak kuat kak, lebih baik aku mati saja!”
Dadaku terasa sesak membaca SMS Cindy, ya Allah kuatkanlah Cindy. Berilah ia kesabaran dan kekuatan menghadapi semua cobaan ini. Aku hanya bisa berdoa dalam hati. Jujur dalam hati kecilku, sangat merasa bersalah pada Ardi. Karena kehadiranku, sehingga hubungan mereka jadi seperti ini. Aku pun sangat merasa bersalah pada kedua orang tua Cindy, karena kehadiranku malah menghambat pendidikannya di sini. Bukannya sekolah malah pacaran! Aku seperti menghakimi diri sendiri. ”Tapi salahkah semua ini? Salahkah Cindy bila mencintaiku dan menganggapku adalah pilihan hatinya?” Bathinku. Tetapi tetap saja, aku selalu menempatkan diri sebagai biang masalah, dan penyebab semuanya. Hatiku kalut. Sedih menyelimutiku. Ponselku tiba-tiba berbunyi, ada panggilan masuk, oh ternyata Om Gunawan.
”Halo Rendy ini Om Gunawan. Bisa nggak hari sabtu datang ke apartemen Om, Ardi sudah datang dan dia mau ketemu kamu.” kata Om Gunawan dengan nada suara sedikit berat.
”Oh iya Om, saya akan kesana besok jam 9 pagi ” jawabku.
Hari sabtu pagi, dengan menumpangi kereta expres aku menuju ke apartemen Om Gunawan. Sedikit telat, jam 9 lewat10 menit aku tiba di Apartemennya. Dengan ramah Om Gunawan dan istrinya menyambutku pagi itu. Tapi aku tak melihat Cindy dan Ardi di sana. Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati, di mana mereka.
”Oh iya Rendy, tunangannya Cindy si Ardi sudah tiba dari Indonesia kemarin. Ardi ingin bertemu sama kamu. Saya memang sudah menjelaskan tentang hubunganmu dengan Cindy, tapi sepertinya Ardi ingin mendengar lansung dan bertemu kamu. Saya harap semoga masalah ini, dapat kita selesaikan secara kekeluargaan dan baik-baik.” Om Gunawan memulai pembicaraan, setelah mempersilahkan duduk dan menikmati segelas teh hangat pagi itu.
” Iya Om, saya juga berharap demikian.” Ujarku.
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Aku mendengar suara Cindy memanggil Om Gunawan dari luar.
”Nah, sepertinya Cindy sudah datang Bang!” Kata istri Om Gunawan. Ia segera berdiri dari tempat duduknya, untuk membuka pintu. Jantungku berdegup kencang. ”Ya Allah berikanlah aku kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi semua ini.” Doaku dalam hati. Tak lama kemudian Cindy muncul di balik pintu, ada seorang pria bersamanya. Itu pasti Ardi, gumamku dalam hati. Jantungku semakin berdegup kencang.
Kulihat wajah Ardi penuh emosi menatapku. Aku tetap mencoba untuk bersikap tenang. Entahlah aku selalu diliputi rasa bersalah. Om Gunawan segera memperkenalkan kami. Kujabat tangannya dan menyebutkan nama, ia pun menyebutkan namanya dengan nada yang berat. Sorot matanya tajam penuh emosi, aku berpaling menatap Cindy. Tatapan mata Cindy kosong, matanya sembab, pasti ia habis menangis. Kasihan sekali kamu sayang, kata hatiku menyapanya. Kami berlima segera masuk ke ruang dalam apartemen, duduk di atas karpet lantai. Sejenak hening. Semua diam. Suasana ruangan itu tiba-tiba mendung, padahal di luar matahari bersinar dengan teriknya. Aku menghela nafas panjang. Kemudian Om Gunawan segera angkat bicara;
”Ok, semuanya mungkin sudah tahu apa tujuan kita berkumpul di sini.
Ardi mungkin ingin menanyakan sesuatu pada Rendy. Tetapi di sini Rendy juga punya
hak untuk tidak menjawab, jika ada pertanyaan Ardi yang menurut Rendy itu kurang
pantas ditanyakan! Silahkan Ardi jika ada yang mau kamu tanyakan pada Rendy.” Kata
Om Gunawan.
”Saya ingin menanyakan sejauh mana hubungan kamu sama Cindy?” Ardi bertanya padaku dengan suara berat.
”Sebelumnya saya mau minta maaf pada saudara Ardi, karena kehadiran saya diantara kalian berdua telah membuat hubungan kalian seperti ini. Tetapi jujur sebelumnya, saya tidak tahu kalau ternyata Cindy sudah punya pacar. Saya juga sudah menganggap Cindy seperti adik saya sendiri.”
”Terus hubungan kalian?” tanya Ardi penuh emosi
”Ya, jujur kami memang pacaran. Tapi maaf, bukan berarti hubungan kami tidak diketahui oleh keluarga Cindy. Bahkan mamanya Cindy pernah berpesan agar menjaga dia. Tapi saya yakin saudara Ardilah yang lebih pantas bersama Cindy, bukan saya.”
