Sabtu, 24 Desember 2011

Cerpen...


 
Wajah Wajah Penuh Galau
Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango

Tergesa berjalan menuju pesawat yang akan kutumpangi menuju kampung halamanku. Sedikit trouble di jalan membuatku hampir ketinggalan pesawat. Aku menghela nafas lega saat melangkahkan kaki ke dalam pesawat. Segera kurapihkan tas bawaanku ke dalam kabin. Lalu duduk di seat no 17.A sesuai yang tertera di tiket. Tempat yang sangat pas, gumamku. Aku berada di samping jendela kaca pesawat.
Penerbangan dari Bandara Udara Soekarno-Hatta menuju ke Bandara Udara Supadio Pontianak akan memakan waktu lebih dari satu jam. Burung besi yang akan mengantarkanku kembali ke kampung halamanku perlahan bergerak. Dalam hitungan menit kemudian, burung besi ini telah melaju. Melesat dan meninggi. Aku melihat jauh ke bawah dari jendela kaca pesawat. Perlahan pandanganku semakin samar tergantikan gumpalan awan putih berarak.
Kini wajah adikku telah bergelayut di pelupuk mataku. Lalu ibu, almarhum bapak, dan keluarga besarku. Aku memang menjadi anak rantau di Jakarta. Bekerja di sebuah rumah sakit terkenal dan berprofesi sebagai dokter ahli kandungan. Masih terbilang baru memang. Aku resmi menjadi dokter ahli kandungan selama dua tahun.Yah, aku termasuk salah satu dokter muda. Kepulanganku ke Pontianak kali ini, untuk menghadiri acara pernikahan adik perempuanku Lianti, tepatnya dua hari yang akan datang.
Setelah ayahku meninggal beberapa tahun lalu, sebagai anak sulung, kini aku yang menjadi tulang punggung keluarga. Dalam pernikahan adikku nanti, ia memintaku untuk mendampinginya sebagai pengganti ayah. Aku menghela nafas dan membuangnya perlahan. Ada rasa haru yang tiba-tiba datang menggelitik sanubariku. Aku membayangkan bagaimana wajah adikku dan permohonan maafnya, karena ia akan melangkahiku menikah lebih dulu.
Tak lama kemudian, terdengar suara dari seorang pramugari. Beberapa pramugari kemudian memperagakan tata cara penggunaan alat keselamatan, sesuai instruksi yang dijelaskan melaui pengeras suara. Aku memperhatikan dengan seksama instruksi mereka. Saat seperti ini, terkadang banyak penumpang pesawat yang acuh tak acuh. Padahal bagiku, ini sangatlah penting. Terlebih lagi, saat ini aku duduk tepat di samping pintu darurat. Jadi aku harus mengerti cara penggunaanya, bilamana terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Kulirik penumpang sebelahku. Ia adalah seorang Ibu muda bersama anaknya. Kuperkirakan anaknya baru berumur sekitar dua tahun. Anak laki-laki itu begitu lucu. Giginya tumbuh rapih dan sangat lucu saat ia tertawa. Saat sang anak melihatku, aku pun mencandainya. Ia tertawa malu melihatku. Aku meberanikan diri untuk menyapa ibunya.
“Mbak, tujuannya ke Pontianak juga?” ujarku.
“Iya benar, saya asli Jakarta, tapi suami orang Pontianak. Kami sekeluarga menetap di Jakarta. Kebetulan, suami saya lebih dulu pulang ke Pontianak, Ibu mertua sedang sakit keras.” jawabnya ramah.
“Ooh..oia anaknya lucu, Mbak.” Kataku sembari menyentuh jari sang anak.
Namun tak kusangka ia tiba-tiba menangis. Mungkin nalurinya sebagai anak protes, karena seorang laki-laki lain sedang mengajak ngobrol ibunya. Cemburu mungkin, aku mengira-mengira dan tersenyum. Aku berpaling ke luar jendela pesawat memandangi awan. Entah mengapa aku tiba-tiba terserang kantuk dan akhirnya membuatku terlelap.
***
Teriakan histeris para penumpang pesawat membuatku tersentak dan terbangun. Kegaduhan terjadi di dalam pesawat. Aku belum tahu pasti apa yang sedang terjadi. Ingin bertanya pada ibu sebelahku, tapi ia sedang sibuk mendiamkan tangisan keras anaknya. Aku tak dapat lagi mendengar dengan jelas instruksi dari seorang pramugari. Suara teriakan-teriakan histeris, spontan membuat suasana menjadi tidak karuan. Kegaduhan terjadi di sana sini. Kurasakan pesawat seperti oleng. Aku sadar sedang terjadi masalah besar. Spontan aku berdoa dalam hati. Goncangan keras terjadi. Semua berlalu begitu cepat. Sekejap dan pandanganku gelap.
Mataku mengerjap terbuka saat sayup-sayup seperti terdengar suara ibu dan adikku memanggil-mangil namaku. Perlahan mataku terbuka. Tapi itu hanya ilusinasiku. Ternyata yang kudapati bukan ibu ataupun adikku. Suara-suara merintih kesakitan dan meminta tolong memenuhi gendang telingaku. Mataku menangkap rimbunan pepohonan di luar jendela kaca pesawat. Aku sadar pesawat yang aku tumpangi mengalami kecelakaan. Terjatuh dan sepertinya di hutan belantara. Sakit pada lengan kiriku membuatku susah bergerak.  Ada rasa perih pada bagian pelipis kiri. Kuraba pelipisku. Ternyata darah mengalir perlahan di sana. Aku meringis kesakitan. Benturan keras tadi membuatku tak sadarkan diri meski hanya beberapa menit.
Tangisan anak kecil yang lirih dan kesakitan terdengar jelas olehku. Pasti anak laki-laki tadi, pikirku. Aku berusaha melepaskan diri dari kursi yang menghimpitku. Pandanganku gelap karena seluruh lampu ruangan pesawat mati. Akhirnya dengan segala kekuatanku yang tersisa aku melepaskan diri. Aku berusaha menggerak-gerakkan tubuh ibu muda di sebelahku.Tapi tak ada reaksi. Hatiku semakin kalut. Aku berusaha melewatinya dan menggapai kabin. Sementara kursi di sebelah sang ibu muda ini entah kenapa sudah kosong. Segera kubuka kabin pesawat tempat aku menaruh tas dengan meraba-rabanya. Di dalam tasku, ada senter kecil dan beberapa obat-obatan.
Dengan susah payah, akhirnya kutemukan juga tasku. Segera kubuka dan mengambil senter kecilku. Saat menyalakannya, aku hampir histeris. Kini, terpampang dengan jelas meski hanya dengan cahaya lampu senter, darah berceceran di mana-mana. Aku segera mencari asal suara tangisan si anak itu. Ternyata ia ada di bawah bangku ibunya. Ada darah yang terlihat ke luar dari pergelangan tangannya. Sementara di bagian depan dan belakang pun kini sudah mulai banyak teriakan. Itu pertanda masih ada yang hidup selain aku.
Kini aku harus berbuat sesuatu. Senter kecilku kumasukkan ke dalam mulut dan aku segera mengeluarkan sang anak dari bawah bangku. Ia menggeliat, kini terdengar jelas suaranya. Aku beralih pada sang ibu. Darah membasahi bajunya. Dari kepalanya ada darah yang terus mengalir. Aku tahu pasti terjadi benturan keras di kepalanya. Aku ingat, ia tadi melepaskan seatbeltnya saat memberi minum dari botol susu pada anaknya. Hatiku miris. Kurasakan denyut nadi sang ibu muda ini tak berdenyut lagi.
Sementara tak jauh dari tempat aku, suara seseorang perempuan berteriak meminta bantuan. Aku segera membuka tasku. Teringat masih ada senter kecil. Aku memang membawa satu senter kecil lagi buat cadangan. Kunyalakan dan kulempar pada asal suara di belakangku. Dari cahaya kecil senterku, kulihat dia adalah seorang gadis muda. Dari tampilannya terlihat masih seperti anak kuliahan.
“Mas, buka pintu darurat itu!” teriaknya padaku.
Sembari menggendong anak laki-laki yang terus menangis di tangan kananku, aku beranjak pada pintu darurat. Mencoba dengan sisa-sisa tenagaku membukanya. Kini terpampang sudah hutan belantara di depanku. Kini aku didera kebingungan. Apa yang harus kulakukan? Ke luar dari pesawat meletakkan sang anak ini yang sedang sekarat? Atau kembali masuk bersama lainnya untuk membantu penumpang yang masih selamat?  Tangisan sang anak mereda, matanya mengerjap-ngerjap. Kemeja putih yang kukenakan kini menjadi merah. Pelipis kiriku nyeri sekali. Lengan kiriku terasa sakit saat aku menggerakkannya. Kuputuskan untuk segera ke luar dari pesawat.
Sementara telah terlihat beberapa orang yang sudah berhasil ke luar lebih dulu. Mereka pun sepertinya terluka. Entah bagaimana cara mereka ke luar, aku tak peduli lagi pertanyan-pertanyaan di kepalaku. Tidak. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus kuat, bathinku. Sebagai seorang dokter aku sudah terbiasa melihat darah. Namun dalam kondisiku yang sedang terluka aku sadar kemampuanku sangat terbatas. Sementara di dalam pesawat, kini banyak nyawa yang sedang meradang. Entah kapan bantuan akan datang, hatiku getir. Kini wajah adikku Lianti bermain-main di pelupuk mataku. Bagaimana dengan pernikahannya tanpa kehadiranku?
