Sabtu, 29 Desember 2012

Valen


 Valen  
Oleh M.yusuf putra sinar tapango

            Aku menyeruput hot coffe untuk menghangatkan tubuh. Dingin. Malam ini hujan turun begitu deras. Hanya switter yang tidak terlalu tebal membungkus tubuh kurusku. Anna dan Glen tampak merapatkan diri di sudut halte. Mereka adalah sahabat yang baru kukenal tiga bulan lalu. Ya, di sudut halte taman ini. Taman tempat kami sering berkumpul. Bercanda ria. Tertawa lepas. Bernyanyi bersama seolah tanpa beban.
            Usiaku hari ini genap enam belas tahun. Kedua temanku itu tidak pernah tahu. Seharusnya, ulang tahunku seperti tahun-tahun kemarin. Tapi, ah, sudahlah. Aku tidak ingin menangis lagi. Toh, percuma menangis. Tidak ada yang peduli dengan air mataku. Dan teman-temanku itu, mereka seolah kehilangan rasa sedih. Ia akan mengolok-olokku jika aku lemah. Seperti awal pertemuan kami, di taman ini.
            “Hei…lo siapa? Kok nangis, sih? Cemen banget, lo!” Seorang cewek yang berdandan seperti seorang cowok menyapaku. Aku tetap tergugu, tak peduli siapa dia. Saat itu, aku hanya bisa menangisi keadaanku.
            “Sudah, jangan nangis, dunia ini tak perlu kita tangisi. Nikmati, biarin ngalir begitu aja!” Timpal seorang cowok teman si cewek tadi. Aku hanya berpaling kesal pada mereka. Siapa sih kalian? Ganggu aja! Aku hanya membatin. Lidahku kelu.
            “Kenalin, gue Anna. Ini temen gue, namanya, Glen,” cewek yang berdandan seperti pria itu mengulurkan tangan padaku.
            “Valen, nama panjangku Valen Claudia Alberto,” aku menyeka airmataku dan menerima uluran tangan Anna.
            “Waaah…nama lo keren banget, kayak artis aja,” cowok yang bernama Glen itu tertawa. Aku hanya tersenyum. Tidak menimpalinya. Glen bertubuh jangkung, rambutnya ala anak punk. Beberapa tindik memenuhi hampir semua daun telinganya. Iiih, sebenarnya aku takut berada diantara mereka. Tapi, melihat mereka tampak ramah, aku jadi sedikit terhibur. Selanjutnya, mereka berdua saling bersenda gurau. Terkadang terlontar kata-kata tak senonoh yang tak biasa aku dengar di lingkunganku.
            Akhirnya, aku menceritakan perihal diriku. Apa yang membuatku menangis sejak tadi. Tapi, tidak semua kuceritakan. Ternyata Anna peduli terhadapku. Ia pun menawariku untuk tinggal di kostannya. Begitulah awal pertemuanku dengan Anna dan Glen. Tanpa terasa kehadiranku diantara mereka sudah tiga bulan.
Hujan mulai reda. Tiba-tiba aku kangen rumah. Kangen sama mama, papa. Ah, mereka lagi ngapain, ya? Apakah mereka saat ini sedang memikirkanku? Tubuhku semakin kurus. Rambutku kubiarkan tergerai panjang. Dan hidupku semakin berantakan. Makanku tak teratur lagi seperti dulu. Tapi aku menikmati hidupku saat ini.
Sekolah sudah kutinggalkan. Bagaimana masa depanku nanti? Terkadang pikiran itu datang. Tapi, aku sudah tidak peduli. Justru kedua sahabatku Anna dan Glenlah yang sering mengingatkanku. Seperti waktu itu, ketika  kami bertiga sedang menikmati sore di sebuah jembatan. Mata kami memandangi jalan tol yang macet.
“Valen…”
“Ya…napa, Glen?”
“Enak kali, ya, jadi anak orang kaya seperti mereka. Ke mana-mana naik mobil, bisa makan enak dan pastinya keluarga mereka bahagia,” ujar Glen. Kali ini Glen tampak serius.
“Gue juga kadang-kadang mikir kayak gitu kali, Glen! Tapi, mungkin jalan hidup lo aja yang kurang beruntung, muka orang susah, hahaha…” Anna terkekeh menggoda Glen.
“Gue? Kita kaleee…” Glen ikut terkekeh. Aku hanya tersenyum. Mereka tidak tahu siapa aku sebenarnya. Keluargaku dan dari mana asalku yang sebenarnya. Tidak semua orang kaya bahagia, Teman. Uang bukanlah segalanya, batinku.
Sejujurnya aku berasal dari keluarga yang sangat berkecukupan. Tinggal di sebuah perumahan elit di kawasan Jakarta Selatan. Aku dua bersaudara. Kak Rendy sedang kuliah di Italia. Di rumah hanya aku, papa, mama dan empat orang pembantu. Papaku memiliki beberapa usaha showroom mobil yang besar. Ia termasuk pengusaha sukses. Mamaku, juga perempuan yang sukses di bisnis kecantikannya. Spa dan beberapa salon yang sudah tidak asing lagi di Indonesia. Tapi aku tidak bahagia dengan semua itu.
***
 Sore itu, di Barito aku memesan segelas kopi hangat pada Pak Kus. Seorang bapak penjaja kopi keliling yang berjualan di sekitar taman ini setiap hari. Pak Kus sering ngobrol setiap ketemu denganku. Ia banyak bercerita tentang masa lalunya. Ternyata, ia juga punya anak perempuan, katanya sih, seumuran denganku. Tapi sayang, anak perempuannya telah meninggal beberapa tahun lalu. Pak Kus tidak punya biaya untuk berobat ke rumah sakit saat anaknya sakit keras. Demam berdarah.
Sewaktu mendengar penuturan Pak Kus, aku jadi sedih mendengarnya. Gimana kalo aku yang berada di posisi anak Pak Kus. Tiba-tiba aku teringat papa dan mama. Aku buru-buru duduk di halte. Menyeka air mataku yang hampir ke luar. Jujur aku rindu rumah. Rindu papa dan mama. Tapi aku tidak bisa melupakan kejadian malam itu.
“Kamu egois! Hanya mementingkan dirimu saja!”
“Haaa? Papa yang egois! Terlalu sibuk, meeting sana-sini. Ternyata Papa selingkuh dengan wanita lain.”
“Mama nggak boleh sembarang menuduh gitu, ya! Itu hanya tuduhan Mama aja, kan? Sebenarnya Mama yang sudah tidak sayang lagi sama papa?!”
“Papa, aku capek kayak gini terus! Mungkin sebaiknya kita cerai,”
“Haaa, oke kalo itu memang maunya, Mama!”
Malam itu sepulang hangout bersama teman-temanku keceriaanku berubah jadi kesedihan. Papa dan mama tak tahu kalau aku menyaksikan pertengkaran mereka. Dan seketika terhenti saat aku berlari ke kamar dan menutup pintu kamarku dengan kencang. Malam itu mataku bengkak gara-gara menangis sepanjang malam. Aku mengabaikan panggilan mama dan papa di luar pintu kamarku.
Hal itulah yang membuat aku sekarang berada di sini. Meninggalkan rumah pikirku lebih baik. Biarkan saja mama dan papa sibuk mencariku. Biar mereka tahu aku butuh kasih sayang mereka. Lagi-lagi kuhapus air mataku yang semakin deras.
“Yeaaaahhh! Valen nangis lagi!” Aku tersentak kaget saat Anna sudah berdiri di sampingku. Buru-buru kusembunyikan wajah di telapak tangan.
“Yeee…siapa yang nangis coba! Mata gue kelilipan nih.”
“Yaelaaa, gak apa-apa kali! Ngaku aje, sih! Kali ini gue gak bakal cengin lo, hehe…”
“Serius, lo?”
“Iyeee, gue serius. Napa lagi, sih?”
“Gue kangen rumah.”
“Ehm…terus, lo mau pulang ke rumah? Mau gue anterin?”
“Bukan, bukan gitu maksud gue! Kangen aja.”
“Ya udah, biar gak sedih mulu kita ke studio Glen aja, yuuuk.”
“Hayuuuk…”
Kami berdua segera meninggalkan taman Barito menuju melawai. Menemui  Glen yang sedang asyik latihan musik bersama teman-temannya. Berjalan tergesa melalui jalan setapak taman. Lalu menaiki anak tangga menuju ke atas pintu gerbang taman. Aku berjalan lebih dulu di depan tanpa memperhatikan sekelilingku. Anna berteriak keras menyebut namaku.
Bruukkk!
Tubuhku serasa melayang. Terbentur dan akhirnya semua gelap.
***
Mataku mengerjap perlahan dan terbuka. Warna putih mendominasi pandangan mataku. Aku merasakan perih di kepala. Aroma obat tercium di hidungku. Pasti aku di rumah sakit, pikirku. Mata kubuka perlahan. Jam dinding di depanku menunjuk pada angka 4 lewat 10 menit. Aku kaget. Papa dan mama sedang menggengam tanganku sambil tertidur. Tiba-tiba aku menangis terisak. Aku yakin mama dan  papa pasti tertidur saat menungguiku. Aku kangen banget sama mereka. Tiba-tiba mama terbangun.
“Valen anakku…Papa, bangun! Anak kita udah siuman,” seru mama sambil menggerakkan tubuh papaku. Papa tersentak kaget dan  terbangun.
“Valen…maafin papa sayang. Papa nggak mau kamu ninggalin kami lagi. Kamu harus cepat sembuh dan sekolah lagi,” ujar papa dengan suara serak.
Papa menangis. Aku tidak pernah melihat papa menangis. Air mataku tiba-tiba mengucur deras di kedua pipi. Aku hanya terdiam. Mengapa kami dipertemukan dalam kondisi seperti ini. Mengapa saat aku harus terbaring lemah mereka hadir. Kemana mereka saat aku butuh kasih sayang mereka. Kemana mereka saat aku harus hidup di jalanan. Dan ternyata aku mendapatkan arti sebuah keluarga dan sahabat di sana. Ah, ke mana Anna. Aku teringat Anna. Ia mendorong tubuhku saat aku hampir tertabrak mobil. Dan sekarang aku terbaring di sini.
“Anna…Anna di mana?” Tanyaku
“Anna temen kamu itu sudah...” jawab mama terbata-bata.
“Anna kenapa, Pa? Mama, Anna di mana?”
“Sayang, kamu harus ikhlas dan sabar, ya. Anna tertabrak mobil saat menyelamatkan kamu. Nyawanya tidak tertolong lagi, Nak. Anna sudah di makamkan tadi siang. Dan kamu baru siuman setelah pingsan sejak kemarin,” ujar Papa.
Aku menjerit histeris. Papa dan mama lansung memelukku. Dadaku bergemuruh sakit. Anna sahabat yang baru kukenal tiga bulan lalu. Ia yang seperti kakak bagiku. Mengorbankan hidupnya untukku. Aku tidak bisa menahan laju air mataku. Anna seperti malaikat bagiku. Ia dikirim oleh Tuhan untuk membuatku menjadi seorang gadis yang tegar. Meski kutahu hidupnya tak seberuntung hidupku. Ia yang membuatku bangkit dan harus menerima kenyataan hidup.
Ia yang tak pernah berhenti untuk menasehatiku agar aku tidak pernah menyentuh alkohol atau pun narkoba sebagai pelarianku. Dan ia yang selalu bilang bahwa papa dan mama pasti sangat menyayangi dan resah akan kepergianku. Dan ia pun tak pernah tahu siapa aku sebenarnya. Begitu banyak hal yang pernah kami lalui bertiga bersama Glen. Banyak canda dan tawa. Ia mengorbankan hidupnya untuk menyelamatkanku. Tuhan mengapa ia harus pergi secepat itu? Mengapa terlalu cepat ia kau panggil, Tuhan?.
***
Aku tergugu pada nisan yang aku taburi bunga. Nama Anna Handoyo terukir jelas di nisan itu. Glen terdiam di sampingku. Ia pun tak dapat menahan laju air matanya. Sementara papa dan mama memandangi kami dari kejauhan. Mama dan papa telah berjanji padaku tak akan lagi ada kata perceraiaan diantara mereka. Aku bahagia mendengar itu. Tapi aku menangis sedih karena Anna tak bisa melihat kebahagiaanku kembali seperti dulu.
“Anna…maafin gue, ya. Terima kasih atas semua kebaikan lo buat gue. Gue udah gak punya kesempatan buat ngebales semuanya. Gue gak akan pernah bisa ngelupain persahabatan kita semua. Gue sama Glen akan selalu datang untuk nemuin lo. Gue tahu, lo pasti ngeliat kita di sini. Kita berdua sayang bangeet ama lo.”
“Iya Anna…semoga lo tenang di sana, ya. Gue pasti selalu ngedoain lo. Maafin gue kalo selama ini ada salah. Pokoknya maafin gue selalu jail ama, lo. Gue, Valen kangen ama, lo.”
Aku semakin tergugu mendegar penuturan Glen. Kami saling berpelukan. Matahari semakin meninggi. Dengan berat hati kami meninggalkan tempat pemakaman Anna. Aku masih tak kuasa menahan kesedihanku. Dalam perjalanan pulang aku hanya terdiam. Begitu pun Glen yang duduk di sampingku. Papa menyetir mobil sesekali melirik ke arah kami. Mama bersenda gurau bersama papa. Tangan mama menggengam erat jemari papa. Aku tersenyum dalam kesedihanku. Aku merasakan cinta papa dan mama yang masih dalam.
Hari demi hari berlalu. Aku kembali ke rumah dan sekolah lagi. Sementara Glen tinggal di rumahku. Ia setiap hari mengantarku ke sekolah sebelum menuju tempat ia bekerja. Papa memberi modal pada Glen untuk membuka toko aksesoris di Blok M Plaza. Ia pun menamai tokonya dengan nama Anna. Setiap sebulan sekali aku dan Gleen mengunjugi makam Anna. Membersihkan dan menaburinya bunga. Dan aku bersama Glen masih sering bersama menghabiskan sore di Taman Barito.
Meski terkadang ada kesedihan saat teringat Anna tapi kami yakin ia sudah bahagia di sana. Dan aku kini bahagia bisa berkumpul kembali bersama papa dan mama. Mereka pun selalu memiliki waktu bersamaku saat aku membutuhkannya. Dan ada Glen menambah suasana rumah menjadi ramai. Terima kasih Tuhan atas semua pelajaran hidup yang kau berikan di usiaku yang masih remaja ini.




THE END