Minggu, 09 Oktober 2011

Kulihat Mentari di Matamu, Dik!

Cerpen ini pernah saya ikutkan untuk lomba dengan tema Pernikahan Dini pada tanggal 14 maret 2011...



KULIHAT MENTARI DI MATAMU, DIK!

 

Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango


“Haaa… Om, serius?” Tanyaku dengan terperanjat kaget.
”Iya, Nak Rendy! om serius, adikmu harus menikah. Ini semua adalah hukum adat, harga diri adalah diatas segalanya.” Kata omku. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Dadaku terasa penuh sesak. Sedih. Wajah adik bungsuku kemudian bermain di alam pikiranku. Seolah masih tak percaya  mendengar berita ini. Adik bungsuku harus menikah. Usianya 15 tahun kelas 3 SMP. Ia adalah harapanku di masa yang akan datang. Aku ingin menyokalahkannya hingga jengjang yang lebih tinggi semampuku. Kabar berita ini membuatku shock. Secepat itukah adikku harus kehilangan masa remajanya. Hukum adatlah yang bicara, ia dianggap telah membawa kabur anak gadis orang. Dalam hukum adat kami di Sulawesi Barat, bila seorang anak gadis telah diajak pergi oleh pria tanpa sepengetahuan orang tua, maka dia harus bertanggung jawab untuk menikahinya. Karena keluarga si gadis, menganggap bahwa perbuatan ini telah mencoreng nama baik keluarga mereka. Om Hatta menceritakan dengan seksama kejadian sebenarnya secara detail. Dia menambahkan lagi, bahwa ibu menentang keras. Bahkan ibu sekarang sering tak sadarkan diri, karena shock atas kejadian ini. Tapi keluarga perempuan telah murka. Ini adalah aib keluarga katanya. Malu dan harga diri di atas segalanya. Keluarga mereka mengancam akan terjadi pertumpahan darah, kalau hukum adat ini di langgar. Ancaman. Tiba-tiba amarahku membuncah bahkan sampai ke ubun-ubun. Tak terasa tanganku mencengkram erat handphone-ku, seolah-olah ingin kuhancur leburkan karena menahan emosi. Naluri laki-lakiku serasa terusik. Keluargaku di ancam. Bathinku teriak. Berani sekali mereka. Mereka adalah pendatang yang baru tinggal beberapa bulan di kampungku. Bahkan mereka mungkin tidak tahu, kalau keluarga kami disana adalah keluarga yang terhormat. Terpandang. Tapi untuk menjaga kehormatan keluarga itulah, kita harus menghargai hukum adat yang berlaku. Hukum adat yang telah ada sebelum aku lahir, bahkan mungkin sebelum kakek nenek pun lahir. Aku menghirup nafas yang panjang dan membuangnya pelan-pelan. Mencoba menguasai emosi yang meledak-ledak. Kemudian melanjutkan percakapan.
”Om..terus kapan Adikku Farel akan di nikahkan?” Tanyaku
”Besok nak. Mereka akan dinikahkan secara adat oleh imam mesjid di kampung kita, resepsi pernikahan mereka akan kita bicarakan kemudian. Ini sudah menjadi kesepakatan keluarga. Kita harus menerima semua ini dengan lapang dada. Mari kita mendoakan agar adikmu bahagia dalam pernikahannya. Yah… ini pernikahan dini, nak.” Jawab omku dengan suara yang berat. Aku pun tak dapat lagi berkata-kata. Bagi keluarga kami, ini adalah musibah. Nasi telah menjadi bubur, Allah SWT telah memberikan cobaan ini, kami semua harus ikhlas. Besok adikku akan menikah. Pernikahan itu sudah pasti tidak akan tercatat di catatan sipil KUA(kantor urusan Agama) karena mereka belum cukup umur. Tapi jika hukum adat yang bicara, maka semua bisa terjadi. Akupun menarik nafas yang panjang. Sedih kurasakan membayangkan adikku pada pernikahan dininya. Bahkan aku sebagai kakak sulungnya saja belum menikah. Semakin sedih kurasakan karena sudah kupastikan aku tak dapat menghadiri sesi ijab kabulnya. Karena kini aku sedang mengadu nasib di Jakarta. Yah Allah Semoga ini adalah yang terbaik buat adikku, doaku.          