Aku mendekati seorang bapak yang tak jauh dariku. Ia bersandar pada pohon besar. Terduduk lesu dengan tatapan kosong. Pada wajahnya terlihat beberapa luka meskipun tidak besar.
“Pak, tolong sebentar, bisa gendong anak ini? Saya mau mengambil handphone dari saku celana saya. Tangan kiri saya sakit, Pak.” ujarku.
Ia tak menjawab. Ia memberi isyarat agar aku meletakkan di pangkuannya. Aku dapat melihat jika ia pun terluka serius. Segera kuletakkan sang anak perlahan. Merogoh saku celana jeansku, dan mengeluarkan handphone. Mencoba menyalakannya, tapi mati. Handphone ini lowbat. Aku menggerutu tidak karuan. Menyesali, mengapa perangkat yang secanggih dan semahal ini bahkan tidak bisa diandalkan dalam kondisi genting ini. Aku melihat seorang pria berbadan tegap sedang sibuk menolong beberapa orang. Paha kirinya terluka sehingga ia berjalan sambil menyeret kakinya.
“Mas, hayoo bantuin, di dalam pesawat masih banyak orang yang butuh bantuan kita!” teriak pria itu.
Aku melirik bapak yang memangku sang anak. Aku tak tega meninggalkan anak itu. Ia tak menangis lagi. Ia bahkan tak mengeluarkan suara. Hanya gerakan kaki dan tangannya yang membuatku tahu jika ia masih hidup. Aku menelan ludah kegetiran. Si bapak memberi isyarat dengan tangannya agar aku mengikuti pria tadi. Masuk ke dalam pesawat dan membantu yang lainnya. Dengan langkah gontai aku segera menyusul masuk ke dalam pesawat.
***
Aku terduduk lesu bersandar pada pohon. Menatap pada pesawat yang hampir seluruh bagian depannya hancur. Ia menabrak pohon besar. Hatiku menjerit. Entah perasaan apa yang kini bersemayam dalam hatiku. Aku merasa begitu bersalah tak mampu menyelamatkan sang anak tadi. Ia sudah tak bernafas lagi saat aku kembali. Sementara bapak yang menggendongnya pun kini tak bernyawa. Tak terasa air mata menguap di pelupuk mataku. Entah berapa banyak penumpang yang meninggal. Aku melirik gadis muda yang kuberi senter tadi. Kini ia menangis histeris. Entah apa yang sedang terjadi padanya.
Aku melihat pemandangan yang sangat menyayat hatiku. Penumpang yang masih hidup, semuanya terluka. Mereka semua kebingungan sama sepertiku. Yang perempuan menangis menjerit-jerit. Sementara pria pun demikian, ada yang menangis sambil memegangi rambutnya. Aku tak tahu penyebab pastinya mengapa pesawat ini terjatuh. Sepertinya, bertanya juga percuma saja. Mungkin diantara mereka ada yang kehilangan keluarganya. Aku harus berbuat sesuatu. Meski aku sebagai dokter kandungan, setidaknya aku bisa membantu pengobatan dengan obat-obatan yang ada di tasku tadi. Tapi aku sadar, tas itu kutinggalkan di kabin pesawat.
“Pak, jangan kembali ke dalam, bahaya!” teriak seorang pria berkacamata tak jauh dariku.
“Saya harus mengambil tas, Pak. Ada obat-obatan yang mungkin bisa berguna.”
“Jangan, Pak! Saya khawatir pesawat akan meledak. Lebih baik kita semua mencari cara agar posisi jatuhnya pesawat kita bisa diketahui secepatnya.”
Mendengar ucapan bapak itu, membuat aku jadi meragu. Bagaimana jika saat aku masuk ke dalam pesawat terjadi ledakan? Tapi melihat begitu banyak yang terluka dan butuh pertolongan membuatku jadi galau. Aku sadar, kami semua berada di hutan belantara. Dalam kondisi kami yang sedang kritis, ancaman dari binatang buas pun membuatku semakin kalut. Hatiku semakin getir takkala melihat sekelilingku. Wajah-wajah penuh luka dengan tangisan histeris kehilangan sanak keluarga menjadi pemandangan yang sangat menyayat hati.
“Apakah ada diantara saudara-saudara semua  mempunyai handphone yang masih aktif?” aku berteriak agar semua mendengarku.
Handphone saya aktif, Pak! Tapi tidak ada sinyal di sini.” jawab seorang pria berbadan ceking yang tak jauh dariku.
“Sama, handphone saya juga aktif. Tapi percuma, tidak ada sinyal, mungkin karena kita berada di hutan belantara seperti ini.” ujar seorang lagi menimpali.
Pikiranku semakin kalut. Aku kini merasakan berada diantara wajah-wajah tanpa senyuman. Tergambar jelas di wajah-wajah mereka kegalauan. Air mata, tangisan histeris, wajah-wajah penuh ketegangan. Sementara aku, ada kesedihan yang begitu mendalam ketika wajah adikku Lianti menggelayut di pelupuk mataku. Membayangkan pernikahannya tanpa kehadiranku, akan seperti apa rasanya. Atau mungkin saat ini ia sedang menangis histeris, karena ia mengetahui bahwa pesawat yang aku tumpangi mengalami kecelakaan.
Aku menghela nafas yang panjang. Betapa kematian begitu mengerikan dengan cara seperti ini. Kematian itu kini terpampang jelas di depan mataku. Aku teringat sebuah buku yang pernah aku baca; “Hidup itu hanyalah misteri. Kematian adalah hal yang pasti. Tapi kematian itu tidak mengenal waktu, maupun usia. Ia bisa datang kapan saja, di mana saja, atas kehendak Sang Pencipta. Maka dari itu, syukurilah dan buatlah setiap moment yang indah dalam hidupmu selagi nafas masih di raga,” dan kini kurasakan itu semua benar adanya. Ya Allah, berilah aku kesempatan untuk membahagiakan orang-orang terdekatku sebelum aku mati, doaku.
Seseorang berteriak agar kita harus segera ke luar dari hutan belantara ini dan mencari bantuan. Banyak yang tak bergeming, saling memandang. Mungkin ada yang berpikir dengan luka serius seperti ini, mana mungkin kita bisa berjalan jauh. Aku galau, sebagai seorang dokter aku malah tak bisa berbuat banyak. Aku bangkit dan berdiri meski lengan kiriku terasa sakit sekali.
“Hayooo… Saudara-saudara semuanya, kita harus semangat! Kita tidak mungkin hanya berdiam diri seperti ini menunggu bantuan yang entah kapan akan datang.” teriakku menimpali teriakan dari seseorang tadi.
“Iya kita harus survive, kita tidak boleh menyerah dengan keadaan ini! Kita harus segera mencari bantuan,  dengan cara apapun!” si gadis muda menimpali ikut memberi semangat.
“Tapi bagaimana dengan mayat-mayat di dalam sana? Ada mayat Ayahku di dalam pesawat! Apakah aku harus meninggalkanya?!” teriak seorang perempuan lagi sambil histeris. Rambut panjangnya berwarna merah. Merah oleh darah yang masih mengalir dan perlahan jatuh di pipinya.
Aku menelan ludah kegetiran mendengar teriakan histeris perempuan itu. Semua lalu saling memandang. Tapi kita tidak mungkin akan terus bertahan di hutan belantara ini tanpa melakukan sesuatu. Kita harus ke luar dan mencari bantuan. Seorang bapak kemudian bangkit berdiri. Kakinya berdarah. Dagu sebelah kanan pun terlihat luka yang besar.
“Kita tidak mungkin akan terus bertahan di sini! Kita harus segera meninggalkan tempat ini dan mencari bantuan! Setelahnya, nanti kita barulah kembali ke sini untuk mengurus mayat keluarga kita. Hayo mari kita semua berjalan, kita harus saling bahu-membahu, cepat sebelum waktu kita habis di sini!” teriak bapak itu.
Aku lalu menanyakan siapa yang memiliki korek api. Beruntunglah ada seorang anak muda yang memilkinya lengkap dengan sebungkus rokoknya. Aku lalu berjalan menuju diantara dua pohon. Dibantu yang lain, aku mengumpulkan dahan-dahan pohon yang patah, rumput, apapun yang bisa terbakar. Dengan susah payah api akhirnya menyala. Menciptakan gumpalan asap hitam yang menembus rimbunan daun dan pohon, lalu menyebar segera menuju ke awan. Aku berharap ini bisa menjadi sebuah tanda keberadaan kami.
Lalu dengan kekuatan yang masih tersisa, kami mencoba berjalan. Saling bantu-membantu. Penumpang yang terluka serius dan tak mampu berjalan, di bopong oleh yang masih kuat. Jumlah kami semua 21 orang. “Ya, Allah berilah kami kekuatan dan keselamatan agar kami bisa melewati semua ini,” doaku dalam hati. Kami semua berjalan menyusuri hutan belantara. Kini terpampang jelas wajah-wajah kami penuh galau. Semua berharap bantuan segera tiba dan mengakhiri perjalanan penuh kegetiran ini.


THE END