Minggu, 23 Oktober 2011

Sepenggal Kisah Cinta Berdarah



Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango

GRACE dengan langkah bak ratu sejagat memasuki kantornya dengan senyum yang tak henti-hentinya. Semua teman kantornya mulai dari security, receptionis, hingga hampir seluruh orang yang berpapasan dengannya pagi itu tak luput dari senyum manisnya. Grace memang sangat cantik. Tubuhnya tinggi semampai. Hidungnya mancung. Bibir tipisnya selalu terlihat indah dengan senyum nakalnya. Sorot matanya tajam. Kecantikannya memang patut membuat semua pria jatuh cinta padanya.
Hampir semua pria dapat ditaklukkan hatinya dengan mudah. Terkecuali Rendy,  teman sekantor sekaligus sahabatnya. Seorang pria yang membuatnya tergila-gila. Grace selalu berusaha tampil sempurna untuk bisa menaklukkan hati Rendy. Namun, sebesar apapun usaha yang dilakukan selalu saja kandas. Seperti jumat pagi itu, dengan senyum nakalnya, ia menghampiri meja kerja Rendy yang terlebih dulu duduk manis di sana. Wajah Rendy terlihat kusam pagi itu.
 “Hei Rendy, selamat pagi,” sapa Grace dengan lembut.
“Pagi Grace, wah kamu cantik banget hari ini. Lagi senang, ya?” ujar Rendy basa basi. Grace yang dipuji seperti itu sontan mukanya memerah.
 “Ah, kamu serius bilang aku cantik? Iiih aku seneng bangeet lo!”
            “Yaa, apa salahnya sih nyenengin temen! haha...” Rendy tertawa kecil.
Grace mencubit lengan Rendy dengan manja dan terkesan genit. Sikap Grace itulah yang membuat Rendy tidak ingin jatuh cinta padanya. Ia lebih nyaman bersahabat, meski Grace sendiri sangat mengharapkan cinta Rendy. Apalagi saat Rendy sudah putus hubungan dengan Anggun. Orang yang sangat senang mendengar berita itu adalah Grace. Ia berharap, kini ia dengan mudah dapat menggantikan posisi Anggun. Anggun adalah sahabat Grace sendiri sejak kuliah dulu.
“Rendy, besok jadi kan kita hang out lagi, Sob?” tanya Andrew teman kantornya saat makan siang di pantry.
“Iya yuuuk karaokean lagi, dah lama kalian semua gak denger suara emas gue, kan?” ujar Grace menimpali dengan mata berbinar.
“Halaaah pede!” Cindy pun ikut menimpali sambil mencibirkan bibirnya pada Grace.
“Oke, besok jam tiga sore kita ketemuan di tempat biasa, nggak pake telat, ya!” ujar Rendy yang disertai persetujuan teman-temannya itu. Mereka adalah teman kantor sekaligus teman main di waktu libur.
            Sabtu siang itu, Rendy bersama teman-teman kantornya termasuk Grace sedang berkaraoke ria di daerah Jakarta Selatan. Di sela-sela Rendy sedang berduet maut dengan Grace handphone Rendy berbunyi. Ada panggilan masuk dari Anggun. Ia pun segera ke luar dari ruangan. Anggun meminta Rendy untuk menemuinya segera karena ada hal penting yang ingin dibicarakan. Mereka janjian di sebuah cafe tempat mereka dulu sering sambangi saat masih pacaran.
            Dengan berat hati, Rendy pamit pada teman-temanya. Grace yang sedari tadi tampak senang dan menikmati kebersamaannya bersama Rendy memasang wajah cemberut. Bahkan, ia berpura-pura cuek saat Rendy pamit. Ada tatapan aneh dari mata Grace saat ia menatap punggung Rendy yang meninggalkannya. Hatinya panas. Api cemburu berkobar di hatinya. “Dasar laki-laki bodoh!” umpatnya dalam hati.
                                                                              ***
Anggun berjalan tergesa memasuki sebuah cafe yang terletak di jalan protokol Jalan Sudirman sore menjelang malam itu. Ia melirik jam tangan mungil di pergelangan tangan kirinya. Tepat pukul 5.10 sore. Ia segera memilih tempat duduk di sudut cafe yang menghadap ke jalan raya. Suasana cafe sore itu tidak terlalu ramai. Pelayan cafe segera menghampirinya.
“Mau pesen apa, Mbak? Sore ini kami menyediakan menu spesial weekend pancake dan ice cream yogurt rasa durian,” wanita cantik pelayan cafe menawarkan dengan senyum termanisnya.
“Oia boleh deh, Mbak,” Anggun menjawab dengan cepat. Seolah ia tak punya pilihan lain. Ia terlihat sedang kalut.
“Untuk berapa orang, Mbak?”
“Cukup untuk satu orang aja  dulu, ya.”
Pelayan itu segera berlalu. Anggun mengeluarkan rokok putih dan handphone dari dalam tasnya. Ia menyalakan rokok dan menyulutnya. Asap putih membentuk lingkaran-lingakaran tak beraturan, lalu dihembuskannya perlahan dari bibir dan kedua lubang hidung mancungnya. Sesekali, pandangan matanya jauh ke depan.
Anggun sangat gelisah. Sesekali terdengar ia menarik napas berat. Seolah ia ingin mengeluarkan semua beban yang sedang menderanya. Diliriknya kembali jam tangannya. Ehm, waktu telah menunjukkan pukul 6.30 malam. Itu artinya, ia telah duduk satu jam lebih menunggu Rendy. Tapi pria itu belum memberikan tanda-tanda akan kehadirannya. Entah berapa kali Anggun mencoba meneleponnya, nihil, handphone tidak aktif. Smsnya pun tak di jawab. Anggun semakin kalut, ia menyeruput ice cream yogurt untuk menetralisir perasaannya.
Rendy tak berkonsentrasi menyetir mobil. Kepalanya di hinggapi beribu-ribu pertanyaan yang tak terjawab. Untuk apa Anggun meminta datang untuk menemuinya? Ada apa lagi dengan wanita itu? Bukankah ia telah mencampakkanya begitu saja, setelah semua apa yang telah di dapati diraih dengan sekejap. Ia kini telah menjadi wanita sukses sebagai desainer sebuah merk busana terkenal di Jakarta.
Wajah Anggun mempermainkan setiap kerjap matanya. Aah, Rendy mendegus pelan. Volume tape mobilnya ditambah. Alunan musik Lady Gaga menghentak-hengtakkan sound sistemnya. Selang beberapa waktu kemudian, mobilnya berbelok ke arah cafe tempat Anggun dan ia janjian.
Rendy menelepon Anggun setibanya di parkiran. Mengabarkan, bahwa sebentar lagi ia akan menemuinya. Anggun mengehela napas. Ia mencoba bersikap tenang. Dinyalakannya kembali sebatang rokok putihnya. Jantungnya berdegup kencang saat Rendy sudah terlihat memasuki Cafe. Ia lalu melambaikan tangan pada Rendy.
“Pa kabar Anggun?” sapa Rendy lembut pada Anggun. Ia selalu begitu, ramah, tetap bersikap sopan di hadapan Anggun. Meski sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatinya ada kebencian yang sudah mulai mengakar.
“Kabar aku nggak baik!”
Anggun menatap tajam pada Rendy. Alis Rendy terangkat. Dahinya mengkerut. Ia merasa ada yang tak beres pada sikap Anggun. Tatapan mata Anggun terlihat aneh, batin Rendy.
“Ehm, kamu kenapa sih? Tiba-tiba mengajak aku ketemuan. Bukannya kamu udah nggak inget aku lagi?” ujar Rendy dengan tawa kecil.
“Rendy! Aku nggak mau buang-buang waktu membicarakan hal yang tidak penting. Aku mau kamu berterus terang, apa sih mau kamu? Kenapa kamu selalu menggangguku akhir-akhir ini! Menerorku dengan privat number?!” kata Anggun dengan mimik wajah yang merona merah. Bukan karena malu, tapi ekpresi itu tak lebih seperti orang yang sedang menahan luapan emosi. Rendy tersentak kaget.
“Apa? Anggun, kamu jangan nuduh sembarangan, ya! Buat apa aku melakukan itu? Aku bukan cowok pengecut yang akan mengejar-ngejarmu dengan cara seperti itu. Meski aku terlalu mencintai kamu, tapi aku masih punya harga diri!”
“Lalu siapa orangnya? Aku sangat terganggu dengan kondisi ini, Ren. Sorry, aku bukannya menuduh kamu. Tapi, aku sadar telah menyakiti hati kamu. Jadi satu-satunya kecurigaanku hanya sama kamu, Ren!” Anggun tajam menatap pada kedua mata Rendy.
“Sungguh Anggun, itu bukan aku,” Rendy menjawab pelan. Ia tersenyum kecut dengan tuduhan Anggun.
Tatapan mata Rendy terlihat sinis. Dalam hati, ia berucap syukur telah berpisah dengannya. Sikap angkuh dan temperamental Anggun sangat tidak sesuai dengan kepribadian Rendy. Entah mengapa ia sangat mencintainya. “Mungkin aku memang bodoh!” batin Rendy.  Tiba-tiba suara dering handphone Anggun sejenak memecah suasana. Anggun berdiri dan sedikit menjauh dari tempat duduk Rendy. Ia terlihat serius berbicara dengan seseorang.
Tak lama kemudian, Anggun kembali duduk menyeruput ice yogurtnya. Ia menghela napas panjang. Kembali di tatap pria di depannya. Mencoba masuk ke dalam mata hitamnya.  Ia mencari jawaban atas kebenaran pernyataan Rendy. Ia tahu, Rendy selama ini adalah pria yang paling jujur di matanya. Namun saat ini, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda pada tatapan mata itu. Seolah ada kebencian di sana.
“Rendy, sorry, bukannya aku tak percaya denganmu, tapi aku benar-benar stress. Hampir satu minggu ini, ada yang menerorku dengan telepon di setiap tengah malam. Tapi saat aku mengangkat teleponnya. Tak ada suara, hanya desir angin malam, dan suara-suara kendaraan yang melaju cepat. Baiklah, aku harus segera pergi. Rendy maafin aku, ya. Tolong mengerti, biarkan aku mencari kebahagiaanku. Aku harap tidak ada dendam diantara kita. Sesuatu yang dipaksakan tidak akan baik buat kita berdua. Aku harap, tidak ada lagi pertemuan setelah ini. Bye Rendy,” ujar Anggun dengan nada suara yang lembut. Ia menggengam tangan Rendy.
“Tenang aja Anggun, aku udah ikhlas, kok!” Rendy mencoba tetap tersenyum. Meski hatinya seolah tercabik-cabik. Anggun meninggalkan Rendy sendiri yang masih diliputi tanda tanya dalam hatinya.
                                                                               ***
Anggun berjalan bolak-balik mengitari ruang kerjanya. Sedari tadi, pikirannya sangat kacau. Bahkan meeting siang itu, ditunda untuk menenangkan hatinya sejenak. Ia masih terbayang-bayang kejadian tadi saat terbangun di pagi hari. Ia merasa ada yang aneh dalam apartemennya. Tata ruangnya sedikit berubah. Pot bunga yang biasanya di letakkan di atas meja dekat pintu ke luar, tiba-tiba berganti posisi berada di samping TV yang ada di ruang tengah.
Lalu, bingkai foto yang ia letakkan di samping TV, berpindah tempat di atas meja mini di samping kursi sofanya. Anggun hapal betul seluruh tata ruang apartemennya. Sekecil apapun perbedaannya pasti ia tahu. Tapi siapa yang memindahkannya. Bukankah ia hanya tinggal sendiri di apartemen itu. Ah, mana mungkin ada hantu di zaman modern seperti ini, batinnya saat tiba-tiba pikiran mistis tentang hantu tiba-tiba hadir di kepalanya. Ia menyesalkan, mengapa ia tadi bangun kesiangan hingga buru-buru ke kantor tanpa mengecek seluruh isi apartemennya.
Mungkin saja ada yang hilang. “Mungkinkah ada maling yang masuk ke apartemenku?” tanyanya pada diri sendiri. “Ah, mana mungkin ada maling! Bukankah pengunjung apartemen tidak mudah masuk tanpa ada persetujuan dari penghuninya. Terkecuali, ia adalah pengunjung tetap yang telah terbiasa datang,” timpal batinnya lagi. “Rendy, mungkinkah dia?” tanyanya pada diri sendiri. Ia tersentak kaget saat pintunya ruangannya di ketuk. Wajah OB muncul di balik pintu.
“Maaf, ini ada titipan bunga buat, Ibu.”
“Dari siapa? Kok, tumben ada yang ngirimin aku bunga ke sini? terima kasih ya, Pak.”
Anggun menerima bunga mawar itu. OB itu segera ke luar dan menutup rapat pintu ruangan. Anggun tak melihat nama pengirim bunga untuknya. Secarik kertas terselip di dalamnya. Ia terperanjat kaget saat membaca tulisan kecil bertinta merah. “AKU BISA MENJELMA SEBAGAI KUPU-KUPU YANG MEMATIKAN!
“Aaah...Siaaal!”
Anggun berteriak histeris, tiba-tiba saja ada seekor kodok kecil yang meloncat ke luar dari bunga dan hampir saja menabrak hidungnya. Untung ia segera berkelit. Bunga itu segera di campakkanya ke lantai. Ternyata teriakan histeris Anggun membuat orang-orang di luar ruangannya segera berdatangan. Termasuk OB tadi yang belum jauh dari ruangannya. OB pun segera minta maaf dan menangkap kodok tersebut. Ia mengaku tidak tahu menahu soal bunga itu. Ia hanya menerima dari seorang pengantar bunga di lobby tadi.
Anggun tampak shock. Ia lalu menelepon sahabatnya Grace yang sudah lama tak berkunjung ke apartemennya. Ia terlalu sibuk hingga ia seolah lupa pada sahabatnya itu. Sahabat yang selalu ada untuknya sejak di bangku kuliah saat ia sedang banyak masalah. Mereka berdua janjian makan siang di Plaza senayan. Anggun lebih dulu tiba di salah satu restoran pilihannya. Selang beberapa menit kemudian, Grace pun tiba. Mereka sengaja memilih tempat duduk di sudut restoran. Segera memesan makanan dan minuman.
“Lo apa kabar Anggun? Kayaknya sekarang terlalu sibuk, ye! Tumben banget nih lo inget gue?” ujar Grace memulai percakapan siang itu.
Sorry darling, bukannya gue nggak inget, lo! Tapi you knowlah emang kerjaan gue lagi busy banget akhir-akhir ini,” kilah Anggun yang memang sedang berusaha menghindari semua teman yang dekat dengan mantannya Rendy. Tapi kali ini, ia seperti butuh teman curhat. Dan seperti biasa, Gracelah tempat ia selama ini mencurahkan problem hidupnya.
It’s okey, Darling. Gue ngerti, kok! Terus gimana, pasti lo lagi ada masalah serius nih, tumben banget lo ajakin gue ketemuan di jam kantor?” selidik Grace pada sahabatnya itu.
“Grace gue lagi stress, nih!”
Anggun kemudian menceritakan semua tentang orang yang menerornya dengan private number. Hingga kejadian-kejadian aneh pada apartemennya dan kejadian barusan di kantornya. Grace mengernyitkan kening mendegar semua penuturan Anggun.
“Waah complicated bangeeet!” Grace tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya.
“Grace, apa mungkin Rendy yang melakukan semua teror ini?”
“Anggun, lo nggak bisa menuduh Rendy seperti itu tanpa ada bukti! Asal lo tahu, ia saat ini begitu terpukul ketika lo mencampakkanya begitu aja demi semua kebahagiaan yang lo inginkan! Ia begitu menutup diri seolah hanya lo satu-satunya wanita yang sempurna di matanya. Tapi, gue yakin, nggak mungkin Rendy akan bersikap seperti yang lo tuduhin itu, Anggun.”
“Grace entahla, gue bingung!”
Anggun terlihat lemah. Wajah cantiknya berubah kelam. Anggun memang sangat cantik. Terlebih lagi sikapnya anggun meski terkesan angkuh dan sedikit temperamental. Itulah yang membuat Rendy memilih Anggun ketimbang Grace yang lebih agresif, meski diakui, kecantikan mereka menghipnotis semua laki-laki yang melihatnya. Ada senyum dan tatapan aneh dari sorot mata Grace.
“Tenang Anggun, gue saat ini belum bisa memberi solusi terhadap masalah lo, Darling.  Tapi, gue akan bantu semampunya. Semoga semua ini cepat berlalu, ya,” Grace mencoba menghibur Anggun.
“Iya nggak apa-apa Grace. Gue seneng lo masih mau dengerin curhatan gue, maenlah ke apartemen.”
Setelah menikmati menu makan siang dan berbincang panjang lebar tentang masa-masa kuliah dan karir saat ini. Akhirnya mereka berdua balik ke kantor masing-masing.
***
Rendy seolah aneh saat makan siang bersama teman-teman kantornya Ia tak menemukan Grace. Biasanya, saat makan siang di pantry, Grace hampir tak pernah absen bersamanya. Andai Grace makan siang di luar pun ia biasanya memberitahukan Rendy.
“Andrew, Grace ke mana, ya? Kok sejak tadi gue gak liat dia?” tanya Rendy
“Nggak tau, tuh! Makan di luar kali, emang dia gak ngomong ma lo, Ren?”
“Ooh iya, kalo nggak salah, dia tadi ke luar kantor, tuh. Buru-buru gitu, pas gue tanya lo mau ke mana, Grace cuman senyum aja,” Cindy menimpali.
“Ooh gitu ya, ehm, tumben banget,” ujar Rendy melonggarkan dasinya. Mereka bertiga pun menyantap hidangan makan siang hari itu tanpa Grace. Rendy tidak tahu, kalau siang itu Grace menemui Anggun untuk lunch bersama di Plaza senayan. Grace memang sengaja tak memberitahukan Rendy. Karena ia yakin, Rendy pasti melarangnya untuk menemui Anggun.
***
Malam itu, Anggun sedang menikmati kesendiriannya di samping jendela kamar apartemennya. Memandang pada kejauhan, menikmati indahnya kota Jakarta dari lantai 27 apartemennya. Jakarta memang tampak indah di malam hari. Bulan purnama penuh, menambah keindahan malam itu. Ia menarik napas yang panjang. Menyeruput hot cappuchino dan menyulut rokok  putihnya. Pikirannya jauh melayang.
Sebagai wanita karir, ia tergolong sukses. Namun, ia merasa hidupnya hampa. Selama ini, ia terlalu memikirkan kebahagiaan orang-orang terdekatnya. Termasuk soal cinta. Kini perih tiba-tiba hadir menyelinap masuk ke dalam rongga dadanya. Rendy, pria yang sangat ia cintai harus dilepasnya demi sahabatnya Grace. Tak terasa air matanya jatuh perlahan.
Untuk sekian kalinya, ia harus berkoban. Mencampakkan Rendy  tanpa alasan yang jelas. Dan sekarang, hidupnya semakin tidak tentram, ia terus menerus di teror. Anggun harus berbuat sesuatu. Ia mengambil handphone dan segera menghubungi Grace.
“Hallo, Darling, lo bisa ke apartemen gue? Aku lagi butuh kamu di sini, please!”
“Hei, gue lagi dinner, nih, sebentar lagi gue ke sana,” ujar Grace di balik telepon.
“Oke, gue tunggu!” Anggun kembali berjalan ke samping jendela kamarnya. Ia menyulut rokok ke bibir. Sambil memandang di kejauhan, ada senyum aneh tergambar di bibir mungilnya.
***
            Grace kembali duduk ke meja makannya. Malam itu, ia sedang menikmati dinner bersama Rendy di sebuah cafe di bilangan kemang. Raut mukanya sedikit berbeda dari sebelumnya. Rendy meliriknya dengan penuh tanya.
“Grace, telepon dari siapa? Kok kamu keliatan bete gitu?” tanya Rendy.
“Eh, nggak apa-apa kok. Tadi ada telepon dari temen, ia memintaku datang ke rumahnya. Katanya sih, penting! Tahu tuh kenapa,” ujar Grace.
            “Ooh..terus gimana?”
 “Ehm, kayaknya aku harus ke sana, deh! Duuh, padahal aku lagi seneng banget nih bisa dinner sama kamu malam ini.”
 “Oh ya udah, nggak apa-apa kok. Aku anterin kamu ke sana, ya.”
“Jangan, nggak usah, aku sendiri  aja ke sana. Naik taksi aja, makasih banget ya udah ajak aku dinner. Sampai ketemu besok di kantor,” ucap Grace cepat. Ia berdiri, mengambil tas dan segera berlalu pergi. Rendy hanya termangu. Ia merasa ada sesuatu yang mencurigakan pada sikap Grace. Sementara Grace, ia tak mau Rendy tahu kalau ia akan menemui Anggun.
                                                                      ***
Anggun berdiri di depan cermin besarnya. Ia memerhatikan seluruh lekuk tubuhnya. Malam itu, ia hanya memakai kaos oblong putih dipadukan dengan celana pendek jeans ketat di atas lutut. Rambutnya dibiarkan terurai panjang. Matanya terlihat sedikit memerah. Di tangan kirinya ia mengenggam sekaleng bir. Tiba-tiba ia tersentak saat handphonenya berdering. Nama Grace terlihat di layar itu. Ia tahu, Grace pasti telah berdiri di depan pintu.
“Hei Grace, masuklah,” ajak Anggun menarik tangan Grace. Anggun mengajak Grace duduk di sofa tepat di depan TV. Di atas meja, terlihat ada beberapa kaleng bir dan camilan. Anggun tampak sengaja untuk menyiapkan semuanya. Grace melirik Anggun.
“Kok lo ngebir lagi, sih?”
“Tau nih lagi suntuk aja! Ayo dong lo buka birnya, dah lama nih gak ngebir bareng, hehe…” Grace meraih satu kaleng bir, membukanya, lalu mereguk perlahan.
TV di depan mereka sedang menyuguhkan sebuah film horor. Film dengan kisah wanita pembunuh berdarah dingin. Saat itu tepat adegan pembunuhan si wanita pada korbannya dengan menggunakan sebuah pisau silet. Wanita itu terlihat sangat keji, setelah  memutus nadi si korban dengan buas dan beringas ia mencabik-cabik wajah, leher, dan memotong kedua kupingnya.
Tampak si korban menjerit-menjerit. Anggun terdiam, sesekali meneguk bir kalengnya. Tangannya sedikit tergetar. Sementara Grace. ia merasa ada sesuatu yang aneh pada diri Anggun. Ia tampak berbeda malam itu. Tatapan matanya tajam dan dingin. “Ah, pasti ini gara-gara ia terlalu banyak meminum bir,” batin Grace.  Anggun merapatkan duduknya pada Grace.
“Grace gimana kabar Rendy?” tanya Anggun.
“Ehm, dia baik aja! Kenapa, kok lo masih nanyain dia? Bukannya lo dah janji ma gue supaya lo mutusin hubungan sama dia!” ujar Grace tampak tak suka dengan pertanyaan Anggun. Anggun menghela napas. Ia berdiri dan berjalan menuju jendela. Mata Grace mengikuti langkah Anggun.
“Grace, asal lo tahu, gue udah mulai muak dengan semua ini!” ujar Anggun dengan suara berat.
“Apa maksud, lo?”
“Iya, gue udah muak mengikuti semua kemauan, lo! Hidup gue berantakan!”
“Oooh, jadi lo udah mulai berani? Lo mau semua orang tahu rahasia hidup lo? Lo mau semua karir yang lo dapat saat ini hancur? Karena mereka tahu, lo hanyalah perempuan simpanan pejabat yang membiayai semua kuliah lo sampai sukses seperti ini!”
Grace mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Anggun. Anggun melangkah merapatkan wajahnya pada Grace. Mata merahnya tajam menatap mata Grace. Ia tersenyum simpul. Tiba-tiba ia menjambak rambut Grace kuat. Grace merintih kesakitan dan berusaha melepaskan diri.
“Sebelum lo melakukan itu maka telah kuputuskan hal ini!” teriak Anggun.
Sejurus kemudian, sebuah belati yang berasal dari saku belakang celana Anggun telah ditangcapkan di perutnya. Grace berteriak histeris. Ia kesakitan. Wajahnya pucat pasi. Darah segar telah membasahi lantai. Anggun mendorong keras tubuh Grace. Sambil memegangi perutnya, Grace berusaha bangkit. Anggun tak membiarkan hal itu. Dengan raut wajah tanpa dosa ia menendang keras wajah Grace. Kini darah segar mengucur di hidungnya. Grace tersungkur di lantai.
“Grace, lo udah buat hidup gue hancur. Bodohnya, hanya karena rahasia hidup gue ini, lo seenaknya menjadi sutradara dalam hidup gue! Bahkan, gue harus rela memutuskan Rendy, pria yang sangat gue cintai, biar lo bisa dapetin cintanya dia? Terus lo meneror gue setelah itu! Lo pemimpi besar, Grace! Rendy tak akan pernah mencintai perempuan agresif kayak, lo! Dan asal lo tahu, selama gue masih hidup, cinta Rendy cuma buat gue!”
Anggun berteriak lantang di telinga Grace yang terkulai lemas. Anggun masih belum puas, dengan beringas ia menangcapkan belati itu berkali-kali pada perut, dada, dan leher Grace. Ruang tengah itu berubah merah. Lantai, kursi sofa, meja, basah oleh darah Grace.  Grace kini terbujur kaku dengan tubuh bersimbah darah. Sementara Anggun menangis histeris di samping tubuh Grace. Ia kini tak tahu rasa apa yang bersemayan di tubuhnya.
Tiba-tiba pintu apartemennya terkuak. Rendy muncul di balik pintu itu.
Rendy yang ditinggalkan Grace saat dinner tadi, dalam perjalanan pulang ke rumah, ia terus bertanya-tanya dengan perubahan sikap Grace di cafe. Perasaannya tidak karuan, tiba-tiba saja ia teringat Anggun. Ia yakin teman yang dimaksud Grace tadi adalah Anggun. Rendy penasaran. Ia segera memutar balik mobilnya menuju ke Apartemen Anggun.  
Kini Rendy terperanjat kaget menyaksikan pemandangan di depannya. Spontan ia berteriak histeris menyebut nama Grace dan Anggun. Anggun menoleh ke arah Rendy. Ia bangkit dengan belati yang masih ada dalam genggamannya
“Rendy, aku… aku mencintai kamu!”
“Stop, Anggun! Kamu pembunuh!”
Rendy mundur ke belakang menuju pintu. Kepalanya menggeleng. Wajah Rendy tampak tak dialiri darah. Ia tak pernah menyangka, Anggun sebegitu kejamnya membunuh sahabatnya sendiri. Rendy harus berbuat sesuatu. Anggun mempercepat langkah. Rendy berhasil meraih gagang pintu. Saat pintu terkuak, puluhan orang dan beberapa polisi telah berdiri di depan pintu dengan pistol di tangan. Ternyata, kegaduan di dalam apartemen Anggun membuat penghuni lain curiga. Sehingga seorang penghuni melaporkan kejadian tersebut.
Dengan kedua tangan terborgol Anggun melintasi Rendy yang masih terpaku berdiri. Anggun berhenti sejenak menatap kedua mata Rendy. Rendy berpaling, ia tak mau menatap mata Anggun. Hati Rendy terluka. Ia merasa telah mencintai wanita yang salah. Sementara Anggun menatap Rendy dengan tatapan kosong.
Ia tahu, pasti Rendy sangat membencinya. Anggun tersenyum kecut, “Andai kamu tahu yang sebenarnya, Sayang! Mungkin saat ini kau akan memberikan pelukan terakhirmu untukku! Aku terlalu mencintaimu! Terlalu Rendy!” Anggun ingin mengatakan itu, tapi mulutnya terkunci, ia hanya bisa bergumam dalam hatinya.



THE END



Bekasi 4 Oktober 2011 Wisma Kost Ibu Hayuni




1 komentar:

  1. Wah, Kasihan Anggunnya. Seharusnya Grace yang di penjara atau mati ya, bang.

    BalasHapus