            Malam itu aku duduk termenung di teras lantai dua kost-kostanku. Kupandangi bulan sabit  dengan bintang yang mengitarinya. Kunikmati suara bising kendaraan dan hiruk pikuk orang yang lalu lalang. Angan-anganku pun melayang jauh.  Kini aku merasa benar-benar jauh dari keluarga. Merantau. Sendiri dan mandiri. Aku tiba-tiba rindu kampung halaman. Rindu kehangatan keluargaku. Rindu almarhum bapak, rindu ibu dan adik-adik. Rindu sahabat-sahabatku. Rindu suasana kampung yang tenang damai. Ketika di kampung dulu, aku juga suka memandangi bulan dan bintang di teras depan rumah. Suara burung malam, dan nyanyian kodok dari persawahan belakang rumah kami, merupakan keindahan tersendiri dan tak pernah kutemukan lagi, setelah sekian tahun merantau ke Jakarta. Sebagai anak sulung akulah kini pengganti bapakku. Aku punya tanggung jawab yang besar terhadap ketiga adik-adikku yang kesemuanya laki-laki. Adik kedua dan ketigaku keduanya biasa-biasa saja. Wajah lucu adikku si bungsu Farel kemudian bermain dalam lamunanku. Ah..Farel masih teringat jelas ketika aku selalu mengajarinya, menulis dan membaca sewaktu dia masih kecil. Mengajarinya matematika dasar, perkalian, pembagian, pengurangan, semuanya sesuai dengan kemampuanku. Dia anak yang cerdas. Tanggap. Jenius. Dulu sewaktu SD sepulang sekolah  maka dia wajib menemuiku, lalu memperlihatkan buku pelajarannya padaku. Aku selalu bangga bila membuka buku tulisnya, karena disana setiap nilai yang tertulis oleh gurunya, hampir semua adalah angka 100. Sejak kelas 1 Sekolah Dasar Farel selalu juara kelas, ranking 1 dan menjadi ketua kelas. Di sukai banyak guru dan teman-temannya. Kulihat mentari di matamu dik, gumamku dalam hati, saat kulihat dia. Sejak saat itu pula, maka harapan besar tumbuh di dalam dadaku. Aku ingin menyekolahkannya hingga jengjang yang paling tinggi. Aku akan bekerja keras untuk itu. Itulah tekadku. Dan berharap suatu hari nanti, semoga dia akan menjadi kebanggaan keluarga kami. Tapi kini, aku merasa semua harapan dan impianku itu, akan terkubur oleh kerasnya hukum adat di kampungku. Adik kecilku yang jenius itu, harus menikah di usianya yang masih sangat mudah. Remaja yang baru berusia 15 tahun kelas 3 SMP. Pun calon istrinya baru berusia 13 tahun. Entahlah  aku sebagai pria tidak tahu menahu, apakah wanita di usia seperti itu sudah datang bulan. Ah..tiba-tiba kurasakan perih di dada. Adikku Farel kini telah remaja, dan telah memulai petualangan cinta monyetnya. Semua berawal ketika Farel mulai jatuh hati kepada gadis remaja, yang bernama Antie calon adik iparku itu. Gayung pun bersambut, terjalinlah kasih asmara dua remaja yang baru mengenal cinta itu. Entahlah seperti apa perkenalan mereka, mungkin lewat surat suratan, atau mungkin hanya kedip kedipan mata. Yang pasti mereka saling menyukai, cinta telah bersemi pada keduanya. Hingga suatu hari menjelang pergantian tahun, adikku Farel hendak pergi merayakan pergantian tahun baru bersama teman sekolahnya  di Kalimantan Timur tepatnya di Kota Balikpapan. Antie pun diajak serta tanpa seizin orang tuanya dan seizin ibuku tentunya. Layaknya anak remaja yang sudah mulai bandel, mereka nekat. Akhirnya kedua orang tua Antie,  tidak menerima perbuatan Farel. Seperti itulah penjelasan Om Hatta lewat telepon. Kembali kurasakan sedih dan masih seakan tak percaya atas kenyatan ini. Teringat wajah ibu membuatku semakin hanyut dalm kesedihan. Aku yakin beliau pasti begitu terpukul atas kejadian ini. Lalu wajah bapak bermain di alam hayalku. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba menyelimuti. Aku merasa gagal menjaga adik-adik. Maafkan aku bapak, ini semua di luar kendaliku, kini aku jauh dari rumah, tapi ini semua kulakukan untuk keluarga juga, gumamku dalam hati.
***
          Aku menikmati pemandangan indah, saat menyusuri jalan-jalan menuju kampung halamanku. Gunung-gunung yang menjulang meski tidak terlalu tinggi, hamparan luas persawahan di kiri  kanan  menghadirkan kedamaian bila memandanginya. Aku pulang wahai kampungku, kata hatiku menyapa. Dari kejauhan, terlihat tenda besar berdiri di depan rumahku. Banyak orang yang sedang berkumpul disana.  Aku menghela nafas. Sebulan kemudian setelah ijab kabulnya, besok akan diadakan resepsi pernikahan adikku Farel. Aku minta cuti 3 hari di kantor, untuk hadir di acara ini. Mobil angkutan yang mengantarku, berhenti tepat di depan tenda. Saat turun dari mobil, seluruh keluarga menyambut termasuk ibuku. Beliau tersenyum hambar. Aku segera mencium tangan dan memeluknya. Air mata ibu mengucur deras dari matanya. Jadi terharu di buatnya. Aku kangen sekali dengan ibu, 3 tahun sudah kami tak bertemu . Lalu tiba-tiba muncul adikku Farel memelukku dan menangis.
“Kak Rendy, maafkan Farel kak!” Kata Farel dalam isak tangisnya. Aku memeluknya. Kusandarkan di dadaku. Rambutnya kubelai seperti dulu sewaktu dia masih kecil. Kucoba memberi kehangatan padanya. Tak ada yang salah. Ini adalah takdir yang telah digariskan yang maha kuasa dik, gumamku dalam hati.
“Hei..Farel kecilku, ternyata  kamu sudah tumbuh besar dan  seganteng ini.” Kuangkat wajahnya. Kutatap matanya. Aku mencoba tetap tegar, meski air mataku kurasakan telah mengalir perlahan.
“Kenapa minta maaf dik, kamu tidak salah. Ini adalah jalan hidupmu, pasti akan ada hikmah di balik ini semua, Jalani saja seperti air yang mengalir.  Semoga kamu selalu bahagia, dan ingat cepat beri ponakan buat kakak yah...” Aku mencoba menyemangati dan mencandainya. Tak perlu ada penyesalan. Tak perlu bertanya mengapa ini terjadi. Aku datang bukan untuk menghakimi, tapi ingin memberinya kekuatan, agar dia tetap tegar dan membuatnya selalu tersenyum, meski kusadari usianya terlalu mudah untuk memikul beban hidupnya ini. Kutatap matanya dalam-dalam dan masih tetap kulihat mentari bersinar di sana.
                Hari itu resepsi pernikahan Farel dan Antie begitu ramai oleh tamu undangan yang hadir. Banyak air mata yang jatuh. Yah, para tamu udangan itu sebagian seolah masih tak percaya, dengan apa yang disaksikan di depan mata mereka. Kulirik  Farel dan istrinya, senyum mengembang selalu menghiasi bibir mereka berdua. Saling memandang. Saling melempar senyum. Tangan mereka pun saling menggenggam, seolah tak ingin terpisah. Lalu MC memanggil kedua mempelai untuk membawakan sebuah lagu. Semua tamu yang hadir  bertepuk tangan. Aku sedikit kaget, bertanya dalam hati, sejak kapan Farel bisa  bernyanyi. Musik mengalun, dan suaranya ternyata dahsyat, mendayu-dayu saat dia menyanyikan lagu HANYA INGIN KAU TAU milik Revublik band. Tangannya istrinya digenggam erat. Ah..indahnya cinta mereka. Tiba-tiba aku teringat bapak. Seandainya saja beliau ada disini menyaksikan kebahagiaan mereka. Tak terasa bulir-bulir air mata ini menetes perlahan. Hari berganti bulan. Bulan berganti tahun. Farel dan istrinya membantu usaha kecil-kecilan ibu  di rumah. Farel pun tetap sekolah. Setamat SMU aku kemudian menyuruhnya untuk mengikuti kursus servise handphone. Dasar si anak cerdas ia dengan cepat menguasai semuanya. Dengan modal pas-pasan mulailah ia membuka toko HP+servise, ternyata usahanya berkembang. Aku pulang kerumah, lalu menyarankannya untuk kuliah, dan tetap menjalankan usahanya. Tekadku untuk menyekolahkannya ke jenjang yang lebih tinggi, tetap harus  kuwujudkan. Awalnya dia ragu tapi kuyakinkan dia, bahwa sebuah usaha itu, tidak selamanya akan terus bertahan.
“Aku akan membiayai kuliahmu dik. Aku akan bekerja keras untuk itu!” Kataku meyakinkannya. Farel diam. Memelukku. Air matanya mengalir perlahan.  Kutatap matanya. Masih seperti dulu, tetap kulihat mentari dimatamu dik, gumamku dalam hati.
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar