Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango
KADO TERINDAH DI BULAN NOVEMBER
Aku setengah berlari mengejar seseorang yang sekilas tadi kulihat dari atas jendela kamarku. Tapi percuma ia seolah hilang di telan bumi. Ah, cepat sekali perginya, gerutuku. Bahkan suara kendaraannya nyaris tak terdengar. Kututup rapat pintu pagar, kembali masuk kedalam rumah. Segera menemui si mbok.
“Mbok, tadi yang nganterin kado ini, ciri-cirinya seperti apa sih?“
“Ehm..tinggi, putih, cantik pokoknya Mas Rendy, mbok susah inget semuanya.“
„“Duuuh..gimana sih Mbok, masa lupa, mana tuh orang cepet banget ilangnya. Yah sudah Mbok, aku ke kamar dulu. Oia makasih yah.” Ujarku pada si mbok.
Kutatap lekat kado mungil yang terbungkus indah dengan warna kesukaanku itu. Yah warna biru. Tapi aku bingung, siapa yang mengirimi aku bingkisan kecil itu. Lalu warna biru, sebuah warna kesukaanku yang selama ini hanya orang tertentu dan spesial yang tahu. Bahkan di setiap biodataku, hanyalah warna hitam yang selalu kucantumkan. Kado mungil itu kutaruh di dalam lemari pakaian. Aku masih enggan membukanya. Apalagi tidak tahu siapa pengirimnya.
***
Bergegas aku menuju ke kelas. Setengah berlari bahkan hampir terjatuh di tangga. Aku menggerutu tidak karuan, menyalahkan jam weker yang tidak membangunkanku pagi tadi. Wajah dosen killerku itu pun menggelayut di mataku yang masih terasa ngantuk. Dengan nafas yang masih memburu, kuberanikan mengetuk pintu dan masuk. Kehadiranku segera mengundang gelak tawa semua teman-teman kuliahku. Aku kesal di buatnya. Kuacungkan jari tengah pada mereka sambil nyengir kuda. Dosen killer tapi sangat cantik itu, berhenti menulis dan memandangku tajam.
“Rendy, alasan apa lagi yang mau kamu katakan sekarang?!“
“Maaf Bu, tidak ada alasan.”
“Apa katamu? Tidak ada alasan!“ Hardik Bu Nanda geram padaku.
“Palingan semalam abis latihan lipsing tuh bu, mau ngikutin jejak Briptu Norman biar jadi selebritis dadakan.” Ujar Anton salah satu temanku yang paling jahil.
Sontak mengundang tawa seluruh temanku. Diantara gelak tawa mereka kulihat ada sebuah senyuman yang mengisyaratkanku untuk tetap bersabar. Senyuman itu datang dari seorang gadis berambut panjang, bermata indah. Aku pun tersenyum padanya.
“Sudah diam semuanya! Dan kamu Rendy, silahkan keluar dan nanti temui saya di ruang dosen“. Dengan langkah gontai kutinggalkan kelas. Ini adalah kali ke2 aku tidak boleh mengikuti mata kuliah Ibu Nanda. Dan anehnya lagi, dengan kesalahan yang sama.
***
Sambil menyeruput teh botol di sudut kantin kampus, aku bersandar di kursi. Pikiranku jauh melayang. Tiba-tiba ada kerinduan yang begitu hebatnya datang menghampiriku. Bahkan rasa itu seperti rintik-rintik hujan turun. Ia tidak begitu deras, tapi perlahan. Sehingga membuatku sulit untuk menghentikannnya.
Dalam suasana seperti ini, aku terkadang begitu lemah. Bahkan naluri kejantananku luluh, menciptakan kristal bening hangat di sudut mataku. Aku tersentak kaget, ketika sebuah tangan kekar memegang pundakku disertai tawa riang mereka. Dua orang sahabatku telah berdiri di sampingku dengan gaya khasnya.
Ia adalah Erwin asli Jakarta, mungkin masih keturunan Bang Pitung kali yah, soalnya bahasanya betawi banget, sementara Ardi asli dari Medan logat bataknya pun masih sangat kental. Mereka telah duduk manis di depanku.
“Woy..Ngelamun aje lo! Kesambet kuntilanak baru tau rasa..hahaha“ Ujar Erwin disertai tawanya.
“Eits...tunggu dulu Win, macam mana kau! Si Rendy ini mana cocok kesambet kuntilanak, itu sih namanya kunti genit. Cowok ganteng macam dia, setan model cewek apa saja pastilah naksir..“ Sela Ardi menimpali.
“Ngaco lo semua! Sialan, gue sumpahin lo berdua jadi kodok mau lo!“ Gelak tawa kami pun terdengar kemana-mana.
“By the way, nape lo tadi telat masuk kelas? Gue bilangin yee, kalo ampe ntuh dosen killer kagak ngasih nilai buat lo, bise nangis tige hari tige malem lo!”
“Iya nih, sial banget. Gue lupa nyalain jam weker.”
“Alamaaak... malas kali kau Ren! Untung saja aku tak malas seperti kau, jauh-jauh aku dari medan, kalau sampai aku tak berhasil di Jakarta ini, apa kata mamakku nanti.”
“Hei..kucluk nape lo curhat sih! Yang lagi punye masaleh noh si Rendy, gue kepret jadi kerak telor biar tahu rase lo!” Ujar Erwin dengan mimik lucu sambil ngancem pake tangan. Spontan Ardi bangkit.
“Enak saja kau! Haiiits... aku tangkislah. Aku ini di Medan sana, belajar silat sampai jurus manjat!” Ardi menghindar sembari memperlihatkan jurus manjatnya. Erwin sontan mencibir mengejek.
“Halaah, jurus ape tuh! Lo kagak tahu ape, gue ini masih turunan Bang Pitung, gue belajar silat nih yee, ampe jurus langkeh!“ Erwin tidak mau kalah ia pun memperagakan jurusnya dengan langkah kaki berputar. Aku yang melihat kelakuan dua sahabatku itu tertawa terpingkal-pingkal. Ibu Marni penjaga kantin yang sudah kenal akrab dengan kami, hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
“Woy... Erwin gue tahu maksud lo, itu jurus langkah seribu kan? Dasar lo! Nah lo Ardi, gue tahu itu jurus manjat pohon, mau jadi monyet lo? gokil lo semua!“ Ujarku menahan tawa.
Kami bertiga tertawa terpingkal-pingkal. Beginilah persahabatan kami, terjalin sejak 3 tahun yang lalu kami kuliah bersama. Jika ada salah satu diantara kami mengalami suatu masalah, maka yang lainnya berusaha untuk menghadirkan tawa. Ya, hadir diantara mereka kurasakan sebuah persahabatan indah. Kami lalu kembali ke kelas untuk mengikuti kuliah selanjutnya.
***
Aku menapaki Taman Suropati dengan langkah santai. Sore sabtu itu suasananya terlihat ramai. Banyak pasangan muda mudi terlihat bercengkrama satu sama lain. Suasana sore yang cerah dengan aroma bunga taman menjadikan taman ini menjadi sebuah tempat yang romantis.
Seketika bayangan seseorang yang pernah hadir dan menemani hari-hariku di taman ini 5 tahun yang lalu lansung membuaiku. Terdiam aku duduk di sebuah bangku persis di bawah pohon. Aku menatap pada bangku yang sedang di tempati sepasang muda mudi. Teringat di bulan november kala itu;
“Ren…lo sayang kan ma gue?”
“Pastinya, kok lo nanya kayak gitu sih? Emang kurang yah, kasih sayang gue selama ini ke lo?“ Tanyaku menatap heran.
“Kalo lo emang sayang, gue mau kita putus!“
“Apa kata lo? Kok lo tiba-tiba jadi gini sih? Aneh tahu gak? Emang gue salah apa ama lo? Gue tuh sayang dan cinta banget ama lo Tasya!”
“lo nggak salah apa-apa, tapi lo kan tahu bentar lagi gue lulus dan harus ngelanjutin kuliah di Italia. Gue nggak bisa menjalin hubungan jarak jauh Ren.”
“Kok nggak bisa? Sekarang tehnologi dah canggih, ada telepon, kita bisa komunikasi lewat facebook atau yahoo messenger. Atau jangan-jangan itu hanya alasan lo aja. Lo dah punya cowok lain ya? Jujur aja!”
“Rendy..lo kok nuduh gue yang nggak-nggak sih! Lo kan tahu gue juga sayang banget ama lo, nggak akan ada senyum lain yang bisa mengisi ruang ruang rindu gue selain lo. Tapi ini kondisinya beda.” Kristal bening telah meluncur deras di kedua pipinya. Kuraih tangan mungilnya. Kugenggam dan kuseka air matanya.