”Terus, apa saja yang telah pernah kalian lakukan? Kalian pernah berciuman?
Tanya Ardi penuh emosi dan kecemburuan, sangat kekanak kanakan pikirku. Tapi bagiku ini adalah hal yang wajar, mungkin jika berada di posisinya aku juga akan melakukan hal yang sama.
”Sudah, sudah kalian tidak usah bertengkar!!”. Teriak Cindy tak urung lagi mengeluarkan air matanya.
”Kenapa sih kamu selalu membela dia? Kalau memang kamu memilih dia, oke saya akan pulang ke Indonesia!”
Mendengar semua itu terucap dari bibir Ardi, semakin membuatku merasa bersalah. Aku melihat begitu besar cinta Ardi terhadap Cindy, bahkan mungkin melebihi besarnya cintaku. Tiba-tiba aku merasa kerdil dengan semua perasaan-perasaan yang datang, membuat aku diam seribu basa.
”Sekarang begini saja, saya di sini duduk sebagai keluarga Cindy! Dan kamu Cindy, sekarang kamu harus memilih diantara mereka berdua. Siapa yang kamu anggap terbaik dan bisa membawa masa depanmu lebih baik! Ardi dan Rendy saya harap kalian berdua harus menerima apapun keputusan Cindy dengan lapang dada.”
Aku dan Ardi hanya bisa mengiyakan pernyataan Om Gunawan. Kami semua hanya terdiam membisu. Cindy hanya bisa menangis dan menangis. Hatiku perih dengan situasi ini.
”Baiklah aku akan memilih, tapi aku ada satu permintaan, siapapun yang aku pilih nantinya jangan pernah lagi menanyakan tentang masa lalu diantara kita semua,”
Melihat begitu besar pengorbanan cinta Ardi terhadap Cindy, dan mendengar ucapan Om Gunawan tentang masa depan, tentunya Ardi jauh lebih baik dibanding diriku. Pun Ardi telah resmi menjadi tunangan Cindy. Aku berharap agar ia tidak memilihku. Kami berdua setuju atas syarat yang diajukannya. Kemudian Cindy memandangi kami silih berganti lalu...
”Aku memilih Ardi...”
Ardi trerlihat begitu gembira dengan ucapan Cindy barusan, tapi tidak sampai disitu, dengan menahan air mata yang terus mengalir, Cindy pun melanjutkan ucapannya.
”Tapi hatiku memilih Kak Rendy!”
Aku tersentak kaget dengan apa yang barusan aku dengar. Rasanya aku tidak percaya dengan semua ini. Aku bukan senang dengan apa yang baru saja aku dengar, tapi hatiku sangat sakit dan merasa tak punya harga diri. Betapakan aku ibarat sebuah barang yang dipilih-pilih oleh pembeli, perihnya hatiku tak dapat lagi kulukiskan dengan kata. Om Gunawan pun ikut tersentak, mukanya memerah, menahan emosi tentunya.
”Cindy! Apa-apaan kamu! Kamu jangan mempermainkan perasaan orang seperti ini! Kamu ini perempuan, seandainya kamu laki-laki mungkin kamu bisa menikahi keduanya!!”
Wajah Om Gunawan semakin memerah menahan amarahnya. Aku semakin larut dalam kegalauan hatiku. Kulihat Ardi begitu terpukul dengan ucapan Cindy. Aku bisa merasakan begitu pedih hatinya menerima kenyataan seperti ini. Sementara Cindy hanya menangis dan menangis. Om Gunawan lalu mengajak Cindy masuk ke ruang sebelah. Tinggallah aku, Ardi dan Istri Om Gunawan. Kami bertiga terdiam. Tak lama kemudian pintu ruang sebelah terbuka. Om Gunawan mengajak Ardi untuk masuk ke dalam. Entah apa yang dibicarakan mereka bertiga di dalam ruangan itu.
”Sabar yah Rendy, mengalah bukan berarti kalah. Tante yakin kamu pasti tahu jika cinta itu tak harus saling memiliki.”
Istri Om Gunawan berusaha menghiburku. Aku hanya bisa terdiam menatap lantai ruangan itu dengan tatapan kosong. Tak lama kemudian Ardi keluar, dan giliran aku dipanggil masuk ke ruangan sebelah.
”Sekarang katakan apa yang ingin kamu katakan pada Cindy.” Ujar Om Gunawan.
”Sayang, walau aku sangat mencintai kamu melebihi dari segalanya, tapi aku rela dan ikhlas melepaskanmu untuk Ardi.”
Cindy menangis, menatap tajam kepadaku.
”Terimalah Ardi kembali, bagaimanapun dia sudah menjadi tunangan kamu. Suatu saat jika kamu memang tidak bahagia bersama dia, aku akan selalu membuka pintu hati aku untuk kamu sayang.”
Cindy semakin tidak bisa membendung air matanya. Aku pun mulai merasakan mataku berkaca-kaca. Setelah itu aku kembali ke luar dan duduk di tempat semula.
Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan muncullah Om Gunawan bersama Cindy.
”Cindy sudah menentukan pilihannya, dan saya harap kalian berdua bisa menerima tanpa ada rasa dendam. Saya juga berharap setelah ini, masalah saya anggap sudah selesai. Cindy sekarang katakan, siapa yang kamu pilih!”
”Aku memilih Ardi!”
Tangan Cindy mengelus rambut Ardi yang berada di sebelahnya. Terlihat Ardi sangat senang dan berucap syukur mendengar ucapan Cindy. Tiba-tiba seluruh tubuhku terasa lemah dan tak berdaya. Aku seolah dilemparkan dari ketinggian dan sangat tinggi. Walau hatiku tak berharap dipilih tetapi hatiku begitu hancur berkeping-keping. Semua impian dan harapan yang selama ini aku bangun hancur lebur tak bersisa. “Ya Allah kuatkanlah aku” Doaku. Aku berusaha agar air mataku tidak meluap, kemudian dengan terbata-bata aku mulai bicara;
“Baiklah saya ikhlas, dan saya minta maaf baik pada keluarga Cindy maupun saudara Ardi atas semua ini. Cindy, kakak harap apapun yang pernah ada diantara kita, anggap saja itu tidak pernah ada. Saudara Ardi saya mohon tolong jaga Cindy baik-baik, karena saya sangat mencintainya seperti saudara Ardi pun mencintai dia.”
”Rendy kami juga ingin berterima kasih karena selama ini saya tahu mungkin Rendy telah banyak membantu dan menjaga Cindy. Maafkan atas semua ini.”
”Sama-sama Om Gunawan, kalau begitu saya pamit untuk pulang sekarang.”
Aku sudah tidak sanggup berlama-lama dalam suasana seperti ini. Air mataku rasanya akan segera tumpah. Om Gunawan lalu mengantarku ke stasiun kereta. Setelah turun dari mobil dan pamit pada Om Gunawan, aku segera berlari ke tempat sepi dan menumpahkan seluruh air mataku. Aku berlutut di tanah. Rasanya aku tak kuasa menerima kenyataan hidupku.
Hatiku perih, semua impian dan harapan-harapanku yang telah kubangun tinggallah kenangan. Dia yang aku bangga-banggakan pada keluargaku ternyata telah menghancurkan semuanya. Entah apa yang akan kujelaskan nantinya pada mamaku. Ketika mamaku sendiri sudah mulai bisa menerima kehadiran Cindy tapi semua sudah terlambat. Entahlah seandainya aku tidak ingat dosa dan keluargaku rasanya aku ingin mati saja. Aku mendongak kelangit. Bangkit dari kehancuran dan kesedihanku. ”Ya Allah semua ini adalah rencanamu, bila Cindy memang bukan yang terbaik untukku aku ikhlas! Berikanlah aku kekuatan untuk menerima semua cobaan ini.” Doaku dalam tangisku. Dengan gontai kulangkahkan kakiku untuk pulang. Aku yakin esok pasti akan datang dan saat itulah aku harus menyonsongnya. Berdamai dengan masa lalu dan aku tidak boleh takut akan hari esok. Itulah tekadku.
THE END
“Kriiing” suara telepon genggam segera membuyarkan lamunanku. Aku segera meraih ponsel yang terletak di atas meja tak jauh dari tempatku berdiri, di samping jendela kamarku.
”Halo, assalamu alaikum.” Terdengar suara Cindy kekasihku yang sudah tidak asing lagi.
”Iya, halo, walaikum salam sayang. Kamu lagi ngapain?” Jawabku dengan nada pelan, walau sebenarnya aku sangat gugup ingin mendengar kabar tentang pria itu.
”Kak, besok jam 9 pagi kita ketemu di tempat biasa ya. Udah ya kak, Cindy dah mau bobo nih. Assalamu alaikum.” Belum sempat kujawab tapi suara Cindy telah menghilang. ” Ada apa ya?” Tanyaku dalam hati.
***
Kulangkahkan kakiku menapaki trotoar taman Boulevard, tempat di mana aku dan Cindy janjian hari ini. Ehm..taman ini telah jadi saksi bisu cerita cintaku bersama Cindy beberapa bulan ini. Akankah semua berakhir sampai di sini?. Segera kubuang jauh-jauh pikiran itu. Kulihat Cindy sudah duduk di bangkui panjang yang biasa kami gunakan untuk menghabiskan waktu menikmati indahnya taman. Dengan berlari kecil aku segera menghampirinya.
”Pagi sayang.” Kuulurkan tangan dan segera mencium keningnya.
”Pagi kak,” Jawabnya datar. Tidak seperti biasanya, oh my God tatapan matanya kosong, di mana tatapan itu? Mata indah dengan tatapan yang penuh cinta. Sebuah tatapan yang selama ini menyejukkan hatiku kini tak lagi kutemukan.
”Kak, kok melamun?” Tegur Cindy dan segera membuyarkan sejenak lamunanku.
”Eh, iya nggak kok.” Jawabku sekenanya.
”Kak besok Ardi datang. Cindy harus bagaimana kak? Aku tidak sanggup untuk berpisah dengan kak Rendy!”. Kulihat mata Cindy berkaca-kaca. Sejenak aku terdiam. Kutatap wajahnya yang sendu. Bibirku terkunci. Pikiranku kalut antara percaya dan tidak apa yang barusan aku dengar. Akankah cintaku berakhir begini, dada ini seperti terguncang, bingung tapi tak tahu harus berbuat apa.
Kupalingkan wajahku melihat burung-burung yang sedang bertengger di atas pohon tepat di depan kami. Burung-burung itu tak berkicau seperti hari-hari sebelumnya. Mereka seperti larut dalam kesedihan yang kami rasakan. Aku menghela nafas yang panjang, berusaha menguasai diri dan pikiranku. Dengan nada suara yang sedikit bergetar kucoba menenangkannya.
”Tenang sayang, kakak yakin semua ini akan kita lalui bersama. Percayalah kalau memang ditakdirkan untuk hidup bersama, pasti kita akan terus bersama, sampai kapan pun. Namun harus disadari jika cinta memang tidak harus memiliki.” Kataku berusaha untuk menetralisir keadaan, mencoba menghibur Cindy. Jauh di lubuk hatiku sangat pedih dan sangat sulit menerima kenyataan ini. Kusandarkan ia di dadaku. Kubelai rambutnya. Cindy memeluk erat tubuhku. Kristal bening makin menguap di kelopak matanya.
”Tapi Kak! sebelum ia kesini menyusulku Ardi sudah melamar pada kedua orang tuaku. Sekarang kami sudah resmi bertunangan.” Suara Cindy lirih dalam pelukku. Mendengar semua itu seolah kurasakan sesuatu menggerogoti jiwaku. Hatiku sakit, marah, sedih, semua rasa itu bercampur menjadi satu. Tubuh Cindy kupeluk erat. Seluruh tubuhku terasa bergetar hebat. Tak terasa butir-butir air mataku menetes perlahan dari kedua mataku. Tangan kami saling menggenggam. Kami berdua terdiam. Hanya air mata yang terus mengalir. Matahari pagi itu perlahan beranjak naik memancarkan teriknya. Selang beberapa saat, kami memutuskan untuk pulang.
***
Kuhempaskan tubuhku di tempat tidur yang selama ini hampir 3 tahun menemani hariku-hariku di kota sakura ini. Kuraih bingkai foto yang kutaruh di atas meja samping tempat tidurku. Ya., foto kami berdua saat kami berlibur musim dingin di Tokyo. Kutatap dalam-dalam wajah Cindy. Ia adalah gadis yang telah memberi warna dalam hari-hariku. Gadis yang begitu aku cintai. Gadis yang telah membuat aku punya harapan untuk meraih masa depanku yang lebih baik. Akankah aku kehilangan dia?. Apakah ending dari kisah cinta kami harus berakhir seperti ini?. Suara petir menggelegar menyadarkan aku dari lamunanku.
Aku beranjak dari tempat tidurku menuju ke jendela kamar. Kulihat awan hitam berarak di langit. Sepertinya hujan lebat akan segera turun. Selang beberapa saat kemudian hujan turun. Kutatap rinai hujan itu. Ehm..mataku segera tertuju pada bunga anggrek di luar jendela kamar. Rintik-rintik air hujan membasahinya. Aku menghela nafas yang panjang. Kutatap bunga itu. Bunga anggrek itu pemberian Cindy. Sengaja kuletakkan di samping jendela kamar, agar saat kubangun di pagi hari membuka jendela, aku langsung melihat anggrek itu. Bunga itu selalu kujaga, kurawat dengan baik. Tapi hari ini sama sekali aku belum sempat menyentuhnya. Anggrek itu seolah ikut larut dalam nuansa hatiku yang sedang kalut.
Hujan belum reda. Aku masih terpaku berdiri di samping jendela kamar. Larut dalam lamunan dan kesedihan yang menghentak-hengtak rasaku. Cindy, di kota sakura inilah saat mata kami beradu. Aku pun jatuh cinta. Gadis cantik berdarah Belanda-Sumatra. Matanya indah. Sikapnya yang manja. Semua itu membuaiku dan terjebak dalam cintanya. Tapi besok Ardi akan datang dari Indonesia. Pria yang kini telah resmi menjadi calon suami Cindy. Teman satu kampus saat ia masih kuliah bersama di Bandung sementara Cindy melanjutkan kembali kuliah di Jepang untuk meraih gelar Magisternya. Ardi, ia kekasih Cindy sebelum bertemu denganku. Pria itu pastilah jauh lebih mengenal keluarga Cindy dibandingkan denganku, meski keluarga Cindy pernah memberiku kesempatan untuk melamar Cindy.
Seandainya saja mamaku saat itu mau mengerti dan tidak egois. Mungkin aku telah lebih dulu melamar Cindy. Sekarang aku sendiri bingung siapa yang salah?.Apakah aku, karena tidak mampu meyakinkan mama bahwa Cindy adalah yang terbaik?. Ataukah Cindy yang baru memberitahu, kalau ternyata ia sudah menjadi kekasih Ardi setelah aku benar-benar mencintai dan menyayanginya?. Mengapa semua ini harus terjadi? Kini apa yang harus kulakukan?. Semua pertanyaan-pertanyaan ini menari-nari di alam khayal dan menghantui pikiranku.
Dalam keterpakuanku, entah dari mana datangnya diantara rinai hujan aku seperti melihat sosok Cindy. Ia berdiri dengan berurai air mata tanpa senyuman melambaikan tangannya padaku. Ups.., tiba-tiba terdengar suara dering message dari handpone, membuatku tersentak. Segera kuambil handphone dari saku celanaku jeansku yang tergantung di dinding. ”Kak, nanti malam Cindy minta dianterin ke apartemen Om Gunawan jam 7 malam ya., mungkin ini saat terakhir bisa berdua ama Kak Rendy.” Begitulah pesan singkatnya. Aku segera kembali ke jendela kamar dan mencari-cari sosok Cindy yang barusan kulihat di luar sana. Tapi tak ada siapapun. Pasti itu hanyalah ilusinasi, pikirku.
***
Jam 18.30 waktu Jepang aku berangkat dari apartemenku menuju stasiun kereta. Malam itu aku akan menjemput Cindy. Harus menempuh jarak sekitar 15 menit dari stasiun Toyoda Chou tempat tinggalku menuju ke stasiun tempat Cindy di daerah Shizuoka. Aku sudah bertekad seandainya ini adalah yang terakhir, akan kubuktikan rasa tanggung jawab untuk selalu menjaganya. Begitulah amanah Ibunya waktu itu. Mungkin malam ini adalah malam terakhir aku bisa berada di samping Cindy dan menatap mata indahnya. Jam 18.50 aku tiba di stasiun Shizuoka. Cindy sudah menungguku di dalam stasiun.
Kami segera menumpangi kereta menuju tempat tinggal Om Gunawan di daerah Nagoya. Kami sengaja menumpangi kereta Shinkanzen, agar bisa cepat tiba meskipun tiketnya sangat mahal untuk ukuran kami sebagai orang asing. Malam itu penumpang kereta sepi. Sepanjang perjalanan, Cindy hanya terus menangis dan menangis. Seolah kami benar-benar akan berpisah dan tidak akan pernah bisa bertemu lagi. Aku pun hanya bisa terdiam, memeluk erat tubuhnya, sementara air hangat pun membasahi pipiku. Rasa cinta memang terkadang membuat kita tertawa bahagia, terkadang membuat kita bersedih, inilah rasa yang sedang aku rasakan.
Kesedihan yang menusuk sukma seolah-olah membuatku menjadi laki-laki yang lemah. Tapi apakah aku salah jika menangis karena semua ini. Tidak, aku tidak salah, inilah yang kunamakan cinta sejati. Seorang pria menitikkan air mata adalah simbol dalamnya rasa yang terpatri di dalam jiwanya. Tidak lama kemudian kami tiba di stasiun kereta Nagoya, lalu segera menemui Om Gunawan yang sudah menunggu. Kami hanya sempat bercakap-cakap sebentar, lalu pamit pulang karena malam sudah larut. Cindy akhirnya menginap di apartemen Om Gunawan, karena besok pagi ia harus menjemput Ardi di bandara Nagoya.
Malam itu mataku tak dapat kupejamkan, rasa kantuk pun tak kunjung datang. Aku sangat gelisah. Kunyalakan TV, tapi tak ada satupun acara yang menarik malam itu. Segera terlintas satu persatu memori yang telah tercipta diantara aku dan Cindy. Masih sangat segar dalam ingatanku saat kami pernah berjanji untuk saling memiliki, dan membangun bahtera rumah tangga yang bahagia. Sore kala itu kami terlibat pembicaraan yang hangat;
”Sayang, kakak pengen setelah menikah nanti punya banyak anak ya, kan seru tuh! rumah kita jadi rame” candaku saat itu sambil mencubit pipinya.
”Idih ogah ah kak, kalo banyak-banyak ntar Cindy kerepotan ngelahirinnya. Cukup 2 anak aja yah.” Jawab Cindy sambil balas mencubitku dengan manjanya.
”Kalo gitu, anaknya cewek dulu ya, baru cowok.” Candaku lagi.
”Nggak boleh harus cowok dulu kakak sayangku, biar nanti dia bisa menjaga dan melindungi adiknya.” Kata Cindy dengan mimik wajah yang dibuat lucu.
”Iya deh, pokoknya mau cowok maupun cewek sama aja sayang. Tergantung pemberian Allah SWT, yang penting kita tetap bersama dan bahagia. Iya gak?” kataku sambil mencium keningnya lembut, kubelai rambutnya yang panjang.
Begitu bahagianya kala itu, seolah semua itu benar-benar akan terjadi kelak. Tapi saat ini, aku benar-benar merasa lemah dan tak berdaya. Seolah terjatuh kedalam jurang yang sangat terjal dan dalam. Seperti berada di tengah lautan yang kehilangan arah. Dalam kegalauan hatiku, akhirnya kuterlelap dalam lelah, bercengkrama dengan kesunyian malam itu.
***
Keesokan harinya, aku melakukan aktivitas seperti biasa. Tepat saat jam istirahat siang dan sedang makan siang bersama teman-teman kerja, ponselku berbunyi. Ternyata ada SMS dari Cindy, tiba-tiba perasaanku menjadi tidak karuan.
”Kakak sayang, Ardi sudah datang. Tapi sejak tiba hingga sekarang dia selalu mempertanyakan tentang hubungan kita. Pertanyaannya macam-macam dari A sampai Z. Kamu sudah diapain aja sama dia? Sudah sejauh mana hubungan kamu sama dia selama ini? Seperti itulah pertanyaan-pertanyaan dia Kak! Cindy hanya bisa menangis dan menangis. Kak apa yang harus aku lakukan. Kalo begini terus Cindy nggak kuat kak, lebih baik aku mati saja!”
Dadaku terasa sesak membaca SMS Cindy, ya Allah kuatkanlah Cindy. Berilah ia kesabaran dan kekuatan menghadapi semua cobaan ini. Aku hanya bisa berdoa dalam hati. Jujur dalam hati kecilku, sangat merasa bersalah pada Ardi. Karena kehadiranku, sehingga hubungan mereka jadi seperti ini. Aku pun sangat merasa bersalah pada kedua orang tua Cindy, karena kehadiranku malah menghambat pendidikannya di sini. Bukannya sekolah malah pacaran! Aku seperti menghakimi diri sendiri. ”Tapi salahkah semua ini? Salahkah Cindy bila mencintaiku dan menganggapku adalah pilihan hatinya?” Bathinku. Tetapi tetap saja, aku selalu menempatkan diri sebagai biang masalah, dan penyebab semuanya. Hatiku kalut. Sedih menyelimutiku. Ponselku tiba-tiba berbunyi, ada panggilan masuk, oh ternyata Om Gunawan.
”Halo Rendy ini Om Gunawan. Bisa nggak hari sabtu datang ke apartemen Om, Ardi sudah datang dan dia mau ketemu kamu.” kata Om Gunawan dengan nada suara sedikit berat.
”Oh iya Om, saya akan kesana besok jam 9 pagi ” jawabku.
Hari sabtu pagi, dengan menumpangi kereta expres aku menuju ke apartemen Om Gunawan. Sedikit telat, jam 9 lewat10 menit aku tiba di Apartemennya. Dengan ramah Om Gunawan dan istrinya menyambutku pagi itu. Tapi aku tak melihat Cindy dan Ardi di sana. Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati, di mana mereka.
”Oh iya Rendy, tunangannya Cindy si Ardi sudah tiba dari Indonesia kemarin. Ardi ingin bertemu sama kamu. Saya memang sudah menjelaskan tentang hubunganmu dengan Cindy, tapi sepertinya Ardi ingin mendengar lansung dan bertemu kamu. Saya harap semoga masalah ini, dapat kita selesaikan secara kekeluargaan dan baik-baik.” Om Gunawan memulai pembicaraan, setelah mempersilahkan duduk dan menikmati segelas teh hangat pagi itu.
” Iya Om, saya juga berharap demikian.” Ujarku.
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Aku mendengar suara Cindy memanggil Om Gunawan dari luar.
”Nah, sepertinya Cindy sudah datang Bang!” Kata istri Om Gunawan. Ia segera berdiri dari tempat duduknya, untuk membuka pintu. Jantungku berdegup kencang. ”Ya Allah berikanlah aku kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi semua ini.” Doaku dalam hati. Tak lama kemudian Cindy muncul di balik pintu, ada seorang pria bersamanya. Itu pasti Ardi, gumamku dalam hati. Jantungku semakin berdegup kencang.
Kulihat wajah Ardi penuh emosi menatapku. Aku tetap mencoba untuk bersikap tenang. Entahlah aku selalu diliputi rasa bersalah. Om Gunawan segera memperkenalkan kami. Kujabat tangannya dan menyebutkan nama, ia pun menyebutkan namanya dengan nada yang berat. Sorot matanya tajam penuh emosi, aku berpaling menatap Cindy. Tatapan mata Cindy kosong, matanya sembab, pasti ia habis menangis. Kasihan sekali kamu sayang, kata hatiku menyapanya. Kami berlima segera masuk ke ruang dalam apartemen, duduk di atas karpet lantai. Sejenak hening. Semua diam. Suasana ruangan itu tiba-tiba mendung, padahal di luar matahari bersinar dengan teriknya. Aku menghela nafas panjang. Kemudian Om Gunawan segera angkat bicara;
”Ok, semuanya mungkin sudah tahu apa tujuan kita berkumpul di sini.
Ardi mungkin ingin menanyakan sesuatu pada Rendy. Tetapi di sini Rendy juga punya
hak untuk tidak menjawab, jika ada pertanyaan Ardi yang menurut Rendy itu kurang
pantas ditanyakan! Silahkan Ardi jika ada yang mau kamu tanyakan pada Rendy.” Kata
Om Gunawan.
”Saya ingin menanyakan sejauh mana hubungan kamu sama Cindy?” Ardi bertanya padaku dengan suara berat.
”Sebelumnya saya mau minta maaf pada saudara Ardi, karena kehadiran saya diantara kalian berdua telah membuat hubungan kalian seperti ini. Tetapi jujur sebelumnya, saya tidak tahu kalau ternyata Cindy sudah punya pacar. Saya juga sudah menganggap Cindy seperti adik saya sendiri.”
”Terus hubungan kalian?” tanya Ardi penuh emosi
”Ya, jujur kami memang pacaran. Tapi maaf, bukan berarti hubungan kami tidak diketahui oleh keluarga Cindy. Bahkan mamanya Cindy pernah berpesan agar menjaga dia. Tapi saya yakin saudara Ardilah yang lebih pantas bersama Cindy, bukan saya.”
”Terus, apa saja yang telah pernah kalian lakukan? Kalian pernah berciuman?
Tanya Ardi penuh emosi dan kecemburuan, sangat kekanak kanakan pikirku. Tapi bagiku ini adalah hal yang wajar, mungkin jika berada di posisinya aku juga akan melakukan hal yang sama.
”Sudah, sudah kalian tidak usah bertengkar!!”. Teriak Cindy tak urung lagi mengeluarkan air matanya.
”Kenapa sih kamu selalu membela dia? Kalau memang kamu memilih dia, oke saya akan pulang ke Indonesia!”
Mendengar semua itu terucap dari bibir Ardi, semakin membuatku merasa bersalah. Aku melihat begitu besar cinta Ardi terhadap Cindy, bahkan mungkin melebihi besarnya cintaku. Tiba-tiba aku merasa kerdil dengan semua perasaan-perasaan yang datang, membuat aku diam seribu basa.
”Sekarang begini saja, saya di sini duduk sebagai keluarga Cindy! Dan kamu Cindy, sekarang kamu harus memilih diantara mereka berdua. Siapa yang kamu anggap terbaik dan bisa membawa masa depanmu lebih baik! Ardi dan Rendy saya harap kalian berdua harus menerima apapun keputusan Cindy dengan lapang dada.”
Aku dan Ardi hanya bisa mengiyakan pernyataan Om Gunawan. Kami semua hanya terdiam membisu. Cindy hanya bisa menangis dan menangis. Hatiku perih dengan situasi ini.
”Baiklah aku akan memilih, tapi aku ada satu permintaan, siapapun yang aku pilih nantinya jangan pernah lagi menanyakan tentang masa lalu diantara kita semua,”
Melihat begitu besar pengorbanan cinta Ardi terhadap Cindy, dan mendengar ucapan Om Gunawan tentang masa depan, tentunya Ardi jauh lebih baik dibanding diriku. Pun Ardi telah resmi menjadi tunangan Cindy. Aku berharap agar ia tidak memilihku. Kami berdua setuju atas syarat yang diajukannya. Kemudian Cindy memandangi kami silih berganti lalu...
”Aku memilih Ardi...”
Ardi trerlihat begitu gembira dengan ucapan Cindy barusan, tapi tidak sampai disitu, dengan menahan air mata yang terus mengalir, Cindy pun melanjutkan ucapannya.
”Tapi hatiku memilih Kak Rendy!”
Aku tersentak kaget dengan apa yang barusan aku dengar. Rasanya aku tidak percaya dengan semua ini. Aku bukan senang dengan apa yang baru saja aku dengar, tapi hatiku sangat sakit dan merasa tak punya harga diri. Betapakan aku ibarat sebuah barang yang dipilih-pilih oleh pembeli, perihnya hatiku tak dapat lagi kulukiskan dengan kata. Om Gunawan pun ikut tersentak, mukanya memerah, menahan emosi tentunya.
”Cindy! Apa-apaan kamu! Kamu jangan mempermainkan perasaan orang seperti ini! Kamu ini perempuan, seandainya kamu laki-laki mungkin kamu bisa menikahi keduanya!!”
Wajah Om Gunawan semakin memerah menahan amarahnya. Aku semakin larut dalam kegalauan hatiku. Kulihat Ardi begitu terpukul dengan ucapan Cindy. Aku bisa merasakan begitu pedih hatinya menerima kenyataan seperti ini. Sementara Cindy hanya menangis dan menangis. Om Gunawan lalu mengajak Cindy masuk ke ruang sebelah. Tinggallah aku, Ardi dan Istri Om Gunawan. Kami bertiga terdiam. Tak lama kemudian pintu ruang sebelah terbuka. Om Gunawan mengajak Ardi untuk masuk ke dalam. Entah apa yang dibicarakan mereka bertiga di dalam ruangan itu.
”Sabar yah Rendy, mengalah bukan berarti kalah. Tante yakin kamu pasti tahu jika cinta itu tak harus saling memiliki.”
Istri Om Gunawan berusaha menghiburku. Aku hanya bisa terdiam menatap lantai ruangan itu dengan tatapan kosong. Tak lama kemudian Ardi keluar, dan giliran aku dipanggil masuk ke ruangan sebelah.
”Sekarang katakan apa yang ingin kamu katakan pada Cindy.” Ujar Om Gunawan.
”Sayang, walau aku sangat mencintai kamu melebihi dari segalanya, tapi aku rela dan ikhlas melepaskanmu untuk Ardi.”
Cindy menangis, menatap tajam kepadaku.
”Terimalah Ardi kembali, bagaimanapun dia sudah menjadi tunangan kamu. Suatu saat jika kamu memang tidak bahagia bersama dia, aku akan selalu membuka pintu hati aku untuk kamu sayang.”
Cindy semakin tidak bisa membendung air matanya. Aku pun mulai merasakan mataku berkaca-kaca. Setelah itu aku kembali ke luar dan duduk di tempat semula.
Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan muncullah Om Gunawan bersama Cindy.
”Cindy sudah menentukan pilihannya, dan saya harap kalian berdua bisa menerima tanpa ada rasa dendam. Saya juga berharap setelah ini, masalah saya anggap sudah selesai. Cindy sekarang katakan, siapa yang kamu pilih!”
”Aku memilih Ardi!”
Tangan Cindy mengelus rambut Ardi yang berada di sebelahnya. Terlihat Ardi sangat senang dan berucap syukur mendengar ucapan Cindy. Tiba-tiba seluruh tubuhku terasa lemah dan tak berdaya. Aku seolah dilemparkan dari ketinggian dan sangat tinggi. Walau hatiku tak berharap dipilih tetapi hatiku begitu hancur berkeping-keping. Semua impian dan harapan yang selama ini aku bangun hancur lebur tak bersisa. “Ya Allah kuatkanlah aku” Doaku. Aku berusaha agar air mataku tidak meluap, kemudian dengan terbata-bata aku mulai bicara;
“Baiklah saya ikhlas, dan saya minta maaf baik pada keluarga Cindy maupun saudara Ardi atas semua ini. Cindy, kakak harap apapun yang pernah ada diantara kita, anggap saja itu tidak pernah ada. Saudara Ardi saya mohon tolong jaga Cindy baik-baik, karena saya sangat mencintainya seperti saudara Ardi pun mencintai dia.”
”Rendy kami juga ingin berterima kasih karena selama ini saya tahu mungkin Rendy telah banyak membantu dan menjaga Cindy. Maafkan atas semua ini.”
”Sama-sama Om Gunawan, kalau begitu saya pamit untuk pulang sekarang.”
Aku sudah tidak sanggup berlama-lama dalam suasana seperti ini. Air mataku rasanya akan segera tumpah. Om Gunawan lalu mengantarku ke stasiun kereta. Setelah turun dari mobil dan pamit pada Om Gunawan, aku segera berlari ke tempat sepi dan menumpahkan seluruh air mataku. Aku berlutut di tanah. Rasanya aku tak kuasa menerima kenyataan hidupku.
Hatiku perih, semua impian dan harapan-harapanku yang telah kubangun tinggallah kenangan. Dia yang aku bangga-banggakan pada keluargaku ternyata telah menghancurkan semuanya. Entah apa yang akan kujelaskan nantinya pada mamaku. Ketika mamaku sendiri sudah mulai bisa menerima kehadiran Cindy tapi semua sudah terlambat. Entahlah seandainya aku tidak ingat dosa dan keluargaku rasanya aku ingin mati saja. Aku mendongak kelangit. Bangkit dari kehancuran dan kesedihanku. ”Ya Allah semua ini adalah rencanamu, bila Cindy memang bukan yang terbaik untukku aku ikhlas! Berikanlah aku kekuatan untuk menerima semua cobaan ini.” Doaku dalam tangisku. Dengan gontai kulangkahkan kakiku untuk pulang. Aku yakin esok pasti akan datang dan saat itulah aku harus menyonsongnya. Berdamai dengan masa lalu dan aku tidak boleh takut akan hari esok. Itulah tekadku.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar