Minggu, 23 Oktober 2011

Puisi : PENARI MALAM

Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango


                                 PENARI MALAM

Senyuman kau sunggingkan pada setiap mata yang memandangmu
Gincu merah sedikit tebal kau biarkan menghiasinya
Lamat lamat kau lantunkan lagu mendayu
Seiring pula pinggulmu seolah tak lelah menyerong ke kiri  lalu ke kanan

Malam terkadang meyisakan resah yang tak menyudah
Seperti  sorot matamu yang terpantul cahaya lampu temaram
Kutangkap resah di sana meski kau jeli mengecoh dengan senyummu
Jika saja tersurat tatapan itu mungkin saja tak cukup halaman menampung getirnya

Ah...aku bukan malaikat, tapi terkadang rasa ini membuat tercekat dalam tenggorokan
Apalagi saat seorang bocah lelaki bersamamu ikut menari dalam pekat malam
Bukankah seharusnya ia kau lelapkan dalam pelukanmu
Ternyata malam adalah karibmu demi hidup dan sedikit pelipur lara agar tak terdengar isaknya
Aku hanya dapat bergumam semoga anak lelaki itu kelak menjadi..........Amin, do'aku.


BEKASI 17 OKTOBER 2011,

Sepenggal Kisah Cinta Berdarah



Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango

GRACE dengan langkah bak ratu sejagat memasuki kantornya dengan senyum yang tak henti-hentinya. Semua teman kantornya mulai dari security, receptionis, hingga hampir seluruh orang yang berpapasan dengannya pagi itu tak luput dari senyum manisnya. Grace memang sangat cantik. Tubuhnya tinggi semampai. Hidungnya mancung. Bibir tipisnya selalu terlihat indah dengan senyum nakalnya. Sorot matanya tajam. Kecantikannya memang patut membuat semua pria jatuh cinta padanya.
Hampir semua pria dapat ditaklukkan hatinya dengan mudah. Terkecuali Rendy,  teman sekantor sekaligus sahabatnya. Seorang pria yang membuatnya tergila-gila. Grace selalu berusaha tampil sempurna untuk bisa menaklukkan hati Rendy. Namun, sebesar apapun usaha yang dilakukan selalu saja kandas. Seperti jumat pagi itu, dengan senyum nakalnya, ia menghampiri meja kerja Rendy yang terlebih dulu duduk manis di sana. Wajah Rendy terlihat kusam pagi itu.
 “Hei Rendy, selamat pagi,” sapa Grace dengan lembut.
“Pagi Grace, wah kamu cantik banget hari ini. Lagi senang, ya?” ujar Rendy basa basi. Grace yang dipuji seperti itu sontan mukanya memerah.
 “Ah, kamu serius bilang aku cantik? Iiih aku seneng bangeet lo!”
            “Yaa, apa salahnya sih nyenengin temen! haha...” Rendy tertawa kecil.
Grace mencubit lengan Rendy dengan manja dan terkesan genit. Sikap Grace itulah yang membuat Rendy tidak ingin jatuh cinta padanya. Ia lebih nyaman bersahabat, meski Grace sendiri sangat mengharapkan cinta Rendy. Apalagi saat Rendy sudah putus hubungan dengan Anggun. Orang yang sangat senang mendengar berita itu adalah Grace. Ia berharap, kini ia dengan mudah dapat menggantikan posisi Anggun. Anggun adalah sahabat Grace sendiri sejak kuliah dulu.
“Rendy, besok jadi kan kita hang out lagi, Sob?” tanya Andrew teman kantornya saat makan siang di pantry.
“Iya yuuuk karaokean lagi, dah lama kalian semua gak denger suara emas gue, kan?” ujar Grace menimpali dengan mata berbinar.
“Halaaah pede!” Cindy pun ikut menimpali sambil mencibirkan bibirnya pada Grace.
“Oke, besok jam tiga sore kita ketemuan di tempat biasa, nggak pake telat, ya!” ujar Rendy yang disertai persetujuan teman-temannya itu. Mereka adalah teman kantor sekaligus teman main di waktu libur.
            Sabtu siang itu, Rendy bersama teman-teman kantornya termasuk Grace sedang berkaraoke ria di daerah Jakarta Selatan. Di sela-sela Rendy sedang berduet maut dengan Grace handphone Rendy berbunyi. Ada panggilan masuk dari Anggun. Ia pun segera ke luar dari ruangan. Anggun meminta Rendy untuk menemuinya segera karena ada hal penting yang ingin dibicarakan. Mereka janjian di sebuah cafe tempat mereka dulu sering sambangi saat masih pacaran.
            Dengan berat hati, Rendy pamit pada teman-temanya. Grace yang sedari tadi tampak senang dan menikmati kebersamaannya bersama Rendy memasang wajah cemberut. Bahkan, ia berpura-pura cuek saat Rendy pamit. Ada tatapan aneh dari mata Grace saat ia menatap punggung Rendy yang meninggalkannya. Hatinya panas. Api cemburu berkobar di hatinya. “Dasar laki-laki bodoh!” umpatnya dalam hati.
                                                                              ***
Anggun berjalan tergesa memasuki sebuah cafe yang terletak di jalan protokol Jalan Sudirman sore menjelang malam itu. Ia melirik jam tangan mungil di pergelangan tangan kirinya. Tepat pukul 5.10 sore. Ia segera memilih tempat duduk di sudut cafe yang menghadap ke jalan raya. Suasana cafe sore itu tidak terlalu ramai. Pelayan cafe segera menghampirinya.
“Mau pesen apa, Mbak? Sore ini kami menyediakan menu spesial weekend pancake dan ice cream yogurt rasa durian,” wanita cantik pelayan cafe menawarkan dengan senyum termanisnya.
“Oia boleh deh, Mbak,” Anggun menjawab dengan cepat. Seolah ia tak punya pilihan lain. Ia terlihat sedang kalut.
“Untuk berapa orang, Mbak?”
“Cukup untuk satu orang aja  dulu, ya.”
Pelayan itu segera berlalu. Anggun mengeluarkan rokok putih dan handphone dari dalam tasnya. Ia menyalakan rokok dan menyulutnya. Asap putih membentuk lingkaran-lingakaran tak beraturan, lalu dihembuskannya perlahan dari bibir dan kedua lubang hidung mancungnya. Sesekali, pandangan matanya jauh ke depan.
Anggun sangat gelisah. Sesekali terdengar ia menarik napas berat. Seolah ia ingin mengeluarkan semua beban yang sedang menderanya. Diliriknya kembali jam tangannya. Ehm, waktu telah menunjukkan pukul 6.30 malam. Itu artinya, ia telah duduk satu jam lebih menunggu Rendy. Tapi pria itu belum memberikan tanda-tanda akan kehadirannya. Entah berapa kali Anggun mencoba meneleponnya, nihil, handphone tidak aktif. Smsnya pun tak di jawab. Anggun semakin kalut, ia menyeruput ice cream yogurt untuk menetralisir perasaannya.
Rendy tak berkonsentrasi menyetir mobil. Kepalanya di hinggapi beribu-ribu pertanyaan yang tak terjawab. Untuk apa Anggun meminta datang untuk menemuinya? Ada apa lagi dengan wanita itu? Bukankah ia telah mencampakkanya begitu saja, setelah semua apa yang telah di dapati diraih dengan sekejap. Ia kini telah menjadi wanita sukses sebagai desainer sebuah merk busana terkenal di Jakarta.
Wajah Anggun mempermainkan setiap kerjap matanya. Aah, Rendy mendegus pelan. Volume tape mobilnya ditambah. Alunan musik Lady Gaga menghentak-hengtakkan sound sistemnya. Selang beberapa waktu kemudian, mobilnya berbelok ke arah cafe tempat Anggun dan ia janjian.
Rendy menelepon Anggun setibanya di parkiran. Mengabarkan, bahwa sebentar lagi ia akan menemuinya. Anggun mengehela napas. Ia mencoba bersikap tenang. Dinyalakannya kembali sebatang rokok putihnya. Jantungnya berdegup kencang saat Rendy sudah terlihat memasuki Cafe. Ia lalu melambaikan tangan pada Rendy.
“Pa kabar Anggun?” sapa Rendy lembut pada Anggun. Ia selalu begitu, ramah, tetap bersikap sopan di hadapan Anggun. Meski sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatinya ada kebencian yang sudah mulai mengakar.
“Kabar aku nggak baik!”
Anggun menatap tajam pada Rendy. Alis Rendy terangkat. Dahinya mengkerut. Ia merasa ada yang tak beres pada sikap Anggun. Tatapan mata Anggun terlihat aneh, batin Rendy.
“Ehm, kamu kenapa sih? Tiba-tiba mengajak aku ketemuan. Bukannya kamu udah nggak inget aku lagi?” ujar Rendy dengan tawa kecil.
“Rendy! Aku nggak mau buang-buang waktu membicarakan hal yang tidak penting. Aku mau kamu berterus terang, apa sih mau kamu? Kenapa kamu selalu menggangguku akhir-akhir ini! Menerorku dengan privat number?!” kata Anggun dengan mimik wajah yang merona merah. Bukan karena malu, tapi ekpresi itu tak lebih seperti orang yang sedang menahan luapan emosi. Rendy tersentak kaget.
“Apa? Anggun, kamu jangan nuduh sembarangan, ya! Buat apa aku melakukan itu? Aku bukan cowok pengecut yang akan mengejar-ngejarmu dengan cara seperti itu. Meski aku terlalu mencintai kamu, tapi aku masih punya harga diri!”
“Lalu siapa orangnya? Aku sangat terganggu dengan kondisi ini, Ren. Sorry, aku bukannya menuduh kamu. Tapi, aku sadar telah menyakiti hati kamu. Jadi satu-satunya kecurigaanku hanya sama kamu, Ren!” Anggun tajam menatap pada kedua mata Rendy.
“Sungguh Anggun, itu bukan aku,” Rendy menjawab pelan. Ia tersenyum kecut dengan tuduhan Anggun.
Tatapan mata Rendy terlihat sinis. Dalam hati, ia berucap syukur telah berpisah dengannya. Sikap angkuh dan temperamental Anggun sangat tidak sesuai dengan kepribadian Rendy. Entah mengapa ia sangat mencintainya. “Mungkin aku memang bodoh!” batin Rendy.  Tiba-tiba suara dering handphone Anggun sejenak memecah suasana. Anggun berdiri dan sedikit menjauh dari tempat duduk Rendy. Ia terlihat serius berbicara dengan seseorang.
Tak lama kemudian, Anggun kembali duduk menyeruput ice yogurtnya. Ia menghela napas panjang. Kembali di tatap pria di depannya. Mencoba masuk ke dalam mata hitamnya.  Ia mencari jawaban atas kebenaran pernyataan Rendy. Ia tahu, Rendy selama ini adalah pria yang paling jujur di matanya. Namun saat ini, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda pada tatapan mata itu. Seolah ada kebencian di sana.
“Rendy, sorry, bukannya aku tak percaya denganmu, tapi aku benar-benar stress. Hampir satu minggu ini, ada yang menerorku dengan telepon di setiap tengah malam. Tapi saat aku mengangkat teleponnya. Tak ada suara, hanya desir angin malam, dan suara-suara kendaraan yang melaju cepat. Baiklah, aku harus segera pergi. Rendy maafin aku, ya. Tolong mengerti, biarkan aku mencari kebahagiaanku. Aku harap tidak ada dendam diantara kita. Sesuatu yang dipaksakan tidak akan baik buat kita berdua. Aku harap, tidak ada lagi pertemuan setelah ini. Bye Rendy,” ujar Anggun dengan nada suara yang lembut. Ia menggengam tangan Rendy.
“Tenang aja Anggun, aku udah ikhlas, kok!” Rendy mencoba tetap tersenyum. Meski hatinya seolah tercabik-cabik. Anggun meninggalkan Rendy sendiri yang masih diliputi tanda tanya dalam hatinya.
                                                                               ***
Anggun berjalan bolak-balik mengitari ruang kerjanya. Sedari tadi, pikirannya sangat kacau. Bahkan meeting siang itu, ditunda untuk menenangkan hatinya sejenak. Ia masih terbayang-bayang kejadian tadi saat terbangun di pagi hari. Ia merasa ada yang aneh dalam apartemennya. Tata ruangnya sedikit berubah. Pot bunga yang biasanya di letakkan di atas meja dekat pintu ke luar, tiba-tiba berganti posisi berada di samping TV yang ada di ruang tengah.
Lalu, bingkai foto yang ia letakkan di samping TV, berpindah tempat di atas meja mini di samping kursi sofanya. Anggun hapal betul seluruh tata ruang apartemennya. Sekecil apapun perbedaannya pasti ia tahu. Tapi siapa yang memindahkannya. Bukankah ia hanya tinggal sendiri di apartemen itu. Ah, mana mungkin ada hantu di zaman modern seperti ini, batinnya saat tiba-tiba pikiran mistis tentang hantu tiba-tiba hadir di kepalanya. Ia menyesalkan, mengapa ia tadi bangun kesiangan hingga buru-buru ke kantor tanpa mengecek seluruh isi apartemennya.
Mungkin saja ada yang hilang. “Mungkinkah ada maling yang masuk ke apartemenku?” tanyanya pada diri sendiri. “Ah, mana mungkin ada maling! Bukankah pengunjung apartemen tidak mudah masuk tanpa ada persetujuan dari penghuninya. Terkecuali, ia adalah pengunjung tetap yang telah terbiasa datang,” timpal batinnya lagi. “Rendy, mungkinkah dia?” tanyanya pada diri sendiri. Ia tersentak kaget saat pintunya ruangannya di ketuk. Wajah OB muncul di balik pintu.
“Maaf, ini ada titipan bunga buat, Ibu.”
“Dari siapa? Kok, tumben ada yang ngirimin aku bunga ke sini? terima kasih ya, Pak.”
Anggun menerima bunga mawar itu. OB itu segera ke luar dan menutup rapat pintu ruangan. Anggun tak melihat nama pengirim bunga untuknya. Secarik kertas terselip di dalamnya. Ia terperanjat kaget saat membaca tulisan kecil bertinta merah. “AKU BISA MENJELMA SEBAGAI KUPU-KUPU YANG MEMATIKAN!
“Aaah...Siaaal!”
Anggun berteriak histeris, tiba-tiba saja ada seekor kodok kecil yang meloncat ke luar dari bunga dan hampir saja menabrak hidungnya. Untung ia segera berkelit. Bunga itu segera di campakkanya ke lantai. Ternyata teriakan histeris Anggun membuat orang-orang di luar ruangannya segera berdatangan. Termasuk OB tadi yang belum jauh dari ruangannya. OB pun segera minta maaf dan menangkap kodok tersebut. Ia mengaku tidak tahu menahu soal bunga itu. Ia hanya menerima dari seorang pengantar bunga di lobby tadi.
Anggun tampak shock. Ia lalu menelepon sahabatnya Grace yang sudah lama tak berkunjung ke apartemennya. Ia terlalu sibuk hingga ia seolah lupa pada sahabatnya itu. Sahabat yang selalu ada untuknya sejak di bangku kuliah saat ia sedang banyak masalah. Mereka berdua janjian makan siang di Plaza senayan. Anggun lebih dulu tiba di salah satu restoran pilihannya. Selang beberapa menit kemudian, Grace pun tiba. Mereka sengaja memilih tempat duduk di sudut restoran. Segera memesan makanan dan minuman.
“Lo apa kabar Anggun? Kayaknya sekarang terlalu sibuk, ye! Tumben banget nih lo inget gue?” ujar Grace memulai percakapan siang itu.
Sorry darling, bukannya gue nggak inget, lo! Tapi you knowlah emang kerjaan gue lagi busy banget akhir-akhir ini,” kilah Anggun yang memang sedang berusaha menghindari semua teman yang dekat dengan mantannya Rendy. Tapi kali ini, ia seperti butuh teman curhat. Dan seperti biasa, Gracelah tempat ia selama ini mencurahkan problem hidupnya.
It’s okey, Darling. Gue ngerti, kok! Terus gimana, pasti lo lagi ada masalah serius nih, tumben banget lo ajakin gue ketemuan di jam kantor?” selidik Grace pada sahabatnya itu.
“Grace gue lagi stress, nih!”
Anggun kemudian menceritakan semua tentang orang yang menerornya dengan private number. Hingga kejadian-kejadian aneh pada apartemennya dan kejadian barusan di kantornya. Grace mengernyitkan kening mendegar semua penuturan Anggun.
“Waah complicated bangeeet!” Grace tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya.
“Grace, apa mungkin Rendy yang melakukan semua teror ini?”
“Anggun, lo nggak bisa menuduh Rendy seperti itu tanpa ada bukti! Asal lo tahu, ia saat ini begitu terpukul ketika lo mencampakkanya begitu aja demi semua kebahagiaan yang lo inginkan! Ia begitu menutup diri seolah hanya lo satu-satunya wanita yang sempurna di matanya. Tapi, gue yakin, nggak mungkin Rendy akan bersikap seperti yang lo tuduhin itu, Anggun.”
“Grace entahla, gue bingung!”
Anggun terlihat lemah. Wajah cantiknya berubah kelam. Anggun memang sangat cantik. Terlebih lagi sikapnya anggun meski terkesan angkuh dan sedikit temperamental. Itulah yang membuat Rendy memilih Anggun ketimbang Grace yang lebih agresif, meski diakui, kecantikan mereka menghipnotis semua laki-laki yang melihatnya. Ada senyum dan tatapan aneh dari sorot mata Grace.
“Tenang Anggun, gue saat ini belum bisa memberi solusi terhadap masalah lo, Darling.  Tapi, gue akan bantu semampunya. Semoga semua ini cepat berlalu, ya,” Grace mencoba menghibur Anggun.
“Iya nggak apa-apa Grace. Gue seneng lo masih mau dengerin curhatan gue, maenlah ke apartemen.”
Setelah menikmati menu makan siang dan berbincang panjang lebar tentang masa-masa kuliah dan karir saat ini. Akhirnya mereka berdua balik ke kantor masing-masing.
***
Rendy seolah aneh saat makan siang bersama teman-teman kantornya Ia tak menemukan Grace. Biasanya, saat makan siang di pantry, Grace hampir tak pernah absen bersamanya. Andai Grace makan siang di luar pun ia biasanya memberitahukan Rendy.
“Andrew, Grace ke mana, ya? Kok sejak tadi gue gak liat dia?” tanya Rendy
“Nggak tau, tuh! Makan di luar kali, emang dia gak ngomong ma lo, Ren?”
“Ooh iya, kalo nggak salah, dia tadi ke luar kantor, tuh. Buru-buru gitu, pas gue tanya lo mau ke mana, Grace cuman senyum aja,” Cindy menimpali.
“Ooh gitu ya, ehm, tumben banget,” ujar Rendy melonggarkan dasinya. Mereka bertiga pun menyantap hidangan makan siang hari itu tanpa Grace. Rendy tidak tahu, kalau siang itu Grace menemui Anggun untuk lunch bersama di Plaza senayan. Grace memang sengaja tak memberitahukan Rendy. Karena ia yakin, Rendy pasti melarangnya untuk menemui Anggun.
***
Malam itu, Anggun sedang menikmati kesendiriannya di samping jendela kamar apartemennya. Memandang pada kejauhan, menikmati indahnya kota Jakarta dari lantai 27 apartemennya. Jakarta memang tampak indah di malam hari. Bulan purnama penuh, menambah keindahan malam itu. Ia menarik napas yang panjang. Menyeruput hot cappuchino dan menyulut rokok  putihnya. Pikirannya jauh melayang.
Sebagai wanita karir, ia tergolong sukses. Namun, ia merasa hidupnya hampa. Selama ini, ia terlalu memikirkan kebahagiaan orang-orang terdekatnya. Termasuk soal cinta. Kini perih tiba-tiba hadir menyelinap masuk ke dalam rongga dadanya. Rendy, pria yang sangat ia cintai harus dilepasnya demi sahabatnya Grace. Tak terasa air matanya jatuh perlahan.
Untuk sekian kalinya, ia harus berkoban. Mencampakkan Rendy  tanpa alasan yang jelas. Dan sekarang, hidupnya semakin tidak tentram, ia terus menerus di teror. Anggun harus berbuat sesuatu. Ia mengambil handphone dan segera menghubungi Grace.
“Hallo, Darling, lo bisa ke apartemen gue? Aku lagi butuh kamu di sini, please!”
“Hei, gue lagi dinner, nih, sebentar lagi gue ke sana,” ujar Grace di balik telepon.
“Oke, gue tunggu!” Anggun kembali berjalan ke samping jendela kamarnya. Ia menyulut rokok ke bibir. Sambil memandang di kejauhan, ada senyum aneh tergambar di bibir mungilnya.
***
            Grace kembali duduk ke meja makannya. Malam itu, ia sedang menikmati dinner bersama Rendy di sebuah cafe di bilangan kemang. Raut mukanya sedikit berbeda dari sebelumnya. Rendy meliriknya dengan penuh tanya.
“Grace, telepon dari siapa? Kok kamu keliatan bete gitu?” tanya Rendy.
“Eh, nggak apa-apa kok. Tadi ada telepon dari temen, ia memintaku datang ke rumahnya. Katanya sih, penting! Tahu tuh kenapa,” ujar Grace.
            “Ooh..terus gimana?”
 “Ehm, kayaknya aku harus ke sana, deh! Duuh, padahal aku lagi seneng banget nih bisa dinner sama kamu malam ini.”
 “Oh ya udah, nggak apa-apa kok. Aku anterin kamu ke sana, ya.”
“Jangan, nggak usah, aku sendiri  aja ke sana. Naik taksi aja, makasih banget ya udah ajak aku dinner. Sampai ketemu besok di kantor,” ucap Grace cepat. Ia berdiri, mengambil tas dan segera berlalu pergi. Rendy hanya termangu. Ia merasa ada sesuatu yang mencurigakan pada sikap Grace. Sementara Grace, ia tak mau Rendy tahu kalau ia akan menemui Anggun.
                                                                      ***
Anggun berdiri di depan cermin besarnya. Ia memerhatikan seluruh lekuk tubuhnya. Malam itu, ia hanya memakai kaos oblong putih dipadukan dengan celana pendek jeans ketat di atas lutut. Rambutnya dibiarkan terurai panjang. Matanya terlihat sedikit memerah. Di tangan kirinya ia mengenggam sekaleng bir. Tiba-tiba ia tersentak saat handphonenya berdering. Nama Grace terlihat di layar itu. Ia tahu, Grace pasti telah berdiri di depan pintu.
“Hei Grace, masuklah,” ajak Anggun menarik tangan Grace. Anggun mengajak Grace duduk di sofa tepat di depan TV. Di atas meja, terlihat ada beberapa kaleng bir dan camilan. Anggun tampak sengaja untuk menyiapkan semuanya. Grace melirik Anggun.
“Kok lo ngebir lagi, sih?”
“Tau nih lagi suntuk aja! Ayo dong lo buka birnya, dah lama nih gak ngebir bareng, hehe…” Grace meraih satu kaleng bir, membukanya, lalu mereguk perlahan.
TV di depan mereka sedang menyuguhkan sebuah film horor. Film dengan kisah wanita pembunuh berdarah dingin. Saat itu tepat adegan pembunuhan si wanita pada korbannya dengan menggunakan sebuah pisau silet. Wanita itu terlihat sangat keji, setelah  memutus nadi si korban dengan buas dan beringas ia mencabik-cabik wajah, leher, dan memotong kedua kupingnya.
Tampak si korban menjerit-menjerit. Anggun terdiam, sesekali meneguk bir kalengnya. Tangannya sedikit tergetar. Sementara Grace. ia merasa ada sesuatu yang aneh pada diri Anggun. Ia tampak berbeda malam itu. Tatapan matanya tajam dan dingin. “Ah, pasti ini gara-gara ia terlalu banyak meminum bir,” batin Grace.  Anggun merapatkan duduknya pada Grace.
“Grace gimana kabar Rendy?” tanya Anggun.
“Ehm, dia baik aja! Kenapa, kok lo masih nanyain dia? Bukannya lo dah janji ma gue supaya lo mutusin hubungan sama dia!” ujar Grace tampak tak suka dengan pertanyaan Anggun. Anggun menghela napas. Ia berdiri dan berjalan menuju jendela. Mata Grace mengikuti langkah Anggun.
“Grace, asal lo tahu, gue udah mulai muak dengan semua ini!” ujar Anggun dengan suara berat.
“Apa maksud, lo?”
“Iya, gue udah muak mengikuti semua kemauan, lo! Hidup gue berantakan!”
“Oooh, jadi lo udah mulai berani? Lo mau semua orang tahu rahasia hidup lo? Lo mau semua karir yang lo dapat saat ini hancur? Karena mereka tahu, lo hanyalah perempuan simpanan pejabat yang membiayai semua kuliah lo sampai sukses seperti ini!”
Grace mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Anggun. Anggun melangkah merapatkan wajahnya pada Grace. Mata merahnya tajam menatap mata Grace. Ia tersenyum simpul. Tiba-tiba ia menjambak rambut Grace kuat. Grace merintih kesakitan dan berusaha melepaskan diri.
“Sebelum lo melakukan itu maka telah kuputuskan hal ini!” teriak Anggun.
Sejurus kemudian, sebuah belati yang berasal dari saku belakang celana Anggun telah ditangcapkan di perutnya. Grace berteriak histeris. Ia kesakitan. Wajahnya pucat pasi. Darah segar telah membasahi lantai. Anggun mendorong keras tubuh Grace. Sambil memegangi perutnya, Grace berusaha bangkit. Anggun tak membiarkan hal itu. Dengan raut wajah tanpa dosa ia menendang keras wajah Grace. Kini darah segar mengucur di hidungnya. Grace tersungkur di lantai.
“Grace, lo udah buat hidup gue hancur. Bodohnya, hanya karena rahasia hidup gue ini, lo seenaknya menjadi sutradara dalam hidup gue! Bahkan, gue harus rela memutuskan Rendy, pria yang sangat gue cintai, biar lo bisa dapetin cintanya dia? Terus lo meneror gue setelah itu! Lo pemimpi besar, Grace! Rendy tak akan pernah mencintai perempuan agresif kayak, lo! Dan asal lo tahu, selama gue masih hidup, cinta Rendy cuma buat gue!”
Anggun berteriak lantang di telinga Grace yang terkulai lemas. Anggun masih belum puas, dengan beringas ia menangcapkan belati itu berkali-kali pada perut, dada, dan leher Grace. Ruang tengah itu berubah merah. Lantai, kursi sofa, meja, basah oleh darah Grace.  Grace kini terbujur kaku dengan tubuh bersimbah darah. Sementara Anggun menangis histeris di samping tubuh Grace. Ia kini tak tahu rasa apa yang bersemayan di tubuhnya.
Tiba-tiba pintu apartemennya terkuak. Rendy muncul di balik pintu itu.
Rendy yang ditinggalkan Grace saat dinner tadi, dalam perjalanan pulang ke rumah, ia terus bertanya-tanya dengan perubahan sikap Grace di cafe. Perasaannya tidak karuan, tiba-tiba saja ia teringat Anggun. Ia yakin teman yang dimaksud Grace tadi adalah Anggun. Rendy penasaran. Ia segera memutar balik mobilnya menuju ke Apartemen Anggun.  
Kini Rendy terperanjat kaget menyaksikan pemandangan di depannya. Spontan ia berteriak histeris menyebut nama Grace dan Anggun. Anggun menoleh ke arah Rendy. Ia bangkit dengan belati yang masih ada dalam genggamannya
“Rendy, aku… aku mencintai kamu!”
“Stop, Anggun! Kamu pembunuh!”
Rendy mundur ke belakang menuju pintu. Kepalanya menggeleng. Wajah Rendy tampak tak dialiri darah. Ia tak pernah menyangka, Anggun sebegitu kejamnya membunuh sahabatnya sendiri. Rendy harus berbuat sesuatu. Anggun mempercepat langkah. Rendy berhasil meraih gagang pintu. Saat pintu terkuak, puluhan orang dan beberapa polisi telah berdiri di depan pintu dengan pistol di tangan. Ternyata, kegaduan di dalam apartemen Anggun membuat penghuni lain curiga. Sehingga seorang penghuni melaporkan kejadian tersebut.
Dengan kedua tangan terborgol Anggun melintasi Rendy yang masih terpaku berdiri. Anggun berhenti sejenak menatap kedua mata Rendy. Rendy berpaling, ia tak mau menatap mata Anggun. Hati Rendy terluka. Ia merasa telah mencintai wanita yang salah. Sementara Anggun menatap Rendy dengan tatapan kosong.
Ia tahu, pasti Rendy sangat membencinya. Anggun tersenyum kecut, “Andai kamu tahu yang sebenarnya, Sayang! Mungkin saat ini kau akan memberikan pelukan terakhirmu untukku! Aku terlalu mencintaimu! Terlalu Rendy!” Anggun ingin mengatakan itu, tapi mulutnya terkunci, ia hanya bisa bergumam dalam hatinya.



THE END



Bekasi 4 Oktober 2011 Wisma Kost Ibu Hayuni




Cerpen : KADO TERINDAH DI BULAN NOVEMBER

Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango


KADO TERINDAH DI BULAN NOVEMBER

Aku setengah berlari mengejar seseorang yang sekilas tadi kulihat dari atas jendela kamarku. Tapi percuma ia seolah hilang di telan bumi. Ah, cepat sekali perginya, gerutuku. Bahkan suara kendaraannya nyaris tak terdengar. Kututup rapat pintu pagar, kembali masuk kedalam rumah. Segera menemui si mbok.

“Mbok, tadi yang nganterin kado ini, ciri-cirinya seperti apa sih?“
“Ehm..tinggi, putih, cantik pokoknya Mas Rendy, mbok susah inget semuanya.“
„“Duuuh..gimana sih Mbok, masa lupa, mana tuh orang cepet banget ilangnya. Yah sudah Mbok, aku ke kamar dulu. Oia makasih yah.” Ujarku pada si mbok.

Kutatap lekat kado mungil yang terbungkus indah dengan warna kesukaanku itu. Yah warna biru. Tapi aku bingung, siapa yang mengirimi aku bingkisan kecil itu. Lalu warna biru, sebuah warna kesukaanku yang selama ini hanya orang tertentu dan spesial yang tahu. Bahkan di setiap biodataku, hanyalah warna hitam yang selalu kucantumkan. Kado mungil itu kutaruh di dalam lemari pakaian. Aku masih enggan membukanya. Apalagi tidak tahu siapa pengirimnya.
***
Bergegas aku menuju ke kelas. Setengah berlari bahkan hampir terjatuh di tangga. Aku menggerutu tidak karuan, menyalahkan jam weker yang tidak membangunkanku pagi tadi. Wajah dosen killerku itu pun menggelayut di mataku yang masih terasa ngantuk. Dengan nafas yang masih memburu, kuberanikan mengetuk pintu dan masuk. Kehadiranku segera mengundang gelak tawa semua teman-teman kuliahku. Aku kesal di buatnya. Kuacungkan jari tengah pada mereka sambil nyengir kuda. Dosen killer tapi sangat cantik itu, berhenti menulis dan memandangku tajam.

“Rendy, alasan apa lagi yang mau kamu  katakan sekarang?!“
“Maaf Bu, tidak ada alasan.”
“Apa katamu? Tidak ada alasan!“ Hardik Bu Nanda geram padaku.
“Palingan semalam abis latihan lipsing tuh bu, mau ngikutin jejak Briptu Norman biar jadi selebritis dadakan.” Ujar Anton salah satu temanku yang paling jahil.

Sontak mengundang tawa seluruh temanku. Diantara gelak tawa mereka kulihat ada sebuah senyuman yang mengisyaratkanku untuk tetap bersabar. Senyuman itu datang dari seorang gadis berambut panjang, bermata indah. Aku pun tersenyum padanya.

“Sudah diam semuanya! Dan kamu Rendy, silahkan keluar dan nanti temui saya di ruang dosen“.  Dengan langkah gontai kutinggalkan kelas.  Ini adalah kali ke2 aku tidak boleh mengikuti mata kuliah Ibu Nanda. Dan anehnya lagi, dengan kesalahan yang sama.
***
Sambil menyeruput teh botol di sudut kantin kampus, aku bersandar di kursi. Pikiranku jauh melayang. Tiba-tiba ada kerinduan yang begitu hebatnya datang menghampiriku. Bahkan rasa itu seperti rintik-rintik hujan turun. Ia tidak begitu deras, tapi perlahan. Sehingga membuatku sulit untuk menghentikannnya.

Dalam suasana seperti ini, aku terkadang begitu lemah. Bahkan naluri kejantananku luluh, menciptakan kristal bening hangat di sudut mataku. Aku tersentak kaget, ketika sebuah tangan kekar memegang pundakku disertai tawa riang mereka. Dua orang sahabatku telah berdiri di sampingku dengan gaya khasnya.

Ia adalah Erwin asli Jakarta, mungkin masih keturunan Bang Pitung kali yah, soalnya bahasanya betawi banget, sementara Ardi asli dari Medan logat bataknya pun masih sangat kental. Mereka telah duduk manis di depanku.

“Woy..Ngelamun aje lo! Kesambet kuntilanak baru tau rasa..hahaha“ Ujar Erwin disertai tawanya.
“Eits...tunggu dulu Win, macam mana kau! Si Rendy ini mana cocok kesambet kuntilanak, itu sih namanya kunti genit. Cowok ganteng macam dia, setan model cewek apa saja pastilah naksir..“ Sela Ardi menimpali.
“Ngaco lo semua! Sialan, gue sumpahin lo berdua jadi kodok mau lo!“ Gelak tawa kami pun terdengar kemana-mana.
By the way, nape lo tadi telat masuk kelas? Gue bilangin yee, kalo ampe ntuh dosen killer kagak ngasih nilai buat lo, bise nangis tige hari tige malem lo!”
“Iya nih, sial banget. Gue lupa nyalain jam weker.”
“Alamaaak... malas kali kau Ren! Untung saja aku tak malas seperti kau, jauh-jauh aku dari medan, kalau sampai aku tak berhasil di Jakarta ini, apa kata mamakku nanti.”
“Hei..kucluk nape lo curhat sih! Yang lagi punye masaleh noh si Rendy, gue kepret jadi kerak telor biar tahu rase lo!” Ujar Erwin dengan mimik lucu sambil ngancem pake tangan. Spontan Ardi bangkit.
“Enak saja kau! Haiiits... aku tangkislah. Aku ini di Medan sana, belajar silat sampai jurus manjat!” Ardi menghindar sembari memperlihatkan jurus manjatnya. Erwin sontan mencibir mengejek.
“Halaah, jurus ape tuh! Lo kagak tahu ape, gue ini masih turunan Bang Pitung, gue belajar silat nih yee, ampe jurus langkeh!“ Erwin tidak mau kalah ia pun memperagakan jurusnya dengan langkah kaki berputar. Aku yang melihat kelakuan dua sahabatku itu tertawa terpingkal-pingkal. Ibu Marni penjaga kantin yang sudah kenal akrab dengan kami, hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
“Woy... Erwin gue tahu maksud lo, itu jurus langkah seribu kan? Dasar lo! Nah lo Ardi, gue tahu itu jurus manjat pohon, mau jadi monyet lo? gokil lo semua!“  Ujarku menahan tawa.

Kami bertiga tertawa terpingkal-pingkal. Beginilah persahabatan kami, terjalin sejak 3 tahun yang lalu kami kuliah bersama. Jika ada salah satu diantara kami mengalami suatu masalah, maka yang lainnya berusaha untuk menghadirkan tawa. Ya, hadir diantara mereka kurasakan sebuah persahabatan indah. Kami lalu kembali ke kelas untuk mengikuti kuliah selanjutnya.
***
Aku menapaki Taman Suropati dengan langkah santai. Sore sabtu itu suasananya terlihat ramai. Banyak pasangan muda mudi terlihat bercengkrama satu sama lain. Suasana sore yang cerah dengan aroma bunga taman menjadikan taman ini menjadi sebuah tempat yang romantis.

Seketika bayangan seseorang yang pernah hadir dan menemani hari-hariku di taman ini 5 tahun yang lalu lansung membuaiku. Terdiam aku duduk di sebuah bangku persis di bawah pohon. Aku menatap pada bangku yang sedang di tempati sepasang muda mudi. Teringat di bulan november kala itu;
“Ren…lo sayang kan ma gue?”
“Pastinya, kok lo nanya kayak gitu sih? Emang kurang yah, kasih sayang gue selama ini ke lo?“ Tanyaku menatap heran.
“Kalo lo emang sayang, gue mau kita putus!“
“Apa kata lo? Kok lo tiba-tiba jadi gini sih? Aneh tahu gak? Emang gue salah apa ama lo? Gue tuh sayang dan cinta banget ama lo Tasya!”
“lo nggak salah apa-apa, tapi lo kan tahu bentar lagi gue lulus dan harus ngelanjutin kuliah di Italia. Gue nggak bisa menjalin hubungan jarak jauh Ren.”
“Kok nggak bisa? Sekarang tehnologi dah canggih, ada telepon, kita bisa komunikasi lewat facebook atau yahoo messenger.  Atau jangan-jangan itu hanya alasan lo aja. Lo dah punya cowok lain ya? Jujur aja!”
“Rendy..lo kok nuduh gue yang nggak-nggak sih! Lo kan tahu gue juga sayang banget ama lo, nggak akan ada senyum lain yang bisa mengisi ruang ruang rindu gue selain lo. Tapi ini kondisinya beda.” Kristal bening telah meluncur deras di kedua pipinya. Kuraih tangan mungilnya. Kugenggam dan kuseka air matanya.
“Tapi gue tetap nggak mau putus ama lo! Apalagi hanya alasan, karena lo harus kuliah di Italia. Masih banyak cara untuk komunikasi, kalo perlu gue akan nyusul lo kesana setelah gue lulus nanti”. Ujarku saat itu sedikit memelas.
“Ren, gue takut nggak konsen kuliah di sana nantinya. Dan gue nggak mau ngecewain bokap nyokap gue, gue harap lo ngerti.”
”Tetap aja gue nggak ngerti jalan pikiran lo!”
“Pokoknya kita harus putus Ren, ini memang sulit, menyakitkan, gue juga sama ngerasain itu. Sorry yah, gue harus pamit, selamat tinggal beibs..”
Tasya berdiri berlalu pergi. Aku hanya terpaku seolah masih tak percaya, hatiku sakit dengan keputusannya. Kubiarkan ia berlalu pergi. Tak ada kekuatan untuk menahannya, meski hanya memanggil namanya untuk berhenti sejenak. Lidahku kelu. Aku seketika tersadar oleh lamunan masa laluku.

Mataku tetap lekat memandang ke arah bangku itu. Ada satu rindu  menyentuh dinding kalbuku yang rapuh penuh luka. Sentuhan yang menguak masa lalu remajaku. Cintaku pada Tasya terlalu bodoh mungkin. Terbukti aku belum mampu menghadirkan cinta lain di hatiku, meski 5 tahun kisah ini telah berlalu.

Sementara Tasya entah mengapa aku begitu yakin, jika ia telah melupakanku, bahkan mungkin ia telah menemukan cowok lain, yang jauh lebih baik dariku. Bukankah selama ini ada beberapa cewek yang berusaha mendekatiku. Tapi mengapa tetap saja hatiku beku dan dingin?. Aku menghela nafas, beranjak berdiri dan meninggalkan taman dengan senyum getir.
***
Aku membuka perlahan kado berwarna biru, yang diantar oleh seseorang misterius itu. Ukurannya kecil berbentuk kotak. Seperti kotak sebuah jam tangan. Aku terperanjat kaget ketika melihat isinya. Sebuah jam tangan mungil berwarna ungu. Bukankah ini adalah hadiah jam tangan yang kuberikan untuk Tasya? Hadiah ini kuberikan untuknya sebagai kado ulang tahunnya tepatnya 3 November  beberapa tahun lalu.

Namun setelah ia mencampakkanku kala itu, bulan November  tiba-tiba saja menjadi bulan yang paling tidak kusukai dalam hidupku. Lalu apa maksud dari semua ini? Untuk apa ia melakukannya? Apakah untuk semakin membuatku terpuruk? Jadi ia yang sengaja datang waktu itu, lalu memberikan kado ini ke si mbok. Pertanyaan demi pertanyaan mengisi ruang hatiku.

Kulirik jam tanganku. Aku harus segera ke kampus. Aku tidak ingin lagi telat mengikuti mata kuliah dosen baruku itu. Seorang dosen yang masih sangat muda, cantik, yang di sebut killer oleh anak-anak karena perlakuaannya padaku. Dosen yang tidak boleh mengikuti kelasnya, saat aku terlambat meski hanya beberapa menit. Aku tersenyum kecut dan segera ke kampus.

Tiba di kelas, Erwin dan Ardi lansung membelakkan mata melihatku. Teman-teman yang lain seolah aneh memandangku. Aku tahu, mereka pasti heran melihatku datang lebih awal dari biasanya. Tak kuhiraukan godaan mereka. Aku segera duduk di bangku paling depan. Ardi dan Erwin berpandangan dan menatapku heran. Lalu sontak tawa mereka membuat gaduh.

“Ardi..lo liat sahabat kite, mimpi ape die semalem? Jam segini dah nongol, terus duduk paling depan!.” Ujar Erwin tertawa. Aku hanya tersenyum tanpa peduli. Pura-pura cuek dan mengeluarkan buku catatanku.
“Win..aku yakin semalam dia mimpi melihat hantu! Jadi bangunnya subuh, karena takut, tak bisanya dia tidur lagi! Makanya bisanya dia datang pagi, hari ini.” Ardi ikut menimpali dan menggodaku.
“Ngaco lo! Emang gak boleh gue datang pagi? Khan lo berdua yang bilang, gue gak boleh gagal mata kuliah ini? Iya khan?!” Ujarku tetap bersikap tenang dan hanya tersenyum.
“Wah hebat, aku setuju dengan kau hari ini Ren! Kalo perlu kau pacari saja dosen kita itu, biar kau dapat nilai bagus.” Ujar Ardi berbisik pelan di telingaku dan ia pun tertawa.

Aku menyikutnya. Dan tanpa kusadari ternyata Bu Nanda sudah berdiri di balik pintu. Ia tersenyum pada kami semua, menyapa, dan melangkah masuk. Sekilas kulihat ia seperti tersenyum padaku. Jantungku berdegup kencang. 1 jam telah berlalu, jam kuliah Bu Nanda telah habis. Sebelum meninggalkan kelas, ia menghampiriku lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

“Rendy, kamu 2 kali tidak mengikuti mata kuliah ini. Saya pinjamkan buku ini, mungkin bisa membantu ketinggalan sebelumnya”
“Terima kasih..” Ujarku. Ia pun berlalu pergi.
Kubuka buku itu lembar demi lembar. Tiba-tiba aku menemukan potongan kertas yang hampir terjatuh. Jantungku berdetak tak karuan saat membaca tulisan di kertas itu. Segera kumasukkan buku itu ke dalam tasku. Pamit pulang lebih dulu pada Ardi dan Erwin yang masih keheranan dengan tingkahku sejak tadi.
***
Sore itu aku kembali menapaki jalan trotoar sepanjang taman Suropati. Sesekali pandanganku menyapu sepanjang taman. Menyaksikan keindahannya. Entah mengapa perasaanku jadi tak karuan. Jantungku berdegup kencang. Aku meminum habis sebotol aqua kecil untuk menetralisir perasaanku. Aku tersenyum saat melihat bangku yang dulu menjadi tempat favoritku bersama Tasya masih kosong.

Segera duduk di bangku itu. Pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang sedang asyik berduaan, mereka terlihat begitu bahagia, saling tertawa riang sesekali saling memandang, dan menggenggam tangan. Aku jadi iri melihatnya. Dalam keterpakuanku, tiba-tiba ada suara yang menyapa lembut namaku. Seolah masih tak percaya, aku perlahan menoleh ke arah datangnya suara itu.

Jantungku semakin berdegup kencang. Aku seolah kembali merasakan rasa yang pernah kualami 5 tahun yang lalu. Seseorang yang dulu pernah meninggalkanku kini telah berdiri tepat di depanku. Ia adalah dosen baruku. Nanda Tasya Anggraeni. Lama kami saling menatap, menyelami perasaan masing-masing yang aku sendiri sulit mendefinisikannya. Hingga suaranya kembali membuyarkan keterpakuan kami.

“Rendy...boleh aku duduk di sampingmu?” Ujarnya membuatku semakin grogi. Kata-katanya barusan membuatku semakin sadar, bahwa kami bukan remaja lagi seperti 5 tahun silam.

“Tasya... mana mungkin aku melarangmu duduk di tempat pavorit kita ini. Sebuah kenangan masa lalu yang sangat sulit aku kubur. Ya, kini tinggallah masa lalu. Karena kini setelah kau kembali pun kusadari semuanya telah berbeda.”
“Rendy...itulah kamu, masih seperti yang dulu. Terlalu cepat mengambil kesimpulan!” Aku menatap kedua matanya. Mencoba mencari makna dari kalimat yang barusan keluar dari bibir mungilnya.

“Apa maksud kamu? Kamu seperti mempermainkan rasaku. 5 tahun lalu kau meninggalkanku begitu saja, bahkan menorehkan luka di hatiku. Tanpa ada kabar, kau biarkan diriku sendiri merasakan perihnya rinduku. Bahkan air mataku hampir kering. Lalu kini kau tiba-tiba datang, menjadi dosen baruku. Aku merasa semakin terpuruk dengan keadaan ini”

“Rendy...kenapa sih kamu masih tidak menyadari ini? Mengapa hatimu tidak peka? Sadar nggak sih, aku yang dulu dan kini masih tetap seperti yang dulu. Rasa ini tak pernah berubah beibs. Tak ada satu laki-laki manapun yang bisa menggantikan namamu di hatiku, seperti kecurigaan kamu dulu.” Seolah tak percaya aku mendengarnya. Kutatap matanya. Bulir bening mulai menghiasi bola mata indahnya. Aku terdiam.

“Maafin aku saat itu harus meninggalkanmu, ternyata aku salah, justru aku sangat membutuhkanmu, semenjak di Italia aku pun tersiksa dengan kerinduanku. Tanpa sepengetahuan kamu dengan nama palsu kita berteman di facebook. Dari sana semua akses tentangmu, kegiatan-kegiatanmu kuketahui. Kamu sering curhat tentang dirimu saat kita chat box, dari situ aku tahu betapa rindu dan sayangnya kamu padaku, Beibs! Dan satu lagi kamu sering curhat bahwa setelah aku meninggalkanmu, kamu jadi begitu benci bulan November. Kamu inget kan temen kamu di Facebook yang bernama Dinda? Itu aku dan memang sengaja foto yang aku pasang adalah foto teman-teman kuliahku di sana”

“Jadi Dinda itu kamu???” Ujarku tak kuasa menahan rasa kagetku, teringat Dinda yang menjadi sahabatku dan tempat curhatku.
“Iya Ren, itu aku. Aku tahu semuanya tentangmu. Aku begitu semangat kuliah di sana berharap untuk cepat selesai dan menemuimu. Kuselesaikan S1 hingga S2ku, dengan nilai cumlaude. Aku juga tahu setelah kamu lulus SMU, 2 tahun kamu aktif sebagai aktivis anak jalanan, lalu memutuskan kuliah lagi. Aku kemudian sengaja melamar menjadi dosen, di tempatmu kuliah sejak masih di Italia, berharap aku bisa selalu bersamamu. Aku tahu sejak pertemuan pertama di kelas kamu pasti kaget dan shock melihatku. Aku bahkan sengaja memberimu kado itu dan menunggu reaksimu agar kamu menemuiku, tapi hingga pertemuan kedua kamu tetap tak bereaksi. Hingga pertemuan ketiga, sengaja memberimu buku dan tulisan agar kita bertemu di taman ini. Rendy aku tahu kamu sakit dengan keputusanku 5 tahun yang lalu, tapi aku sekarang kembali untuk kamu. Tak ada senyuman yang kuinginkan selain senyuman kamu beibs! Atau aku sudah tidak memiliki tempat di hatimu?”

Kulihat air matanya kini mengalir deras di kedua pipinya. Di sudut mataku mulai terasa hangat. Perlahan air mataku beranjak keluar. Aku menarik nafas yang terasa sesak, tiba-tiba ada rasa haru mengharu biru di dadaku.

“Tasya, kamu tahu tak ada seorang wanita manapun yang bisa menggantikanmu di hatiku. Rasa sakit yang pernah menjadi luka kini telah terobati. Aku begitu bahagia mendengar semua ini. Entahlah rasa bahagia ini tak dapat lagi kulukiskan dengan kata. Aku tidak ingin kehilangan kamu lagi sayang” Aku lansung menabrak, memeluknya, menumpahkan semua kerinduanku. Ia pun memelukku erat. Ada tangis bahagia yang menghiasi kedua pipi kami sore itu.

“Aku tak akan pernah meninggalkanmu lagi beibs, I love u so much.” Ujarnya berbisik di telingaku.
I Love u too sayang, kini aku sadar ternyata inilah akhir dari sebuah penantianku selama ini.” Ujarku menyandarkannya di dadaku.
”Beib’s masihkah kamu benci bulan November?”
”Iya aku benci! benci bangeeet! karena bulan november telah mempermainkan rasaku dalam waktu 5 tahun! Tapi sekarang, tidak lagi, karena november kali ini telah memberikan kado terindah untukku. Kado terindah itu adalah kamu sayang.” Ujarku terbata-bata. Entahlah rasa haru yang menjalari sekujur tubuhku tak dapat lagi kuungkapkan dengan kata. Kukecup keningnya dan kusandarkan ia dalam pelukku.
Kami pun merajut kembali kisah cinta kami dengan indah. Setelah lulus kuliah, kami akhirnya menikah. Tasya menjalani hari-harinya sebagai dosen dan aku menggantikan ayahku memimpin perusahaannya. Kebahagian yang sesungguhnya  menghiasi hari hari kami. Kebahagiaan yang pernah hilang di bulan november dan kembali lagi di bulan november dari sebuah penantian yang panjang. Meski ada air mata, tapi aku memang yakin jika Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk hambanya yang selalu bersabar.

THE END













Minggu, 09 Oktober 2011

Mereka Inspirasiku Menulis


  
Cerpen dalam bentuk narasi ini pernah saya ikutkan dalam lomba cerpen dengan tema :
Inspirasi Menulis pada tanggal 22 Maret 2011.

 
Mereka Inspirasiku Menulis

Oleh :  M.Yusuf Putra Sinar Tapango

“Duuh.seneng yah, kalo bisa curhat lewat sebuah tulisan.Itu adalah sebuah kalimat yang pernah masuk dalam inbox Fbku. Menulis adalah hal yang sebenarnya, jarang aku lakukan. Namun aku suka membaca. Ketika remaja, aku suka baca cerpen maupun novel. Beranjak dewasa, kebiasaan membaca novel maupun cerpen itu menjadi berkurang. Buku yang sering aku baca berubah, yaitu tentang pengembangan diri, psikologi, dan lainnya. Membaca novel hanya sesekali saja, itu pun yang menginspirasi, bukan tentang percintaan. 
Singkat cerita, aku pernah mengalami sebuah kisah percintaan yang menyedihkan. Kisah itu sangat membekas. Beberapa tahun kemudian tepatnya di tahun 2008, di sela-sela istirahat bekerja, aku iseng menulis kisah itu dalam bentuk cerpen. Cerita ini aku beri judul DIANTARA DUA PILIHAN sesuai dengan kisahku. Aku menulisnya di kertas menggunakan pensil, dan tulisan itu bersambung terus. Karena menulisnya di sela-sela istirahat kerja, cerpen ini selesei hingga beberapa bulan. Lalu kusalin di komputer, aku print dan baca. 
Cerpen itu  kemudian kuperlihatkan  pada teman-teman dekat saja. Tanggapan mereka, cerpen itu menyedihkan, mereka terhanyut dalam cerita,  kukatakan itu adalah kisah nyataku. Kemudian cerpen yang telah kuprint tadi, akhirnya kusimpan saja dalam laci meja kerjaku. Dan yang di komputer, kusimpan rapih dalam file tersendiri, kubaca sesekali di waktu senggang.
Pada tahun berikutnya, keisengan membuat cerpen kembali muncul. Aku mencoba menulis cerpen bertemakan cinta, dengan gaya anak gaul. Cerita ini fiktif,  benar-benar daya hayalku saja, yang sedang melambung tinggi. Cerpen ini hampir setahun baru selesai. Entahlah apakah ini patut disebut cerpen atau bukan, ceritanya panjang berjumlah lebih dari 10 halaman, aku sendiri menyebutnya cerpan(cerita panjang). Judul cerpen itu : MAWAR MERAHKU HANYA ADA SATU, entahlah tiba-tiba saja tanganku menulis dan menulis. Tapi kadang-kadang berhenti karena kehilangan ide cerita. 
Dari situ aku tahu, jika menulis itu harus dengan hati yang tenang, mood yang baik, hingga kita bisa menghasilkan sebuah cerita yang tertuang dari hati. Akhirnya cerita itu kelar juga. Aku print, membacanya di sela-sela waktu yang ada. Membaca tulisan itu, aku sendiri merasa heran, kok bisa yah menulis seperti ini.  Seolah tak percaya pada diriku sendiri, karena  cerpen itu bagus menurutku. Berbeda dengan cerpen sebelumnya, cerita ini sengaja aku perlihatkan kepada teman-teman, berharap mereka mengomentarinya.
 Komentar  teman-teman pun macam-macam. Ada yang tidak percaya kalo itu tulisanku, ada yang bilang bagus, ceritanya romantis, membuat penasaran dan macam-macam lagi komentarnya. Intinya mereka menyukai cerpen itu. Sedikit bangga dibuatnya. Kemudian cerpen itu kembali hanya menjadi koleksi pribadi, yang tersimpan rapih dalam file komputer.
Awal januari 2011 aku membuka akun facebook  yang telah lama tidak kukunjungi. Yah, aku memang mempunyai dua akun facebook. Akun yang sering update isinya adalah teman-teman main, dan teman yang aku kenal lewat dunia maya. Sementara akun facebook yang kedua, isinya adalah teman kantor dan teman kampus dulu. Nah.. saat membuka akun kedua ini,  kulihat tulisan seorang teman perempuan di note facebooknya. Ada cerpen yang berjudul RUMAH BINTANG, kubaca cerpen itu. Alur ceritanya sederhana, namun punya pesan moral di dalamnya. Yang menarik adalah catatan kaki di bawahnya, ia menulis bahwa cerpen itu diikutkan lomba dan ada info lomba juga tertulis disitu. 
Membaca itu, tiba-tiba timbul dalam benakku muncul rasa penasaran. Ada hasrat yang meluap-luap. Seperti ada yang membisikiku. “Hei..Rendy, hayo kamu juga bisa seperti dia, ikuti lomba itu.” Spontan jadi teringat dua cerpenku. Kubaca sekali lagi catatan temanku itu, kulihat dengan seksama persyaratannya. Ups, ternyata naskah cerpen yang dikirim maksimal 4 halaman. Niatku jadi surut karena cerpenku lebih dari jumlah itu. Tidak kehabisan akal, kubuka google dan search tentang cerpen. 
Lalu kutemukan sebuah blog seseorang, namanya gen22 blog, di sana tertulis kalimat bahwa semua cerpen yang terkirim ke blog ini akan diterbitkan. Aku pun tersenyum. Kubaca cara pengiriman cerpennya. Setelah tahu caranya, tanpa pikir panjang pada tanggal 25 januari 2011, naskah cerpen DIANTARA DUA PILIHAN kukirim ke email pemilik blog. Sewaktu mengirim naskah itu, tak lupa aku memperkenalkan diri, memberitahunya bahwa ini adalah kisah nyataku, dan baru pertama kali  mempublikasikan ke media. Setelah mengirim cerpen itu aku tidak pernah membuka blog itu lagi.
Pada tanggal 31 Januari 2011 aku pulang ke kampung halaman, karena ada urusan keluarga. Sejak di kampung kesibukan bercengkerama dengan keluarga, membuatku absen di internet. Tanggal 5 feburari 2011 aku kembali ke Jakarta. Dalam perjalanan, aku buka Facebook lewat handphone, mau update status lebay, otw Jakarta, hehe. Facebook terbuka, kulihat ada beberapa inbox yang masuk dan permintaan pertemanan. Kubuka inbox terlebih dahulu. Heran, bertanya-tanya sendiri dalam hati. Siapa mereka ini, tak satupun aku kenal, semuanya adalah perempuan. 
Kubaca satu persatu, rata-rata isi pesannya salam kenal dan cerpen kakak  keren loh, bahkan ada yang bilang kalo dia sampai nangis saat baca cerpen itu. Aku semakin penasaran dibuatnya. Cerpen yang mana, baca di mana, aku tidak mengenal mereka. Kubalas pesan salah satu diantara mereka. Bertanya cerpen apa, judulnya apa, dan di mana bacanya. Tidak sampai dua menit ada inbox kembali masuk. Balasan pesanku tadi, ia bilang  cerpen itu di bacanya lewat internet dan menyebutkan judulnya. Ah..itu memang tulisanku. Teringat pada gen22 blog, cerpenku mungkin sudah dimuat di blog itu, pikirku. 
Tiba di Jakarta aku segera menuju Bekasi dengan menaiki bus. Setibanya di kost, kusimpan barang-barang dan lansung menuju warnet. Lansung mencari gen22 blog. Dan ternyata benar, cerpen DIANTARA DUA PILIHAN telah dimuat pada tanggal 28 januari 2011. Lansung dimuat sehari setelah aku mengirimnya. Aku jadi senang, ternyata tulisanku disukai orang, kutahu itu karena membaca beberapa komentar di situ. Itulah awal pertama yang membuatku terinspirasi untuk menulis. Aku harus menulis. Seperti itu bisikan hatiku. Lalu kulihat ada permintaan pertemanan yang masuk di facebook. Wooh... sedikit kaget dan senang ternyata dia adalah teman lama, bahkan beberapa tahun tidak berkomunikasi dengannya.
 Kuterima permintaan pertemanan itu. Namanya Yani Puspaning Asih tinggal di Bandung. Ternyata ia juga sedang online. Kami lalu mengobrol banyak Sambil ketawa ketiwi, layaknya seorang teman yang telah lama tak berjumpa. Disaat sedang seru-serunya ngobrol, kutawari ia membaca cerpenku. Ternyata ia suka. Ia lalu memberitahuku, kalo punya teman seorang penulis yang suka ikutan lomba. Senang mendengarnya, karena katanya ia mau mengenalkannya padaku. Akhirnya aku add akun facebook temannya, temenku itu. Namanya Tsuraya Widuri. Aku menyapanya dengan panggilan Mbak Widuri. Akhirnya kami berkomunikasi, ia pun mengajariku banyak hal. 
Membaca cerpenku, ia pun bilang kalo aku punya bakat menulis, kembangkan, sayang kalo bakat itu disia-siakan, begitu katanya. Aku pun jadi sangat terinspirasi oleh semua ucapannya. Semangat menulis itu datang menggebu-gebu. Ia begitu mensupport, memberi bimbingan, menyemangati, mengkritik tulisanku, hingga akhirnya aku mulai sedikit mengerti bagaimana menulis itu. Mbak Widuri kemudian memberiku info tentang lomba menulis cerpen kecil-kecilan yang di selenggarakan oleh Mbak Okti Li. Ada  3 tema  lomba, yaitu:
 1. Generasi muda (Muslim) say NO to valentine!
2. Menanam gemar membaca kepada generasi muda
3. Andai anakku jadi TKI, jadilah TKI yang benar, mandiri dan berani.

       Aku mulai menulis, membuat cerpen untuk tema no.1 dan no.3. Menulis cerpen itu, kubuat bersambung. Maklum aku mengetiknya di warnet. Lalu ku copy paste ke note Fbku, begitu seterusnya hingga selesai, setelah itu kukirim untuk ikut lomba tadi. Aku terus menulis cerpen yang lain, semangat menulisku sedang menggebu-gebu. Menunggu hasil pengumuman lomba dari Mbak Okti Li membuat hati deg-degan. Penasaran. Hampir setiap hari aku meluncur untuk sekedar mengintip apakah pengumuman itu telah ada. Dalam perjalanan ke facebook Mbak Okti Li itu, akhirnya kutahu bahwa lomba-lomba seperti ini, banyak diadakan di facebook.
      Tanpa malu aku meminta pertemanan pada beberapa teman yang kutemukan di sana. Harapku untuk memperbanyak teman penulis, agar kelak bisa bertanya kepada mereka tentang dunia menulis. Akhirnya kutemukan kenyataan, bahwa kebanyakan teman-teman itu berada dan bekerja di Hongkong. Decak kagum pun akhirnya terbersit di hatiku, mengetahui mereka berkarya. Kutahu itu saat kuintip beberapa foto teman, yang telah menerima permintaan pertemananku. Yah, ada foto sampul buku dan nama-nama penulis yang terlihat di sana. Dari nama-nama itu, beberapa telah menjadi temanku di facebook
      Hatiku pun menjerit girang, wooh... aku telah berteman dengan mereka. Aku pun akhirnya berteman dengan seseorang bernama Indira Margareta. Mengobrol dengannya begitu menyenangkan, seperti teman lama yang baru bertemu lagi. Ia menerima dengan baik kehadiranku sebagai temannya. Aku pun merasa hangat disela-sela perbincangan kami lewat Yahoo Messenger. Cerpenku dilihatnya, dibantainya. Belakangan kutahu jika ia seorang penulis, dan aku jadi banyak belajar darinya. 
     Kini memiliki teman-teman yang hebat seperti mereka, menjadikanku lebih dan lebih terinspirasi untuk menulis. Belajar menulis dan terus berkarya. Aku jadi tahu kini bahwa menulis itu asyik, dan benar adanya inbox yang pernah masuk di facebook-ku, bahwa curhat lewat tulisan itu asyik yah...dan ternyata menulis itu, mampu membawa daya hayalku terbang tinggi, melampaui cakrawala yang tak terbatas, oleh ruang dan waktu. Sekarang, selain bercita-cita menjadi pengusaha, aku pun ingin menjadi penulis profesional.

THE END