Sabtu, 24 Desember 2011

Cerpen...


 
Wajah Wajah Penuh Galau
Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango

Tergesa berjalan menuju pesawat yang akan kutumpangi menuju kampung halamanku. Sedikit trouble di jalan membuatku hampir ketinggalan pesawat. Aku menghela nafas lega saat melangkahkan kaki ke dalam pesawat. Segera kurapihkan tas bawaanku ke dalam kabin. Lalu duduk di seat no 17.A sesuai yang tertera di tiket. Tempat yang sangat pas, gumamku. Aku berada di samping jendela kaca pesawat.
Penerbangan dari Bandara Udara Soekarno-Hatta menuju ke Bandara Udara Supadio Pontianak akan memakan waktu lebih dari satu jam. Burung besi yang akan mengantarkanku kembali ke kampung halamanku perlahan bergerak. Dalam hitungan menit kemudian, burung besi ini telah melaju. Melesat dan meninggi. Aku melihat jauh ke bawah dari jendela kaca pesawat. Perlahan pandanganku semakin samar tergantikan gumpalan awan putih berarak.
Kini wajah adikku telah bergelayut di pelupuk mataku. Lalu ibu, almarhum bapak, dan keluarga besarku. Aku memang menjadi anak rantau di Jakarta. Bekerja di sebuah rumah sakit terkenal dan berprofesi sebagai dokter ahli kandungan. Masih terbilang baru memang. Aku resmi menjadi dokter ahli kandungan selama dua tahun.Yah, aku termasuk salah satu dokter muda. Kepulanganku ke Pontianak kali ini, untuk menghadiri acara pernikahan adik perempuanku Lianti, tepatnya dua hari yang akan datang.
Setelah ayahku meninggal beberapa tahun lalu, sebagai anak sulung, kini aku yang menjadi tulang punggung keluarga. Dalam pernikahan adikku nanti, ia memintaku untuk mendampinginya sebagai pengganti ayah. Aku menghela nafas dan membuangnya perlahan. Ada rasa haru yang tiba-tiba datang menggelitik sanubariku. Aku membayangkan bagaimana wajah adikku dan permohonan maafnya, karena ia akan melangkahiku menikah lebih dulu.
Tak lama kemudian, terdengar suara dari seorang pramugari. Beberapa pramugari kemudian memperagakan tata cara penggunaan alat keselamatan, sesuai instruksi yang dijelaskan melaui pengeras suara. Aku memperhatikan dengan seksama instruksi mereka. Saat seperti ini, terkadang banyak penumpang pesawat yang acuh tak acuh. Padahal bagiku, ini sangatlah penting. Terlebih lagi, saat ini aku duduk tepat di samping pintu darurat. Jadi aku harus mengerti cara penggunaanya, bilamana terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Kulirik penumpang sebelahku. Ia adalah seorang Ibu muda bersama anaknya. Kuperkirakan anaknya baru berumur sekitar dua tahun. Anak laki-laki itu begitu lucu. Giginya tumbuh rapih dan sangat lucu saat ia tertawa. Saat sang anak melihatku, aku pun mencandainya. Ia tertawa malu melihatku. Aku meberanikan diri untuk menyapa ibunya.
“Mbak, tujuannya ke Pontianak juga?” ujarku.
“Iya benar, saya asli Jakarta, tapi suami orang Pontianak. Kami sekeluarga menetap di Jakarta. Kebetulan, suami saya lebih dulu pulang ke Pontianak, Ibu mertua sedang sakit keras.” jawabnya ramah.
“Ooh..oia anaknya lucu, Mbak.” Kataku sembari menyentuh jari sang anak.
Namun tak kusangka ia tiba-tiba menangis. Mungkin nalurinya sebagai anak protes, karena seorang laki-laki lain sedang mengajak ngobrol ibunya. Cemburu mungkin, aku mengira-mengira dan tersenyum. Aku berpaling ke luar jendela pesawat memandangi awan. Entah mengapa aku tiba-tiba terserang kantuk dan akhirnya membuatku terlelap.
***
Teriakan histeris para penumpang pesawat membuatku tersentak dan terbangun. Kegaduhan terjadi di dalam pesawat. Aku belum tahu pasti apa yang sedang terjadi. Ingin bertanya pada ibu sebelahku, tapi ia sedang sibuk mendiamkan tangisan keras anaknya. Aku tak dapat lagi mendengar dengan jelas instruksi dari seorang pramugari. Suara teriakan-teriakan histeris, spontan membuat suasana menjadi tidak karuan. Kegaduhan terjadi di sana sini. Kurasakan pesawat seperti oleng. Aku sadar sedang terjadi masalah besar. Spontan aku berdoa dalam hati. Goncangan keras terjadi. Semua berlalu begitu cepat. Sekejap dan pandanganku gelap.
Mataku mengerjap terbuka saat sayup-sayup seperti terdengar suara ibu dan adikku memanggil-mangil namaku. Perlahan mataku terbuka. Tapi itu hanya ilusinasiku. Ternyata yang kudapati bukan ibu ataupun adikku. Suara-suara merintih kesakitan dan meminta tolong memenuhi gendang telingaku. Mataku menangkap rimbunan pepohonan di luar jendela kaca pesawat. Aku sadar pesawat yang aku tumpangi mengalami kecelakaan. Terjatuh dan sepertinya di hutan belantara. Sakit pada lengan kiriku membuatku susah bergerak.  Ada rasa perih pada bagian pelipis kiri. Kuraba pelipisku. Ternyata darah mengalir perlahan di sana. Aku meringis kesakitan. Benturan keras tadi membuatku tak sadarkan diri meski hanya beberapa menit.
Tangisan anak kecil yang lirih dan kesakitan terdengar jelas olehku. Pasti anak laki-laki tadi, pikirku. Aku berusaha melepaskan diri dari kursi yang menghimpitku. Pandanganku gelap karena seluruh lampu ruangan pesawat mati. Akhirnya dengan segala kekuatanku yang tersisa aku melepaskan diri. Aku berusaha menggerak-gerakkan tubuh ibu muda di sebelahku.Tapi tak ada reaksi. Hatiku semakin kalut. Aku berusaha melewatinya dan menggapai kabin. Sementara kursi di sebelah sang ibu muda ini entah kenapa sudah kosong. Segera kubuka kabin pesawat tempat aku menaruh tas dengan meraba-rabanya. Di dalam tasku, ada senter kecil dan beberapa obat-obatan.
Dengan susah payah, akhirnya kutemukan juga tasku. Segera kubuka dan mengambil senter kecilku. Saat menyalakannya, aku hampir histeris. Kini, terpampang dengan jelas meski hanya dengan cahaya lampu senter, darah berceceran di mana-mana. Aku segera mencari asal suara tangisan si anak itu. Ternyata ia ada di bawah bangku ibunya. Ada darah yang terlihat ke luar dari pergelangan tangannya. Sementara di bagian depan dan belakang pun kini sudah mulai banyak teriakan. Itu pertanda masih ada yang hidup selain aku.
Kini aku harus berbuat sesuatu. Senter kecilku kumasukkan ke dalam mulut dan aku segera mengeluarkan sang anak dari bawah bangku. Ia menggeliat, kini terdengar jelas suaranya. Aku beralih pada sang ibu. Darah membasahi bajunya. Dari kepalanya ada darah yang terus mengalir. Aku tahu pasti terjadi benturan keras di kepalanya. Aku ingat, ia tadi melepaskan seatbeltnya saat memberi minum dari botol susu pada anaknya. Hatiku miris. Kurasakan denyut nadi sang ibu muda ini tak berdenyut lagi.
Sementara tak jauh dari tempat aku, suara seseorang perempuan berteriak meminta bantuan. Aku segera membuka tasku. Teringat masih ada senter kecil. Aku memang membawa satu senter kecil lagi buat cadangan. Kunyalakan dan kulempar pada asal suara di belakangku. Dari cahaya kecil senterku, kulihat dia adalah seorang gadis muda. Dari tampilannya terlihat masih seperti anak kuliahan.
“Mas, buka pintu darurat itu!” teriaknya padaku.
Sembari menggendong anak laki-laki yang terus menangis di tangan kananku, aku beranjak pada pintu darurat. Mencoba dengan sisa-sisa tenagaku membukanya. Kini terpampang sudah hutan belantara di depanku. Kini aku didera kebingungan. Apa yang harus kulakukan? Ke luar dari pesawat meletakkan sang anak ini yang sedang sekarat? Atau kembali masuk bersama lainnya untuk membantu penumpang yang masih selamat?  Tangisan sang anak mereda, matanya mengerjap-ngerjap. Kemeja putih yang kukenakan kini menjadi merah. Pelipis kiriku nyeri sekali. Lengan kiriku terasa sakit saat aku menggerakkannya. Kuputuskan untuk segera ke luar dari pesawat.
Sementara telah terlihat beberapa orang yang sudah berhasil ke luar lebih dulu. Mereka pun sepertinya terluka. Entah bagaimana cara mereka ke luar, aku tak peduli lagi pertanyan-pertanyaan di kepalaku. Tidak. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus kuat, bathinku. Sebagai seorang dokter aku sudah terbiasa melihat darah. Namun dalam kondisiku yang sedang terluka aku sadar kemampuanku sangat terbatas. Sementara di dalam pesawat, kini banyak nyawa yang sedang meradang. Entah kapan bantuan akan datang, hatiku getir. Kini wajah adikku Lianti bermain-main di pelupuk mataku. Bagaimana dengan pernikahannya tanpa kehadiranku?
Aku mendekati seorang bapak yang tak jauh dariku. Ia bersandar pada pohon besar. Terduduk lesu dengan tatapan kosong. Pada wajahnya terlihat beberapa luka meskipun tidak besar.
“Pak, tolong sebentar, bisa gendong anak ini? Saya mau mengambil handphone dari saku celana saya. Tangan kiri saya sakit, Pak.” ujarku.
Ia tak menjawab. Ia memberi isyarat agar aku meletakkan di pangkuannya. Aku dapat melihat jika ia pun terluka serius. Segera kuletakkan sang anak perlahan. Merogoh saku celana jeansku, dan mengeluarkan handphone. Mencoba menyalakannya, tapi mati. Handphone ini lowbat. Aku menggerutu tidak karuan. Menyesali, mengapa perangkat yang secanggih dan semahal ini bahkan tidak bisa diandalkan dalam kondisi genting ini. Aku melihat seorang pria berbadan tegap sedang sibuk menolong beberapa orang. Paha kirinya terluka sehingga ia berjalan sambil menyeret kakinya.
“Mas, hayoo bantuin, di dalam pesawat masih banyak orang yang butuh bantuan kita!” teriak pria itu.
Aku melirik bapak yang memangku sang anak. Aku tak tega meninggalkan anak itu. Ia tak menangis lagi. Ia bahkan tak mengeluarkan suara. Hanya gerakan kaki dan tangannya yang membuatku tahu jika ia masih hidup. Aku menelan ludah kegetiran. Si bapak memberi isyarat dengan tangannya agar aku mengikuti pria tadi. Masuk ke dalam pesawat dan membantu yang lainnya. Dengan langkah gontai aku segera menyusul masuk ke dalam pesawat.
***
Aku terduduk lesu bersandar pada pohon. Menatap pada pesawat yang hampir seluruh bagian depannya hancur. Ia menabrak pohon besar. Hatiku menjerit. Entah perasaan apa yang kini bersemayam dalam hatiku. Aku merasa begitu bersalah tak mampu menyelamatkan sang anak tadi. Ia sudah tak bernafas lagi saat aku kembali. Sementara bapak yang menggendongnya pun kini tak bernyawa. Tak terasa air mata menguap di pelupuk mataku. Entah berapa banyak penumpang yang meninggal. Aku melirik gadis muda yang kuberi senter tadi. Kini ia menangis histeris. Entah apa yang sedang terjadi padanya.
Aku melihat pemandangan yang sangat menyayat hatiku. Penumpang yang masih hidup, semuanya terluka. Mereka semua kebingungan sama sepertiku. Yang perempuan menangis menjerit-jerit. Sementara pria pun demikian, ada yang menangis sambil memegangi rambutnya. Aku tak tahu penyebab pastinya mengapa pesawat ini terjatuh. Sepertinya, bertanya juga percuma saja. Mungkin diantara mereka ada yang kehilangan keluarganya. Aku harus berbuat sesuatu. Meski aku sebagai dokter kandungan, setidaknya aku bisa membantu pengobatan dengan obat-obatan yang ada di tasku tadi. Tapi aku sadar, tas itu kutinggalkan di kabin pesawat.
“Pak, jangan kembali ke dalam, bahaya!” teriak seorang pria berkacamata tak jauh dariku.
“Saya harus mengambil tas, Pak. Ada obat-obatan yang mungkin bisa berguna.”
“Jangan, Pak! Saya khawatir pesawat akan meledak. Lebih baik kita semua mencari cara agar posisi jatuhnya pesawat kita bisa diketahui secepatnya.”
Mendengar ucapan bapak itu, membuat aku jadi meragu. Bagaimana jika saat aku masuk ke dalam pesawat terjadi ledakan? Tapi melihat begitu banyak yang terluka dan butuh pertolongan membuatku jadi galau. Aku sadar, kami semua berada di hutan belantara. Dalam kondisi kami yang sedang kritis, ancaman dari binatang buas pun membuatku semakin kalut. Hatiku semakin getir takkala melihat sekelilingku. Wajah-wajah penuh luka dengan tangisan histeris kehilangan sanak keluarga menjadi pemandangan yang sangat menyayat hati.
“Apakah ada diantara saudara-saudara semua  mempunyai handphone yang masih aktif?” aku berteriak agar semua mendengarku.
Handphone saya aktif, Pak! Tapi tidak ada sinyal di sini.” jawab seorang pria berbadan ceking yang tak jauh dariku.
“Sama, handphone saya juga aktif. Tapi percuma, tidak ada sinyal, mungkin karena kita berada di hutan belantara seperti ini.” ujar seorang lagi menimpali.
Pikiranku semakin kalut. Aku kini merasakan berada diantara wajah-wajah tanpa senyuman. Tergambar jelas di wajah-wajah mereka kegalauan. Air mata, tangisan histeris, wajah-wajah penuh ketegangan. Sementara aku, ada kesedihan yang begitu mendalam ketika wajah adikku Lianti menggelayut di pelupuk mataku. Membayangkan pernikahannya tanpa kehadiranku, akan seperti apa rasanya. Atau mungkin saat ini ia sedang menangis histeris, karena ia mengetahui bahwa pesawat yang aku tumpangi mengalami kecelakaan.
Aku menghela nafas yang panjang. Betapa kematian begitu mengerikan dengan cara seperti ini. Kematian itu kini terpampang jelas di depan mataku. Aku teringat sebuah buku yang pernah aku baca; “Hidup itu hanyalah misteri. Kematian adalah hal yang pasti. Tapi kematian itu tidak mengenal waktu, maupun usia. Ia bisa datang kapan saja, di mana saja, atas kehendak Sang Pencipta. Maka dari itu, syukurilah dan buatlah setiap moment yang indah dalam hidupmu selagi nafas masih di raga,” dan kini kurasakan itu semua benar adanya. Ya Allah, berilah aku kesempatan untuk membahagiakan orang-orang terdekatku sebelum aku mati, doaku.
Seseorang berteriak agar kita harus segera ke luar dari hutan belantara ini dan mencari bantuan. Banyak yang tak bergeming, saling memandang. Mungkin ada yang berpikir dengan luka serius seperti ini, mana mungkin kita bisa berjalan jauh. Aku galau, sebagai seorang dokter aku malah tak bisa berbuat banyak. Aku bangkit dan berdiri meski lengan kiriku terasa sakit sekali.
“Hayooo… Saudara-saudara semuanya, kita harus semangat! Kita tidak mungkin hanya berdiam diri seperti ini menunggu bantuan yang entah kapan akan datang.” teriakku menimpali teriakan dari seseorang tadi.
“Iya kita harus survive, kita tidak boleh menyerah dengan keadaan ini! Kita harus segera mencari bantuan,  dengan cara apapun!” si gadis muda menimpali ikut memberi semangat.
“Tapi bagaimana dengan mayat-mayat di dalam sana? Ada mayat Ayahku di dalam pesawat! Apakah aku harus meninggalkanya?!” teriak seorang perempuan lagi sambil histeris. Rambut panjangnya berwarna merah. Merah oleh darah yang masih mengalir dan perlahan jatuh di pipinya.
Aku menelan ludah kegetiran mendengar teriakan histeris perempuan itu. Semua lalu saling memandang. Tapi kita tidak mungkin akan terus bertahan di hutan belantara ini tanpa melakukan sesuatu. Kita harus ke luar dan mencari bantuan. Seorang bapak kemudian bangkit berdiri. Kakinya berdarah. Dagu sebelah kanan pun terlihat luka yang besar.
“Kita tidak mungkin akan terus bertahan di sini! Kita harus segera meninggalkan tempat ini dan mencari bantuan! Setelahnya, nanti kita barulah kembali ke sini untuk mengurus mayat keluarga kita. Hayo mari kita semua berjalan, kita harus saling bahu-membahu, cepat sebelum waktu kita habis di sini!” teriak bapak itu.
Aku lalu menanyakan siapa yang memiliki korek api. Beruntunglah ada seorang anak muda yang memilkinya lengkap dengan sebungkus rokoknya. Aku lalu berjalan menuju diantara dua pohon. Dibantu yang lain, aku mengumpulkan dahan-dahan pohon yang patah, rumput, apapun yang bisa terbakar. Dengan susah payah api akhirnya menyala. Menciptakan gumpalan asap hitam yang menembus rimbunan daun dan pohon, lalu menyebar segera menuju ke awan. Aku berharap ini bisa menjadi sebuah tanda keberadaan kami.
Lalu dengan kekuatan yang masih tersisa, kami mencoba berjalan. Saling bantu-membantu. Penumpang yang terluka serius dan tak mampu berjalan, di bopong oleh yang masih kuat. Jumlah kami semua 21 orang. “Ya, Allah berilah kami kekuatan dan keselamatan agar kami bisa melewati semua ini,” doaku dalam hati. Kami semua berjalan menyusuri hutan belantara. Kini terpampang jelas wajah-wajah kami penuh galau. Semua berharap bantuan segera tiba dan mengakhiri perjalanan penuh kegetiran ini.


THE END

Rabu, 09 November 2011

“ MEMANG SUSAH JADI ORANG HEBAT”

Ia menawarkan sejuta asa
Diantara kebisingan penjajah rasa
Membungkam teriakan perih yang tersisi
Dengan sejuta senyum yang sarat makna

Desahan nafas mereka ia tak peduli
Rengekan manja mereka hilang bersama angin
Air mata mereka lenyap bersama hujan
Dan ia hanya terpaku diam menanti

Kita tak perlu berteriak karena ia tuli
Kita tak perlu menangis karena ia buta
Mungkin kita bisa jadi penyanyi
Siapa tau kita bisa berduet dengannya

Entahla, memang susah jadi orang hebat!



Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango

4 November 2011, Bekasi

Kamis, 03 November 2011

Puisi : AIR MATA UNTUK BIDADARI KECIL

AIR MATA UNTUK BIDADARI KECIL

Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango


Sore yang menyisakan basah pada tanah
Tak mampu menghapus jejak senyumnya
Sementara bisik-bisik dedaunan oleh angin
Ia juga tak mampu menghapus bayangnya...

Pelangi
Jangan pernah tinggalkan luka begini
Perih yang tak menyudah hingga kapan akan bertepi
Dunia tak ingin tau
Dunia hanya tertawa kecil
Bahkan terkadang ia mencibir...

Air yang tiba-tiba tumpah dari matanya
Akankah membuat waktu berpaling ke belakang
Padahal ia tahu
Dalam hitungan seperjuta kedipan mata
Waktu terus melesat, berpilin, berputar, tak akan kembali

Saat itu bersama bidadari kecilnya
Angin baginya selalu bertiup menyenangkan
Tidak pagi, tidak siang, tidak juga malam
Tapi sepanjang hari
Angin selalu berhembus lembut membelai anak-anak rambut...

Tapi kini ia hanya bisa menatap tergugu
Pada nisan yang mengukir nama bidadari kecilnya
Kesakitan yang merenggut tak tertolong
Hanya karena ia tak punya permata
Untuk mengisi para kantong wajah-wajah berjubah putih...

Sampai kapan dunia akan sekejam ini?
Ratapan ibu siapa lagi yang akan terbalas senyum munafik
Dari mereka yang mati rasa!
Ibu itu, ia kini hanya bisa hadirkan air mata untuk bidadari kecilnya
Dan mungkin angin, suatu hari nanti hadirkan senyum bidadari kecilnya....



BEKASI 3 NOVEMBER 2011...

Minggu, 23 Oktober 2011

Puisi : PENARI MALAM

Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango


                                 PENARI MALAM

Senyuman kau sunggingkan pada setiap mata yang memandangmu
Gincu merah sedikit tebal kau biarkan menghiasinya
Lamat lamat kau lantunkan lagu mendayu
Seiring pula pinggulmu seolah tak lelah menyerong ke kiri  lalu ke kanan

Malam terkadang meyisakan resah yang tak menyudah
Seperti  sorot matamu yang terpantul cahaya lampu temaram
Kutangkap resah di sana meski kau jeli mengecoh dengan senyummu
Jika saja tersurat tatapan itu mungkin saja tak cukup halaman menampung getirnya

Ah...aku bukan malaikat, tapi terkadang rasa ini membuat tercekat dalam tenggorokan
Apalagi saat seorang bocah lelaki bersamamu ikut menari dalam pekat malam
Bukankah seharusnya ia kau lelapkan dalam pelukanmu
Ternyata malam adalah karibmu demi hidup dan sedikit pelipur lara agar tak terdengar isaknya
Aku hanya dapat bergumam semoga anak lelaki itu kelak menjadi..........Amin, do'aku.