“Tapi gue tetap nggak mau putus ama lo! Apalagi hanya alasan, karena lo harus kuliah di Italia. Masih banyak cara untuk komunikasi, kalo perlu gue akan nyusul lo kesana setelah gue lulus nanti”. Ujarku saat itu sedikit memelas.
“Ren, gue takut nggak konsen kuliah di sana nantinya. Dan gue nggak mau ngecewain bokap nyokap gue, gue harap lo ngerti.”
”Tetap aja gue nggak ngerti jalan pikiran lo!”
“Pokoknya kita harus putus Ren, ini memang sulit, menyakitkan, gue juga sama ngerasain itu. Sorry yah, gue harus pamit, selamat tinggal beibs..”
Tasya berdiri berlalu pergi. Aku hanya terpaku seolah masih tak percaya, hatiku sakit dengan keputusannya. Kubiarkan ia berlalu pergi. Tak ada kekuatan untuk menahannya, meski hanya memanggil namanya untuk berhenti sejenak. Lidahku kelu. Aku seketika tersadar oleh lamunan masa laluku.
Mataku tetap lekat memandang ke arah bangku itu. Ada satu rindu menyentuh dinding kalbuku yang rapuh penuh luka. Sentuhan yang menguak masa lalu remajaku. Cintaku pada Tasya terlalu bodoh mungkin. Terbukti aku belum mampu menghadirkan cinta lain di hatiku, meski 5 tahun kisah ini telah berlalu.
Sementara Tasya entah mengapa aku begitu yakin, jika ia telah melupakanku, bahkan mungkin ia telah menemukan cowok lain, yang jauh lebih baik dariku. Bukankah selama ini ada beberapa cewek yang berusaha mendekatiku. Tapi mengapa tetap saja hatiku beku dan dingin?. Aku menghela nafas, beranjak berdiri dan meninggalkan taman dengan senyum getir.
***
Aku membuka perlahan kado berwarna biru, yang diantar oleh seseorang misterius itu. Ukurannya kecil berbentuk kotak. Seperti kotak sebuah jam tangan. Aku terperanjat kaget ketika melihat isinya. Sebuah jam tangan mungil berwarna ungu. Bukankah ini adalah hadiah jam tangan yang kuberikan untuk Tasya? Hadiah ini kuberikan untuknya sebagai kado ulang tahunnya tepatnya 3 November beberapa tahun lalu.
Namun setelah ia mencampakkanku kala itu, bulan November tiba-tiba saja menjadi bulan yang paling tidak kusukai dalam hidupku. Lalu apa maksud dari semua ini? Untuk apa ia melakukannya? Apakah untuk semakin membuatku terpuruk? Jadi ia yang sengaja datang waktu itu, lalu memberikan kado ini ke si mbok. Pertanyaan demi pertanyaan mengisi ruang hatiku.
Kulirik jam tanganku. Aku harus segera ke kampus. Aku tidak ingin lagi telat mengikuti mata kuliah dosen baruku itu. Seorang dosen yang masih sangat muda, cantik, yang di sebut killer oleh anak-anak karena perlakuaannya padaku. Dosen yang tidak boleh mengikuti kelasnya, saat aku terlambat meski hanya beberapa menit. Aku tersenyum kecut dan segera ke kampus.
Tiba di kelas, Erwin dan Ardi lansung membelakkan mata melihatku. Teman-teman yang lain seolah aneh memandangku. Aku tahu, mereka pasti heran melihatku datang lebih awal dari biasanya. Tak kuhiraukan godaan mereka. Aku segera duduk di bangku paling depan. Ardi dan Erwin berpandangan dan menatapku heran. Lalu sontak tawa mereka membuat gaduh.
“Ardi..lo liat sahabat kite, mimpi ape die semalem? Jam segini dah nongol, terus duduk paling depan!.” Ujar Erwin tertawa. Aku hanya tersenyum tanpa peduli. Pura-pura cuek dan mengeluarkan buku catatanku.
“Win..aku yakin semalam dia mimpi melihat hantu! Jadi bangunnya subuh, karena takut, tak bisanya dia tidur lagi! Makanya bisanya dia datang pagi, hari ini.” Ardi ikut menimpali dan menggodaku.
“Ngaco lo! Emang gak boleh gue datang pagi? Khan lo berdua yang bilang, gue gak boleh gagal mata kuliah ini? Iya khan?!” Ujarku tetap bersikap tenang dan hanya tersenyum.
“Wah hebat, aku setuju dengan kau hari ini Ren! Kalo perlu kau pacari saja dosen kita itu, biar kau dapat nilai bagus.” Ujar Ardi berbisik pelan di telingaku dan ia pun tertawa.
Aku menyikutnya. Dan tanpa kusadari ternyata Bu Nanda sudah berdiri di balik pintu. Ia tersenyum pada kami semua, menyapa, dan melangkah masuk. Sekilas kulihat ia seperti tersenyum padaku. Jantungku berdegup kencang. 1 jam telah berlalu, jam kuliah Bu Nanda telah habis. Sebelum meninggalkan kelas, ia menghampiriku lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
“Rendy, kamu 2 kali tidak mengikuti mata kuliah ini. Saya pinjamkan buku ini, mungkin bisa membantu ketinggalan sebelumnya”
“Terima kasih..” Ujarku. Ia pun berlalu pergi.
Kubuka buku itu lembar demi lembar. Tiba-tiba aku menemukan potongan kertas yang hampir terjatuh. Jantungku berdetak tak karuan saat membaca tulisan di kertas itu. Segera kumasukkan buku itu ke dalam tasku. Pamit pulang lebih dulu pada Ardi dan Erwin yang masih keheranan dengan tingkahku sejak tadi.
***
Sore itu aku kembali menapaki jalan trotoar sepanjang taman Suropati. Sesekali pandanganku menyapu sepanjang taman. Menyaksikan keindahannya. Entah mengapa perasaanku jadi tak karuan. Jantungku berdegup kencang. Aku meminum habis sebotol aqua kecil untuk menetralisir perasaanku. Aku tersenyum saat melihat bangku yang dulu menjadi tempat favoritku bersama Tasya masih kosong.
Segera duduk di bangku itu. Pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang sedang asyik berduaan, mereka terlihat begitu bahagia, saling tertawa riang sesekali saling memandang, dan menggenggam tangan. Aku jadi iri melihatnya. Dalam keterpakuanku, tiba-tiba ada suara yang menyapa lembut namaku. Seolah masih tak percaya, aku perlahan menoleh ke arah datangnya suara itu.
Jantungku semakin berdegup kencang. Aku seolah kembali merasakan rasa yang pernah kualami 5 tahun yang lalu. Seseorang yang dulu pernah meninggalkanku kini telah berdiri tepat di depanku. Ia adalah dosen baruku. Nanda Tasya Anggraeni. Lama kami saling menatap, menyelami perasaan masing-masing yang aku sendiri sulit mendefinisikannya. Hingga suaranya kembali membuyarkan keterpakuan kami.
“Rendy...boleh aku duduk di sampingmu?” Ujarnya membuatku semakin grogi. Kata-katanya barusan membuatku semakin sadar, bahwa kami bukan remaja lagi seperti 5 tahun silam.
“Tasya... mana mungkin aku melarangmu duduk di tempat pavorit kita ini. Sebuah kenangan masa lalu yang sangat sulit aku kubur. Ya, kini tinggallah masa lalu. Karena kini setelah kau kembali pun kusadari semuanya telah berbeda.”
“Rendy...itulah kamu, masih seperti yang dulu. Terlalu cepat mengambil kesimpulan!” Aku menatap kedua matanya. Mencoba mencari makna dari kalimat yang barusan keluar dari bibir mungilnya.
“Apa maksud kamu? Kamu seperti mempermainkan rasaku. 5 tahun lalu kau meninggalkanku begitu saja, bahkan menorehkan luka di hatiku. Tanpa ada kabar, kau biarkan diriku sendiri merasakan perihnya rinduku. Bahkan air mataku hampir kering. Lalu kini kau tiba-tiba datang, menjadi dosen baruku. Aku merasa semakin terpuruk dengan keadaan ini”
“Rendy...kenapa sih kamu masih tidak menyadari ini? Mengapa hatimu tidak peka? Sadar nggak sih, aku yang dulu dan kini masih tetap seperti yang dulu. Rasa ini tak pernah berubah beibs. Tak ada satu laki-laki manapun yang bisa menggantikan namamu di hatiku, seperti kecurigaan kamu dulu.” Seolah tak percaya aku mendengarnya. Kutatap matanya. Bulir bening mulai menghiasi bola mata indahnya. Aku terdiam.