BEKASI 17 OKTOBER 2011,

Sepenggal Kisah Cinta Berdarah



Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango

GRACE dengan langkah bak ratu sejagat memasuki kantornya dengan senyum yang tak henti-hentinya. Semua teman kantornya mulai dari security, receptionis, hingga hampir seluruh orang yang berpapasan dengannya pagi itu tak luput dari senyum manisnya. Grace memang sangat cantik. Tubuhnya tinggi semampai. Hidungnya mancung. Bibir tipisnya selalu terlihat indah dengan senyum nakalnya. Sorot matanya tajam. Kecantikannya memang patut membuat semua pria jatuh cinta padanya.
Hampir semua pria dapat ditaklukkan hatinya dengan mudah. Terkecuali Rendy,  teman sekantor sekaligus sahabatnya. Seorang pria yang membuatnya tergila-gila. Grace selalu berusaha tampil sempurna untuk bisa menaklukkan hati Rendy. Namun, sebesar apapun usaha yang dilakukan selalu saja kandas. Seperti jumat pagi itu, dengan senyum nakalnya, ia menghampiri meja kerja Rendy yang terlebih dulu duduk manis di sana. Wajah Rendy terlihat kusam pagi itu.
 “Hei Rendy, selamat pagi,” sapa Grace dengan lembut.
“Pagi Grace, wah kamu cantik banget hari ini. Lagi senang, ya?” ujar Rendy basa basi. Grace yang dipuji seperti itu sontan mukanya memerah.
 “Ah, kamu serius bilang aku cantik? Iiih aku seneng bangeet lo!”
            “Yaa, apa salahnya sih nyenengin temen! haha...” Rendy tertawa kecil.
Grace mencubit lengan Rendy dengan manja dan terkesan genit. Sikap Grace itulah yang membuat Rendy tidak ingin jatuh cinta padanya. Ia lebih nyaman bersahabat, meski Grace sendiri sangat mengharapkan cinta Rendy. Apalagi saat Rendy sudah putus hubungan dengan Anggun. Orang yang sangat senang mendengar berita itu adalah Grace. Ia berharap, kini ia dengan mudah dapat menggantikan posisi Anggun. Anggun adalah sahabat Grace sendiri sejak kuliah dulu.
“Rendy, besok jadi kan kita hang out lagi, Sob?” tanya Andrew teman kantornya saat makan siang di pantry.
“Iya yuuuk karaokean lagi, dah lama kalian semua gak denger suara emas gue, kan?” ujar Grace menimpali dengan mata berbinar.
“Halaaah pede!” Cindy pun ikut menimpali sambil mencibirkan bibirnya pada Grace.
“Oke, besok jam tiga sore kita ketemuan di tempat biasa, nggak pake telat, ya!” ujar Rendy yang disertai persetujuan teman-temannya itu. Mereka adalah teman kantor sekaligus teman main di waktu libur.
            Sabtu siang itu, Rendy bersama teman-teman kantornya termasuk Grace sedang berkaraoke ria di daerah Jakarta Selatan. Di sela-sela Rendy sedang berduet maut dengan Grace handphone Rendy berbunyi. Ada panggilan masuk dari Anggun. Ia pun segera ke luar dari ruangan. Anggun meminta Rendy untuk menemuinya segera karena ada hal penting yang ingin dibicarakan. Mereka janjian di sebuah cafe tempat mereka dulu sering sambangi saat masih pacaran.
            Dengan berat hati, Rendy pamit pada teman-temanya. Grace yang sedari tadi tampak senang dan menikmati kebersamaannya bersama Rendy memasang wajah cemberut. Bahkan, ia berpura-pura cuek saat Rendy pamit. Ada tatapan aneh dari mata Grace saat ia menatap punggung Rendy yang meninggalkannya. Hatinya panas. Api cemburu berkobar di hatinya. “Dasar laki-laki bodoh!” umpatnya dalam hati.
                                                                              ***
Anggun berjalan tergesa memasuki sebuah cafe yang terletak di jalan protokol Jalan Sudirman sore menjelang malam itu. Ia melirik jam tangan mungil di pergelangan tangan kirinya. Tepat pukul 5.10 sore. Ia segera memilih tempat duduk di sudut cafe yang menghadap ke jalan raya. Suasana cafe sore itu tidak terlalu ramai. Pelayan cafe segera menghampirinya.
“Mau pesen apa, Mbak? Sore ini kami menyediakan menu spesial weekend pancake dan ice cream yogurt rasa durian,” wanita cantik pelayan cafe menawarkan dengan senyum termanisnya.
“Oia boleh deh, Mbak,” Anggun menjawab dengan cepat. Seolah ia tak punya pilihan lain. Ia terlihat sedang kalut.
“Untuk berapa orang, Mbak?”
“Cukup untuk satu orang aja  dulu, ya.”
Pelayan itu segera berlalu. Anggun mengeluarkan rokok putih dan handphone dari dalam tasnya. Ia menyalakan rokok dan menyulutnya. Asap putih membentuk lingkaran-lingakaran tak beraturan, lalu dihembuskannya perlahan dari bibir dan kedua lubang hidung mancungnya. Sesekali, pandangan matanya jauh ke depan.
Anggun sangat gelisah. Sesekali terdengar ia menarik napas berat. Seolah ia ingin mengeluarkan semua beban yang sedang menderanya. Diliriknya kembali jam tangannya. Ehm, waktu telah menunjukkan pukul 6.30 malam. Itu artinya, ia telah duduk satu jam lebih menunggu Rendy. Tapi pria itu belum memberikan tanda-tanda akan kehadirannya. Entah berapa kali Anggun mencoba meneleponnya, nihil, handphone tidak aktif. Smsnya pun tak di jawab. Anggun semakin kalut, ia menyeruput ice cream yogurt untuk menetralisir perasaannya.
Rendy tak berkonsentrasi menyetir mobil. Kepalanya di hinggapi beribu-ribu pertanyaan yang tak terjawab. Untuk apa Anggun meminta datang untuk menemuinya? Ada apa lagi dengan wanita itu? Bukankah ia telah mencampakkanya begitu saja, setelah semua apa yang telah di dapati diraih dengan sekejap. Ia kini telah menjadi wanita sukses sebagai desainer sebuah merk busana terkenal di Jakarta.
Wajah Anggun mempermainkan setiap kerjap matanya. Aah, Rendy mendegus pelan. Volume tape mobilnya ditambah. Alunan musik Lady Gaga menghentak-hengtakkan sound sistemnya. Selang beberapa waktu kemudian, mobilnya berbelok ke arah cafe tempat Anggun dan ia janjian.
Rendy menelepon Anggun setibanya di parkiran. Mengabarkan, bahwa sebentar lagi ia akan menemuinya. Anggun mengehela napas. Ia mencoba bersikap tenang. Dinyalakannya kembali sebatang rokok putihnya. Jantungnya berdegup kencang saat Rendy sudah terlihat memasuki Cafe. Ia lalu melambaikan tangan pada Rendy.
“Pa kabar Anggun?” sapa Rendy lembut pada Anggun. Ia selalu begitu, ramah, tetap bersikap sopan di hadapan Anggun. Meski sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatinya ada kebencian yang sudah mulai mengakar.
“Kabar aku nggak baik!”
Anggun menatap tajam pada Rendy. Alis Rendy terangkat. Dahinya mengkerut. Ia merasa ada yang tak beres pada sikap Anggun. Tatapan mata Anggun terlihat aneh, batin Rendy.
“Ehm, kamu kenapa sih? Tiba-tiba mengajak aku ketemuan. Bukannya kamu udah nggak inget aku lagi?” ujar Rendy dengan tawa kecil.
“Rendy! Aku nggak mau buang-buang waktu membicarakan hal yang tidak penting. Aku mau kamu berterus terang, apa sih mau kamu? Kenapa kamu selalu menggangguku akhir-akhir ini! Menerorku dengan privat number?!” kata Anggun dengan mimik wajah yang merona merah. Bukan karena malu, tapi ekpresi itu tak lebih seperti orang yang sedang menahan luapan emosi. Rendy tersentak kaget.
“Apa? Anggun, kamu jangan nuduh sembarangan, ya! Buat apa aku melakukan itu? Aku bukan cowok pengecut yang akan mengejar-ngejarmu dengan cara seperti itu. Meski aku terlalu mencintai kamu, tapi aku masih punya harga diri!”
“Lalu siapa orangnya? Aku sangat terganggu dengan kondisi ini, Ren. Sorry, aku bukannya menuduh kamu. Tapi, aku sadar telah menyakiti hati kamu. Jadi satu-satunya kecurigaanku hanya sama kamu, Ren!” Anggun tajam menatap pada kedua mata Rendy.
“Sungguh Anggun, itu bukan aku,” Rendy menjawab pelan. Ia tersenyum kecut dengan tuduhan Anggun.
Tatapan mata Rendy terlihat sinis. Dalam hati, ia berucap syukur telah berpisah dengannya. Sikap angkuh dan temperamental Anggun sangat tidak sesuai dengan kepribadian Rendy. Entah mengapa ia sangat mencintainya. “Mungkin aku memang bodoh!” batin Rendy.  Tiba-tiba suara dering handphone Anggun sejenak memecah suasana. Anggun berdiri dan sedikit menjauh dari tempat duduk Rendy. Ia terlihat serius berbicara dengan seseorang.
Tak lama kemudian, Anggun kembali duduk menyeruput ice yogurtnya. Ia menghela napas panjang. Kembali di tatap pria di depannya. Mencoba masuk ke dalam mata hitamnya.  Ia mencari jawaban atas kebenaran pernyataan Rendy. Ia tahu, Rendy selama ini adalah pria yang paling jujur di matanya. Namun saat ini, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda pada tatapan mata itu. Seolah ada kebencian di sana.
“Rendy, sorry, bukannya aku tak percaya denganmu, tapi aku benar-benar stress. Hampir satu minggu ini, ada yang menerorku dengan telepon di setiap tengah malam. Tapi saat aku mengangkat teleponnya. Tak ada suara, hanya desir angin malam, dan suara-suara kendaraan yang melaju cepat. Baiklah, aku harus segera pergi. Rendy maafin aku, ya. Tolong mengerti, biarkan aku mencari kebahagiaanku. Aku harap tidak ada dendam diantara kita. Sesuatu yang dipaksakan tidak akan baik buat kita berdua. Aku harap, tidak ada lagi pertemuan setelah ini. Bye Rendy,” ujar Anggun dengan nada suara yang lembut. Ia menggengam tangan Rendy.
“Tenang aja Anggun, aku udah ikhlas, kok!” Rendy mencoba tetap tersenyum. Meski hatinya seolah tercabik-cabik. Anggun meninggalkan Rendy sendiri yang masih diliputi tanda tanya dalam hatinya.
                                                                               ***
Anggun berjalan bolak-balik mengitari ruang kerjanya. Sedari tadi, pikirannya sangat kacau. Bahkan meeting siang itu, ditunda untuk menenangkan hatinya sejenak. Ia masih terbayang-bayang kejadian tadi saat terbangun di pagi hari. Ia merasa ada yang aneh dalam apartemennya. Tata ruangnya sedikit berubah. Pot bunga yang biasanya di letakkan di atas meja dekat pintu ke luar, tiba-tiba berganti posisi berada di samping TV yang ada di ruang tengah.
Lalu, bingkai foto yang ia letakkan di samping TV, berpindah tempat di atas meja mini di samping kursi sofanya. Anggun hapal betul seluruh tata ruang apartemennya. Sekecil apapun perbedaannya pasti ia tahu. Tapi siapa yang memindahkannya. Bukankah ia hanya tinggal sendiri di apartemen itu. Ah, mana mungkin ada hantu di zaman modern seperti ini, batinnya saat tiba-tiba pikiran mistis tentang hantu tiba-tiba hadir di kepalanya. Ia menyesalkan, mengapa ia tadi bangun kesiangan hingga buru-buru ke kantor tanpa mengecek seluruh isi apartemennya.
Mungkin saja ada yang hilang. “Mungkinkah ada maling yang masuk ke apartemenku?” tanyanya pada diri sendiri. “Ah, mana mungkin ada maling! Bukankah pengunjung apartemen tidak mudah masuk tanpa ada persetujuan dari penghuninya. Terkecuali, ia adalah pengunjung tetap yang telah terbiasa datang,” timpal batinnya lagi. “Rendy, mungkinkah dia?” tanyanya pada diri sendiri. Ia tersentak kaget saat pintunya ruangannya di ketuk. Wajah OB muncul di balik pintu.
“Maaf, ini ada titipan bunga buat, Ibu.”
“Dari siapa? Kok, tumben ada yang ngirimin aku bunga ke sini? terima kasih ya, Pak.”
Anggun menerima bunga mawar itu. OB itu segera ke luar dan menutup rapat pintu ruangan. Anggun tak melihat nama pengirim bunga untuknya. Secarik kertas terselip di dalamnya. Ia terperanjat kaget saat membaca tulisan kecil bertinta merah. “AKU BISA MENJELMA SEBAGAI KUPU-KUPU YANG MEMATIKAN!
“Aaah...Siaaal!”
Anggun berteriak histeris, tiba-tiba saja ada seekor kodok kecil yang meloncat ke luar dari bunga dan hampir saja menabrak hidungnya. Untung ia segera berkelit. Bunga itu segera di campakkanya ke lantai. Ternyata teriakan histeris Anggun membuat orang-orang di luar ruangannya segera berdatangan. Termasuk OB tadi yang belum jauh dari ruangannya. OB pun segera minta maaf dan menangkap kodok tersebut. Ia mengaku tidak tahu menahu soal bunga itu. Ia hanya menerima dari seorang pengantar bunga di lobby tadi.
Anggun tampak shock. Ia lalu menelepon sahabatnya Grace yang sudah lama tak berkunjung ke apartemennya. Ia terlalu sibuk hingga ia seolah lupa pada sahabatnya itu. Sahabat yang selalu ada untuknya sejak di bangku kuliah saat ia sedang banyak masalah. Mereka berdua janjian makan siang di Plaza senayan. Anggun lebih dulu tiba di salah satu restoran pilihannya. Selang beberapa menit kemudian, Grace pun tiba. Mereka sengaja memilih tempat duduk di sudut restoran. Segera memesan makanan dan minuman.
“Lo apa kabar Anggun? Kayaknya sekarang terlalu sibuk, ye! Tumben banget nih lo inget gue?” ujar Grace memulai percakapan siang itu.
Sorry darling, bukannya gue nggak inget, lo! Tapi you knowlah emang kerjaan gue lagi busy banget akhir-akhir ini,” kilah Anggun yang memang sedang berusaha menghindari semua teman yang dekat dengan mantannya Rendy. Tapi kali ini, ia seperti butuh teman curhat. Dan seperti biasa, Gracelah tempat ia selama ini mencurahkan problem hidupnya.
It’s okey, Darling. Gue ngerti, kok! Terus gimana, pasti lo lagi ada masalah serius nih, tumben banget lo ajakin gue ketemuan di jam kantor?” selidik Grace pada sahabatnya itu.
“Grace gue lagi stress, nih!”
Anggun kemudian menceritakan semua tentang orang yang menerornya dengan private number. Hingga kejadian-kejadian aneh pada apartemennya dan kejadian barusan di kantornya. Grace mengernyitkan kening mendegar semua penuturan Anggun.
“Waah complicated bangeeet!” Grace tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya.
“Grace, apa mungkin Rendy yang melakukan semua teror ini?”
“Anggun, lo nggak bisa menuduh Rendy seperti itu tanpa ada bukti! Asal lo tahu, ia saat ini begitu terpukul ketika lo mencampakkanya begitu aja demi semua kebahagiaan yang lo inginkan! Ia begitu menutup diri seolah hanya lo satu-satunya wanita yang sempurna di matanya. Tapi, gue yakin, nggak mungkin Rendy akan bersikap seperti yang lo tuduhin itu, Anggun.”
“Grace entahla, gue bingung!”
Anggun terlihat lemah. Wajah cantiknya berubah kelam. Anggun memang sangat cantik. Terlebih lagi sikapnya anggun meski terkesan angkuh dan sedikit temperamental. Itulah yang membuat Rendy memilih Anggun ketimbang Grace yang lebih agresif, meski diakui, kecantikan mereka menghipnotis semua laki-laki yang melihatnya. Ada senyum dan tatapan aneh dari sorot mata Grace.
“Tenang Anggun, gue saat ini belum bisa memberi solusi terhadap masalah lo, Darling.  Tapi, gue akan bantu semampunya. Semoga semua ini cepat berlalu, ya,” Grace mencoba menghibur Anggun.
“Iya nggak apa-apa Grace. Gue seneng lo masih mau dengerin curhatan gue, maenlah ke apartemen.”
Setelah menikmati menu makan siang dan berbincang panjang lebar tentang masa-masa kuliah dan karir saat ini. Akhirnya mereka berdua balik ke kantor masing-masing.
***
Rendy seolah aneh saat makan siang bersama teman-teman kantornya Ia tak menemukan Grace. Biasanya, saat makan siang di pantry, Grace hampir tak pernah absen bersamanya. Andai Grace makan siang di luar pun ia biasanya memberitahukan Rendy.
“Andrew, Grace ke mana, ya? Kok sejak tadi gue gak liat dia?” tanya Rendy
“Nggak tau, tuh! Makan di luar kali, emang dia gak ngomong ma lo, Ren?”
“Ooh iya, kalo nggak salah, dia tadi ke luar kantor, tuh. Buru-buru gitu, pas gue tanya lo mau ke mana, Grace cuman senyum aja,” Cindy menimpali.
“Ooh gitu ya, ehm, tumben banget,” ujar Rendy melonggarkan dasinya. Mereka bertiga pun menyantap hidangan makan siang hari itu tanpa Grace. Rendy tidak tahu, kalau siang itu Grace menemui Anggun untuk lunch bersama di Plaza senayan. Grace memang sengaja tak memberitahukan Rendy. Karena ia yakin, Rendy pasti melarangnya untuk menemui Anggun.
***
Malam itu, Anggun sedang menikmati kesendiriannya di samping jendela kamar apartemennya. Memandang pada kejauhan, menikmati indahnya kota Jakarta dari lantai 27 apartemennya. Jakarta memang tampak indah di malam hari. Bulan purnama penuh, menambah keindahan malam itu. Ia menarik napas yang panjang. Menyeruput hot cappuchino dan menyulut rokok  putihnya. Pikirannya jauh melayang.
Sebagai wanita karir, ia tergolong sukses. Namun, ia merasa hidupnya hampa. Selama ini, ia terlalu memikirkan kebahagiaan orang-orang terdekatnya. Termasuk soal cinta. Kini perih tiba-tiba hadir menyelinap masuk ke dalam rongga dadanya. Rendy, pria yang sangat ia cintai harus dilepasnya demi sahabatnya Grace. Tak terasa air matanya jatuh perlahan.
Untuk sekian kalinya, ia harus berkoban. Mencampakkan Rendy  tanpa alasan yang jelas. Dan sekarang, hidupnya semakin tidak tentram, ia terus menerus di teror. Anggun harus berbuat sesuatu. Ia mengambil handphone dan segera menghubungi Grace.
“Hallo, Darling, lo bisa ke apartemen gue? Aku lagi butuh kamu di sini, please!”
“Hei, gue lagi dinner, nih, sebentar lagi gue ke sana,” ujar Grace di balik telepon.
“Oke, gue tunggu!” Anggun kembali berjalan ke samping jendela kamarnya. Ia menyulut rokok ke bibir. Sambil memandang di kejauhan, ada senyum aneh tergambar di bibir mungilnya.
***
            Grace kembali duduk ke meja makannya. Malam itu, ia sedang menikmati dinner bersama Rendy di sebuah cafe di bilangan kemang. Raut mukanya sedikit berbeda dari sebelumnya. Rendy meliriknya dengan penuh tanya.
“Grace, telepon dari siapa? Kok kamu keliatan bete gitu?” tanya Rendy.
“Eh, nggak apa-apa kok. Tadi ada telepon dari temen, ia memintaku datang ke rumahnya. Katanya sih, penting! Tahu tuh kenapa,” ujar Grace.
            “Ooh..terus gimana?”
 “Ehm, kayaknya aku harus ke sana, deh! Duuh, padahal aku lagi seneng banget nih bisa dinner sama kamu malam ini.”
 “Oh ya udah, nggak apa-apa kok. Aku anterin kamu ke sana, ya.”
“Jangan, nggak usah, aku sendiri  aja ke sana. Naik taksi aja, makasih banget ya udah ajak aku dinner. Sampai ketemu besok di kantor,” ucap Grace cepat. Ia berdiri, mengambil tas dan segera berlalu pergi. Rendy hanya termangu. Ia merasa ada sesuatu yang mencurigakan pada sikap Grace. Sementara Grace, ia tak mau Rendy tahu kalau ia akan menemui Anggun.
                                                                      ***
Anggun berdiri di depan cermin besarnya. Ia memerhatikan seluruh lekuk tubuhnya. Malam itu, ia hanya memakai kaos oblong putih dipadukan dengan celana pendek jeans ketat di atas lutut. Rambutnya dibiarkan terurai panjang. Matanya terlihat sedikit memerah. Di tangan kirinya ia mengenggam sekaleng bir. Tiba-tiba ia tersentak saat handphonenya berdering. Nama Grace terlihat di layar itu. Ia tahu, Grace pasti telah berdiri di depan pintu.
“Hei Grace, masuklah,” ajak Anggun menarik tangan Grace. Anggun mengajak Grace duduk di sofa tepat di depan TV. Di atas meja, terlihat ada beberapa kaleng bir dan camilan. Anggun tampak sengaja untuk menyiapkan semuanya. Grace melirik Anggun.
“Kok lo ngebir lagi, sih?”
“Tau nih lagi suntuk aja! Ayo dong lo buka birnya, dah lama nih gak ngebir bareng, hehe…” Grace meraih satu kaleng bir, membukanya, lalu mereguk perlahan.
TV di depan mereka sedang menyuguhkan sebuah film horor. Film dengan kisah wanita pembunuh berdarah dingin. Saat itu tepat adegan pembunuhan si wanita pada korbannya dengan menggunakan sebuah pisau silet. Wanita itu terlihat sangat keji, setelah  memutus nadi si korban dengan buas dan beringas ia mencabik-cabik wajah, leher, dan memotong kedua kupingnya.
Tampak si korban menjerit-menjerit. Anggun terdiam, sesekali meneguk bir kalengnya. Tangannya sedikit tergetar. Sementara Grace. ia merasa ada sesuatu yang aneh pada diri Anggun. Ia tampak berbeda malam itu. Tatapan matanya tajam dan dingin. “Ah, pasti ini gara-gara ia terlalu banyak meminum bir,” batin Grace.  Anggun merapatkan duduknya pada Grace.
“Grace gimana kabar Rendy?” tanya Anggun.
“Ehm, dia baik aja! Kenapa, kok lo masih nanyain dia? Bukannya lo dah janji ma gue supaya lo mutusin hubungan sama dia!” ujar Grace tampak tak suka dengan pertanyaan Anggun. Anggun menghela napas. Ia berdiri dan berjalan menuju jendela. Mata Grace mengikuti langkah Anggun.
“Grace, asal lo tahu, gue udah mulai muak dengan semua ini!” ujar Anggun dengan suara berat.
“Apa maksud, lo?”
“Iya, gue udah muak mengikuti semua kemauan, lo! Hidup gue berantakan!”
“Oooh, jadi lo udah mulai berani? Lo mau semua orang tahu rahasia hidup lo? Lo mau semua karir yang lo dapat saat ini hancur? Karena mereka tahu, lo hanyalah perempuan simpanan pejabat yang membiayai semua kuliah lo sampai sukses seperti ini!”
Grace mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Anggun. Anggun melangkah merapatkan wajahnya pada Grace. Mata merahnya tajam menatap mata Grace. Ia tersenyum simpul. Tiba-tiba ia menjambak rambut Grace kuat. Grace merintih kesakitan dan berusaha melepaskan diri.
“Sebelum lo melakukan itu maka telah kuputuskan hal ini!” teriak Anggun.
Sejurus kemudian, sebuah belati yang berasal dari saku belakang celana Anggun telah ditangcapkan di perutnya. Grace berteriak histeris. Ia kesakitan. Wajahnya pucat pasi. Darah segar telah membasahi lantai. Anggun mendorong keras tubuh Grace. Sambil memegangi perutnya, Grace berusaha bangkit. Anggun tak membiarkan hal itu. Dengan raut wajah tanpa dosa ia menendang keras wajah Grace. Kini darah segar mengucur di hidungnya. Grace tersungkur di lantai.
“Grace, lo udah buat hidup gue hancur. Bodohnya, hanya karena rahasia hidup gue ini, lo seenaknya menjadi sutradara dalam hidup gue! Bahkan, gue harus rela memutuskan Rendy, pria yang sangat gue cintai, biar lo bisa dapetin cintanya dia? Terus lo meneror gue setelah itu! Lo pemimpi besar, Grace! Rendy tak akan pernah mencintai perempuan agresif kayak, lo! Dan asal lo tahu, selama gue masih hidup, cinta Rendy cuma buat gue!”
Anggun berteriak lantang di telinga Grace yang terkulai lemas. Anggun masih belum puas, dengan beringas ia menangcapkan belati itu berkali-kali pada perut, dada, dan leher Grace. Ruang tengah itu berubah merah. Lantai, kursi sofa, meja, basah oleh darah Grace.  Grace kini terbujur kaku dengan tubuh bersimbah darah. Sementara Anggun menangis histeris di samping tubuh Grace. Ia kini tak tahu rasa apa yang bersemayan di tubuhnya.
Tiba-tiba pintu apartemennya terkuak. Rendy muncul di balik pintu itu.
Rendy yang ditinggalkan Grace saat dinner tadi, dalam perjalanan pulang ke rumah, ia terus bertanya-tanya dengan perubahan sikap Grace di cafe. Perasaannya tidak karuan, tiba-tiba saja ia teringat Anggun. Ia yakin teman yang dimaksud Grace tadi adalah Anggun. Rendy penasaran. Ia segera memutar balik mobilnya menuju ke Apartemen Anggun.  
Kini Rendy terperanjat kaget menyaksikan pemandangan di depannya. Spontan ia berteriak histeris menyebut nama Grace dan Anggun. Anggun menoleh ke arah Rendy. Ia bangkit dengan belati yang masih ada dalam genggamannya
“Rendy, aku… aku mencintai kamu!”
“Stop, Anggun! Kamu pembunuh!”
Rendy mundur ke belakang menuju pintu. Kepalanya menggeleng. Wajah Rendy tampak tak dialiri darah. Ia tak pernah menyangka, Anggun sebegitu kejamnya membunuh sahabatnya sendiri. Rendy harus berbuat sesuatu. Anggun mempercepat langkah. Rendy berhasil meraih gagang pintu. Saat pintu terkuak, puluhan orang dan beberapa polisi telah berdiri di depan pintu dengan pistol di tangan. Ternyata, kegaduan di dalam apartemen Anggun membuat penghuni lain curiga. Sehingga seorang penghuni melaporkan kejadian tersebut.
Dengan kedua tangan terborgol Anggun melintasi Rendy yang masih terpaku berdiri. Anggun berhenti sejenak menatap kedua mata Rendy. Rendy berpaling, ia tak mau menatap mata Anggun. Hati Rendy terluka. Ia merasa telah mencintai wanita yang salah. Sementara Anggun menatap Rendy dengan tatapan kosong.
Ia tahu, pasti Rendy sangat membencinya. Anggun tersenyum kecut, “Andai kamu tahu yang sebenarnya, Sayang! Mungkin saat ini kau akan memberikan pelukan terakhirmu untukku! Aku terlalu mencintaimu! Terlalu Rendy!” Anggun ingin mengatakan itu, tapi mulutnya terkunci, ia hanya bisa bergumam dalam hatinya.



THE END



Bekasi 4 Oktober 2011 Wisma Kost Ibu Hayuni




Cerpen : KADO TERINDAH DI BULAN NOVEMBER

Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango


KADO TERINDAH DI BULAN NOVEMBER

Aku setengah berlari mengejar seseorang yang sekilas tadi kulihat dari atas jendela kamarku. Tapi percuma ia seolah hilang di telan bumi. Ah, cepat sekali perginya, gerutuku. Bahkan suara kendaraannya nyaris tak terdengar. Kututup rapat pintu pagar, kembali masuk kedalam rumah. Segera menemui si mbok.

“Mbok, tadi yang nganterin kado ini, ciri-cirinya seperti apa sih?“
“Ehm..tinggi, putih, cantik pokoknya Mas Rendy, mbok susah inget semuanya.“
„“Duuuh..gimana sih Mbok, masa lupa, mana tuh orang cepet banget ilangnya. Yah sudah Mbok, aku ke kamar dulu. Oia makasih yah.” Ujarku pada si mbok.

Kutatap lekat kado mungil yang terbungkus indah dengan warna kesukaanku itu. Yah warna biru. Tapi aku bingung, siapa yang mengirimi aku bingkisan kecil itu. Lalu warna biru, sebuah warna kesukaanku yang selama ini hanya orang tertentu dan spesial yang tahu. Bahkan di setiap biodataku, hanyalah warna hitam yang selalu kucantumkan. Kado mungil itu kutaruh di dalam lemari pakaian. Aku masih enggan membukanya. Apalagi tidak tahu siapa pengirimnya.
***
Bergegas aku menuju ke kelas. Setengah berlari bahkan hampir terjatuh di tangga. Aku menggerutu tidak karuan, menyalahkan jam weker yang tidak membangunkanku pagi tadi. Wajah dosen killerku itu pun menggelayut di mataku yang masih terasa ngantuk. Dengan nafas yang masih memburu, kuberanikan mengetuk pintu dan masuk. Kehadiranku segera mengundang gelak tawa semua teman-teman kuliahku. Aku kesal di buatnya. Kuacungkan jari tengah pada mereka sambil nyengir kuda. Dosen killer tapi sangat cantik itu, berhenti menulis dan memandangku tajam.

“Rendy, alasan apa lagi yang mau kamu  katakan sekarang?!“
“Maaf Bu, tidak ada alasan.”
“Apa katamu? Tidak ada alasan!“ Hardik Bu Nanda geram padaku.
“Palingan semalam abis latihan lipsing tuh bu, mau ngikutin jejak Briptu Norman biar jadi selebritis dadakan.” Ujar Anton salah satu temanku yang paling jahil.

Sontak mengundang tawa seluruh temanku. Diantara gelak tawa mereka kulihat ada sebuah senyuman yang mengisyaratkanku untuk tetap bersabar. Senyuman itu datang dari seorang gadis berambut panjang, bermata indah. Aku pun tersenyum padanya.

“Sudah diam semuanya! Dan kamu Rendy, silahkan keluar dan nanti temui saya di ruang dosen“.  Dengan langkah gontai kutinggalkan kelas.  Ini adalah kali ke2 aku tidak boleh mengikuti mata kuliah Ibu Nanda. Dan anehnya lagi, dengan kesalahan yang sama.
***
Sambil menyeruput teh botol di sudut kantin kampus, aku bersandar di kursi. Pikiranku jauh melayang. Tiba-tiba ada kerinduan yang begitu hebatnya datang menghampiriku. Bahkan rasa itu seperti rintik-rintik hujan turun. Ia tidak begitu deras, tapi perlahan. Sehingga membuatku sulit untuk menghentikannnya.

Dalam suasana seperti ini, aku terkadang begitu lemah. Bahkan naluri kejantananku luluh, menciptakan kristal bening hangat di sudut mataku. Aku tersentak kaget, ketika sebuah tangan kekar memegang pundakku disertai tawa riang mereka. Dua orang sahabatku telah berdiri di sampingku dengan gaya khasnya.

Ia adalah Erwin asli Jakarta, mungkin masih keturunan Bang Pitung kali yah, soalnya bahasanya betawi banget, sementara Ardi asli dari Medan logat bataknya pun masih sangat kental. Mereka telah duduk manis di depanku.

“Woy..Ngelamun aje lo! Kesambet kuntilanak baru tau rasa..hahaha“ Ujar Erwin disertai tawanya.
“Eits...tunggu dulu Win, macam mana kau! Si Rendy ini mana cocok kesambet kuntilanak, itu sih namanya kunti genit. Cowok ganteng macam dia, setan model cewek apa saja pastilah naksir..“ Sela Ardi menimpali.
“Ngaco lo semua! Sialan, gue sumpahin lo berdua jadi kodok mau lo!“ Gelak tawa kami pun terdengar kemana-mana.
By the way, nape lo tadi telat masuk kelas? Gue bilangin yee, kalo ampe ntuh dosen killer kagak ngasih nilai buat lo, bise nangis tige hari tige malem lo!”
“Iya nih, sial banget. Gue lupa nyalain jam weker.”
“Alamaaak... malas kali kau Ren! Untung saja aku tak malas seperti kau, jauh-jauh aku dari medan, kalau sampai aku tak berhasil di Jakarta ini, apa kata mamakku nanti.”
“Hei..kucluk nape lo curhat sih! Yang lagi punye masaleh noh si Rendy, gue kepret jadi kerak telor biar tahu rase lo!” Ujar Erwin dengan mimik lucu sambil ngancem pake tangan. Spontan Ardi bangkit.
“Enak saja kau! Haiiits... aku tangkislah. Aku ini di Medan sana, belajar silat sampai jurus manjat!” Ardi menghindar sembari memperlihatkan jurus manjatnya. Erwin sontan mencibir mengejek.
“Halaah, jurus ape tuh! Lo kagak tahu ape, gue ini masih turunan Bang Pitung, gue belajar silat nih yee, ampe jurus langkeh!“ Erwin tidak mau kalah ia pun memperagakan jurusnya dengan langkah kaki berputar. Aku yang melihat kelakuan dua sahabatku itu tertawa terpingkal-pingkal. Ibu Marni penjaga kantin yang sudah kenal akrab dengan kami, hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
“Woy... Erwin gue tahu maksud lo, itu jurus langkah seribu kan? Dasar lo! Nah lo Ardi, gue tahu itu jurus manjat pohon, mau jadi monyet lo? gokil lo semua!“  Ujarku menahan tawa.

Kami bertiga tertawa terpingkal-pingkal. Beginilah persahabatan kami, terjalin sejak 3 tahun yang lalu kami kuliah bersama. Jika ada salah satu diantara kami mengalami suatu masalah, maka yang lainnya berusaha untuk menghadirkan tawa. Ya, hadir diantara mereka kurasakan sebuah persahabatan indah. Kami lalu kembali ke kelas untuk mengikuti kuliah selanjutnya.
***
Aku menapaki Taman Suropati dengan langkah santai. Sore sabtu itu suasananya terlihat ramai. Banyak pasangan muda mudi terlihat bercengkrama satu sama lain. Suasana sore yang cerah dengan aroma bunga taman menjadikan taman ini menjadi sebuah tempat yang romantis.

Seketika bayangan seseorang yang pernah hadir dan menemani hari-hariku di taman ini 5 tahun yang lalu lansung membuaiku. Terdiam aku duduk di sebuah bangku persis di bawah pohon. Aku menatap pada bangku yang sedang di tempati sepasang muda mudi. Teringat di bulan november kala itu;
“Ren…lo sayang kan ma gue?”
“Pastinya, kok lo nanya kayak gitu sih? Emang kurang yah, kasih sayang gue selama ini ke lo?“ Tanyaku menatap heran.
“Kalo lo emang sayang, gue mau kita putus!“
“Apa kata lo? Kok lo tiba-tiba jadi gini sih? Aneh tahu gak? Emang gue salah apa ama lo? Gue tuh sayang dan cinta banget ama lo Tasya!”
“lo nggak salah apa-apa, tapi lo kan tahu bentar lagi gue lulus dan harus ngelanjutin kuliah di Italia. Gue nggak bisa menjalin hubungan jarak jauh Ren.”
“Kok nggak bisa? Sekarang tehnologi dah canggih, ada telepon, kita bisa komunikasi lewat facebook atau yahoo messenger.  Atau jangan-jangan itu hanya alasan lo aja. Lo dah punya cowok lain ya? Jujur aja!”
“Rendy..lo kok nuduh gue yang nggak-nggak sih! Lo kan tahu gue juga sayang banget ama lo, nggak akan ada senyum lain yang bisa mengisi ruang ruang rindu gue selain lo. Tapi ini kondisinya beda.” Kristal bening telah meluncur deras di kedua pipinya. Kuraih tangan mungilnya. Kugenggam dan kuseka air matanya.
“Tapi gue tetap nggak mau putus ama lo! Apalagi hanya alasan, karena lo harus kuliah di Italia. Masih banyak cara untuk komunikasi, kalo perlu gue akan nyusul lo kesana setelah gue lulus nanti”. Ujarku saat itu sedikit memelas.
“Ren, gue takut nggak konsen kuliah di sana nantinya. Dan gue nggak mau ngecewain bokap nyokap gue, gue harap lo ngerti.”
”Tetap aja gue nggak ngerti jalan pikiran lo!”
“Pokoknya kita harus putus Ren, ini memang sulit, menyakitkan, gue juga sama ngerasain itu. Sorry yah, gue harus pamit, selamat tinggal beibs..”
Tasya berdiri berlalu pergi. Aku hanya terpaku seolah masih tak percaya, hatiku sakit dengan keputusannya. Kubiarkan ia berlalu pergi. Tak ada kekuatan untuk menahannya, meski hanya memanggil namanya untuk berhenti sejenak. Lidahku kelu. Aku seketika tersadar oleh lamunan masa laluku.

Mataku tetap lekat memandang ke arah bangku itu. Ada satu rindu  menyentuh dinding kalbuku yang rapuh penuh luka. Sentuhan yang menguak masa lalu remajaku. Cintaku pada Tasya terlalu bodoh mungkin. Terbukti aku belum mampu menghadirkan cinta lain di hatiku, meski 5 tahun kisah ini telah berlalu.

Sementara Tasya entah mengapa aku begitu yakin, jika ia telah melupakanku, bahkan mungkin ia telah menemukan cowok lain, yang jauh lebih baik dariku. Bukankah selama ini ada beberapa cewek yang berusaha mendekatiku. Tapi mengapa tetap saja hatiku beku dan dingin?. Aku menghela nafas, beranjak berdiri dan meninggalkan taman dengan senyum getir.
***
Aku membuka perlahan kado berwarna biru, yang diantar oleh seseorang misterius itu. Ukurannya kecil berbentuk kotak. Seperti kotak sebuah jam tangan. Aku terperanjat kaget ketika melihat isinya. Sebuah jam tangan mungil berwarna ungu. Bukankah ini adalah hadiah jam tangan yang kuberikan untuk Tasya? Hadiah ini kuberikan untuknya sebagai kado ulang tahunnya tepatnya 3 November  beberapa tahun lalu.

Namun setelah ia mencampakkanku kala itu, bulan November  tiba-tiba saja menjadi bulan yang paling tidak kusukai dalam hidupku. Lalu apa maksud dari semua ini? Untuk apa ia melakukannya? Apakah untuk semakin membuatku terpuruk? Jadi ia yang sengaja datang waktu itu, lalu memberikan kado ini ke si mbok. Pertanyaan demi pertanyaan mengisi ruang hatiku.

Kulirik jam tanganku. Aku harus segera ke kampus. Aku tidak ingin lagi telat mengikuti mata kuliah dosen baruku itu. Seorang dosen yang masih sangat muda, cantik, yang di sebut killer oleh anak-anak karena perlakuaannya padaku. Dosen yang tidak boleh mengikuti kelasnya, saat aku terlambat meski hanya beberapa menit. Aku tersenyum kecut dan segera ke kampus.

Tiba di kelas, Erwin dan Ardi lansung membelakkan mata melihatku. Teman-teman yang lain seolah aneh memandangku. Aku tahu, mereka pasti heran melihatku datang lebih awal dari biasanya. Tak kuhiraukan godaan mereka. Aku segera duduk di bangku paling depan. Ardi dan Erwin berpandangan dan menatapku heran. Lalu sontak tawa mereka membuat gaduh.

“Ardi..lo liat sahabat kite, mimpi ape die semalem? Jam segini dah nongol, terus duduk paling depan!.” Ujar Erwin tertawa. Aku hanya tersenyum tanpa peduli. Pura-pura cuek dan mengeluarkan buku catatanku.
“Win..aku yakin semalam dia mimpi melihat hantu! Jadi bangunnya subuh, karena takut, tak bisanya dia tidur lagi! Makanya bisanya dia datang pagi, hari ini.” Ardi ikut menimpali dan menggodaku.
“Ngaco lo! Emang gak boleh gue datang pagi? Khan lo berdua yang bilang, gue gak boleh gagal mata kuliah ini? Iya khan?!” Ujarku tetap bersikap tenang dan hanya tersenyum.
“Wah hebat, aku setuju dengan kau hari ini Ren! Kalo perlu kau pacari saja dosen kita itu, biar kau dapat nilai bagus.” Ujar Ardi berbisik pelan di telingaku dan ia pun tertawa.

Aku menyikutnya. Dan tanpa kusadari ternyata Bu Nanda sudah berdiri di balik pintu. Ia tersenyum pada kami semua, menyapa, dan melangkah masuk. Sekilas kulihat ia seperti tersenyum padaku. Jantungku berdegup kencang. 1 jam telah berlalu, jam kuliah Bu Nanda telah habis. Sebelum meninggalkan kelas, ia menghampiriku lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

“Rendy, kamu 2 kali tidak mengikuti mata kuliah ini. Saya pinjamkan buku ini, mungkin bisa membantu ketinggalan sebelumnya”
“Terima kasih..” Ujarku. Ia pun berlalu pergi.
Kubuka buku itu lembar demi lembar. Tiba-tiba aku menemukan potongan kertas yang hampir terjatuh. Jantungku berdetak tak karuan saat membaca tulisan di kertas itu. Segera kumasukkan buku itu ke dalam tasku. Pamit pulang lebih dulu pada Ardi dan Erwin yang masih keheranan dengan tingkahku sejak tadi.
***
Sore itu aku kembali menapaki jalan trotoar sepanjang taman Suropati. Sesekali pandanganku menyapu sepanjang taman. Menyaksikan keindahannya. Entah mengapa perasaanku jadi tak karuan. Jantungku berdegup kencang. Aku meminum habis sebotol aqua kecil untuk menetralisir perasaanku. Aku tersenyum saat melihat bangku yang dulu menjadi tempat favoritku bersama Tasya masih kosong.

Segera duduk di bangku itu. Pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang sedang asyik berduaan, mereka terlihat begitu bahagia, saling tertawa riang sesekali saling memandang, dan menggenggam tangan. Aku jadi iri melihatnya. Dalam keterpakuanku, tiba-tiba ada suara yang menyapa lembut namaku. Seolah masih tak percaya, aku perlahan menoleh ke arah datangnya suara itu.

Jantungku semakin berdegup kencang. Aku seolah kembali merasakan rasa yang pernah kualami 5 tahun yang lalu. Seseorang yang dulu pernah meninggalkanku kini telah berdiri tepat di depanku. Ia adalah dosen baruku. Nanda Tasya Anggraeni. Lama kami saling menatap, menyelami perasaan masing-masing yang aku sendiri sulit mendefinisikannya. Hingga suaranya kembali membuyarkan keterpakuan kami.

“Rendy...boleh aku duduk di sampingmu?” Ujarnya membuatku semakin grogi. Kata-katanya barusan membuatku semakin sadar, bahwa kami bukan remaja lagi seperti 5 tahun silam.

“Tasya... mana mungkin aku melarangmu duduk di tempat pavorit kita ini. Sebuah kenangan masa lalu yang sangat sulit aku kubur. Ya, kini tinggallah masa lalu. Karena kini setelah kau kembali pun kusadari semuanya telah berbeda.”
“Rendy...itulah kamu, masih seperti yang dulu. Terlalu cepat mengambil kesimpulan!” Aku menatap kedua matanya. Mencoba mencari makna dari kalimat yang barusan keluar dari bibir mungilnya.

“Apa maksud kamu? Kamu seperti mempermainkan rasaku. 5 tahun lalu kau meninggalkanku begitu saja, bahkan menorehkan luka di hatiku. Tanpa ada kabar, kau biarkan diriku sendiri merasakan perihnya rinduku. Bahkan air mataku hampir kering. Lalu kini kau tiba-tiba datang, menjadi dosen baruku. Aku merasa semakin terpuruk dengan keadaan ini”

“Rendy...kenapa sih kamu masih tidak menyadari ini? Mengapa hatimu tidak peka? Sadar nggak sih, aku yang dulu dan kini masih tetap seperti yang dulu. Rasa ini tak pernah berubah beibs. Tak ada satu laki-laki manapun yang bisa menggantikan namamu di hatiku, seperti kecurigaan kamu dulu.” Seolah tak percaya aku mendengarnya. Kutatap matanya. Bulir bening mulai menghiasi bola mata indahnya. Aku terdiam.

“Maafin aku saat itu harus meninggalkanmu, ternyata aku salah, justru aku sangat membutuhkanmu, semenjak di Italia aku pun tersiksa dengan kerinduanku. Tanpa sepengetahuan kamu dengan nama palsu kita berteman di facebook. Dari sana semua akses tentangmu, kegiatan-kegiatanmu kuketahui. Kamu sering curhat tentang dirimu saat kita chat box, dari situ aku tahu betapa rindu dan sayangnya kamu padaku, Beibs! Dan satu lagi kamu sering curhat bahwa setelah aku meninggalkanmu, kamu jadi begitu benci bulan November. Kamu inget kan temen kamu di Facebook yang bernama Dinda? Itu aku dan memang sengaja foto yang aku pasang adalah foto teman-teman kuliahku di sana”

“Jadi Dinda itu kamu???” Ujarku tak kuasa menahan rasa kagetku, teringat Dinda yang menjadi sahabatku dan tempat curhatku.
“Iya Ren, itu aku. Aku tahu semuanya tentangmu. Aku begitu semangat kuliah di sana berharap untuk cepat selesai dan menemuimu. Kuselesaikan S1 hingga S2ku, dengan nilai cumlaude. Aku juga tahu setelah kamu lulus SMU, 2 tahun kamu aktif sebagai aktivis anak jalanan, lalu memutuskan kuliah lagi. Aku kemudian sengaja melamar menjadi dosen, di tempatmu kuliah sejak masih di Italia, berharap aku bisa selalu bersamamu. Aku tahu sejak pertemuan pertama di kelas kamu pasti kaget dan shock melihatku. Aku bahkan sengaja memberimu kado itu dan menunggu reaksimu agar kamu menemuiku, tapi hingga pertemuan kedua kamu tetap tak bereaksi. Hingga pertemuan ketiga, sengaja memberimu buku dan tulisan agar kita bertemu di taman ini. Rendy aku tahu kamu sakit dengan keputusanku 5 tahun yang lalu, tapi aku sekarang kembali untuk kamu. Tak ada senyuman yang kuinginkan selain senyuman kamu beibs! Atau aku sudah tidak memiliki tempat di hatimu?”

Kulihat air matanya kini mengalir deras di kedua pipinya. Di sudut mataku mulai terasa hangat. Perlahan air mataku beranjak keluar. Aku menarik nafas yang terasa sesak, tiba-tiba ada rasa haru mengharu biru di dadaku.

“Tasya, kamu tahu tak ada seorang wanita manapun yang bisa menggantikanmu di hatiku. Rasa sakit yang pernah menjadi luka kini telah terobati. Aku begitu bahagia mendengar semua ini. Entahlah rasa bahagia ini tak dapat lagi kulukiskan dengan kata. Aku tidak ingin kehilangan kamu lagi sayang” Aku lansung menabrak, memeluknya, menumpahkan semua kerinduanku. Ia pun memelukku erat. Ada tangis bahagia yang menghiasi kedua pipi kami sore itu.

“Aku tak akan pernah meninggalkanmu lagi beibs, I love u so much.” Ujarnya berbisik di telingaku.
I Love u too sayang, kini aku sadar ternyata inilah akhir dari sebuah penantianku selama ini.” Ujarku menyandarkannya di dadaku.
”Beib’s masihkah kamu benci bulan November?”
”Iya aku benci! benci bangeeet! karena bulan november telah mempermainkan rasaku dalam waktu 5 tahun! Tapi sekarang, tidak lagi, karena november kali ini telah memberikan kado terindah untukku. Kado terindah itu adalah kamu sayang.” Ujarku terbata-bata. Entahlah rasa haru yang menjalari sekujur tubuhku tak dapat lagi kuungkapkan dengan kata. Kukecup keningnya dan kusandarkan ia dalam pelukku.
Kami pun merajut kembali kisah cinta kami dengan indah. Setelah lulus kuliah, kami akhirnya menikah. Tasya menjalani hari-harinya sebagai dosen dan aku menggantikan ayahku memimpin perusahaannya. Kebahagian yang sesungguhnya  menghiasi hari hari kami. Kebahagiaan yang pernah hilang di bulan november dan kembali lagi di bulan november dari sebuah penantian yang panjang. Meski ada air mata, tapi aku memang yakin jika Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk hambanya yang selalu bersabar.

THE END