“Maafin aku saat itu harus meninggalkanmu, ternyata aku salah, justru aku sangat membutuhkanmu, semenjak di Italia aku pun tersiksa dengan kerinduanku. Tanpa sepengetahuan kamu dengan nama palsu kita berteman di facebook. Dari sana semua akses tentangmu, kegiatan-kegiatanmu kuketahui. Kamu sering curhat tentang dirimu saat kita chat box, dari situ aku tahu betapa rindu dan sayangnya kamu padaku, Beibs! Dan satu lagi kamu sering curhat bahwa setelah aku meninggalkanmu, kamu jadi begitu benci bulan November. Kamu inget kan temen kamu di Facebook yang bernama Dinda? Itu aku dan memang sengaja foto yang aku pasang adalah foto teman-teman kuliahku di sana”
“Jadi Dinda itu kamu???” Ujarku tak kuasa menahan rasa kagetku, teringat Dinda yang menjadi sahabatku dan tempat curhatku.
“Iya Ren, itu aku. Aku tahu semuanya tentangmu. Aku begitu semangat kuliah di sana berharap untuk cepat selesai dan menemuimu. Kuselesaikan S1 hingga S2ku, dengan nilai cumlaude. Aku juga tahu setelah kamu lulus SMU, 2 tahun kamu aktif sebagai aktivis anak jalanan, lalu memutuskan kuliah lagi. Aku kemudian sengaja melamar menjadi dosen, di tempatmu kuliah sejak masih di Italia, berharap aku bisa selalu bersamamu. Aku tahu sejak pertemuan pertama di kelas kamu pasti kaget dan shock melihatku. Aku bahkan sengaja memberimu kado itu dan menunggu reaksimu agar kamu menemuiku, tapi hingga pertemuan kedua kamu tetap tak bereaksi. Hingga pertemuan ketiga, sengaja memberimu buku dan tulisan agar kita bertemu di taman ini. Rendy aku tahu kamu sakit dengan keputusanku 5 tahun yang lalu, tapi aku sekarang kembali untuk kamu. Tak ada senyuman yang kuinginkan selain senyuman kamu beibs! Atau aku sudah tidak memiliki tempat di hatimu?”
Kulihat air matanya kini mengalir deras di kedua pipinya. Di sudut mataku mulai terasa hangat. Perlahan air mataku beranjak keluar. Aku menarik nafas yang terasa sesak, tiba-tiba ada rasa haru mengharu biru di dadaku.
“Tasya, kamu tahu tak ada seorang wanita manapun yang bisa menggantikanmu di hatiku. Rasa sakit yang pernah menjadi luka kini telah terobati. Aku begitu bahagia mendengar semua ini. Entahlah rasa bahagia ini tak dapat lagi kulukiskan dengan kata. Aku tidak ingin kehilangan kamu lagi sayang” Aku lansung menabrak, memeluknya, menumpahkan semua kerinduanku. Ia pun memelukku erat. Ada tangis bahagia yang menghiasi kedua pipi kami sore itu.
“Aku tak akan pernah meninggalkanmu lagi beibs, I love u so much.” Ujarnya berbisik di telingaku.
“I Love u too sayang, kini aku sadar ternyata inilah akhir dari sebuah penantianku selama ini.” Ujarku menyandarkannya di dadaku.
”Beib’s masihkah kamu benci bulan November?”
”Iya aku benci! benci bangeeet! karena bulan november telah mempermainkan rasaku dalam waktu 5 tahun! Tapi sekarang, tidak lagi, karena november kali ini telah memberikan kado terindah untukku. Kado terindah itu adalah kamu sayang.” Ujarku terbata-bata. Entahlah rasa haru yang menjalari sekujur tubuhku tak dapat lagi kuungkapkan dengan kata. Kukecup keningnya dan kusandarkan ia dalam pelukku.
Kami pun merajut kembali kisah cinta kami dengan indah. Setelah lulus kuliah, kami akhirnya menikah. Tasya menjalani hari-harinya sebagai dosen dan aku menggantikan ayahku memimpin perusahaannya. Kebahagian yang sesungguhnya menghiasi hari hari kami. Kebahagiaan yang pernah hilang di bulan november dan kembali lagi di bulan november dari sebuah penantian yang panjang. Meski ada air mata, tapi aku memang yakin jika Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk hambanya yang selalu bersabar.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar