GRACE dengan
langkah bak ratu sejagat memasuki kantornya dengan senyum yang tak
henti-hentinya. Semua teman kantornya mulai dari security, receptionis,
hingga hampir seluruh orang yang berpapasan dengannya pagi itu tak luput dari
senyum manisnya. Grace memang sangat cantik. Tubuhnya tinggi semampai.
Hidungnya mancung. Bibir tipisnya selalu terlihat indah dengan senyum nakalnya.
Sorot matanya tajam. Kecantikannya memang patut membuat semua pria jatuh cinta
padanya.
Hampir semua
pria dapat ditaklukkan hatinya dengan mudah. Terkecuali Rendy, teman
sekantor sekaligus sahabatnya. Seorang pria yang membuatnya tergila-gila. Grace
selalu berusaha tampil sempurna untuk bisa menaklukkan hati Rendy. Namun,
sebesar apapun usaha yang dilakukan selalu saja kandas. Seperti jumat pagi itu,
dengan senyum nakalnya, ia menghampiri meja kerja Rendy yang terlebih dulu
duduk manis di sana. Wajah Rendy terlihat kusam pagi itu.
“Hei
Rendy, selamat pagi,” sapa Grace dengan lembut.
“Pagi Grace, wah
kamu cantik banget hari ini. Lagi senang, ya?” ujar Rendy basa basi. Grace yang
dipuji seperti itu sontan mukanya memerah.
“Ah, kamu
serius bilang aku cantik? Iiih aku seneng bangeet lo!”
“Yaa,
apa salahnya sih nyenengin temen! haha...” Rendy tertawa kecil.
Grace mencubit lengan
Rendy dengan manja dan terkesan genit. Sikap Grace itulah yang membuat Rendy
tidak ingin jatuh cinta padanya. Ia lebih nyaman bersahabat, meski Grace
sendiri sangat mengharapkan cinta Rendy. Apalagi saat Rendy sudah putus
hubungan dengan Anggun. Orang yang sangat senang mendengar berita itu adalah
Grace. Ia berharap, kini ia dengan mudah dapat menggantikan posisi Anggun.
Anggun adalah sahabat Grace sendiri sejak kuliah dulu.
“Rendy, besok
jadi kan kita hang out lagi, Sob?” tanya Andrew teman kantornya saat
makan siang di pantry.
“Iya yuuuk
karaokean lagi, dah lama kalian semua gak denger suara emas gue, kan?” ujar
Grace menimpali dengan mata berbinar.
“Halaaah pede!”
Cindy pun ikut menimpali sambil mencibirkan bibirnya pada Grace.
“Oke, besok jam
tiga sore kita ketemuan di tempat biasa, nggak pake telat, ya!” ujar Rendy yang
disertai persetujuan teman-temannya itu. Mereka adalah teman kantor sekaligus
teman main di waktu libur.
Sabtu siang itu, Rendy bersama teman-teman kantornya
termasuk Grace sedang berkaraoke ria di daerah Jakarta Selatan. Di sela-sela
Rendy sedang berduet maut dengan Grace handphone Rendy berbunyi. Ada
panggilan masuk dari Anggun. Ia pun segera ke luar dari ruangan. Anggun meminta
Rendy untuk menemuinya segera karena ada hal penting yang ingin dibicarakan.
Mereka janjian di sebuah cafe tempat mereka dulu sering sambangi saat masih
pacaran.
Dengan berat hati, Rendy pamit pada teman-temanya. Grace
yang sedari tadi tampak senang dan menikmati kebersamaannya bersama Rendy
memasang wajah cemberut. Bahkan, ia berpura-pura cuek saat Rendy pamit. Ada
tatapan aneh dari mata Grace saat ia menatap punggung Rendy yang
meninggalkannya. Hatinya panas. Api cemburu berkobar di hatinya. “Dasar
laki-laki bodoh!” umpatnya dalam hati.
***
Anggun berjalan
tergesa memasuki sebuah cafe yang terletak di jalan protokol Jalan Sudirman
sore menjelang malam itu. Ia melirik jam tangan mungil di pergelangan tangan
kirinya. Tepat pukul 5.10 sore. Ia segera memilih tempat duduk di sudut cafe
yang menghadap ke jalan raya. Suasana cafe sore itu tidak terlalu ramai.
Pelayan cafe segera menghampirinya.
“Mau pesen apa,
Mbak? Sore ini kami menyediakan menu spesial weekend pancake dan ice
cream yogurt rasa durian,” wanita
cantik pelayan cafe menawarkan dengan senyum termanisnya.
“Oia boleh deh,
Mbak,” Anggun menjawab dengan cepat. Seolah ia tak punya pilihan lain. Ia
terlihat sedang kalut.
“Untuk berapa
orang, Mbak?”
“Cukup untuk
satu orang aja dulu, ya.”
Pelayan itu
segera berlalu. Anggun mengeluarkan rokok putih dan handphone dari
dalam tasnya. Ia menyalakan rokok dan menyulutnya. Asap putih membentuk
lingkaran-lingakaran tak beraturan, lalu dihembuskannya perlahan dari bibir dan
kedua lubang hidung mancungnya. Sesekali, pandangan matanya jauh ke depan.
Anggun sangat gelisah.
Sesekali terdengar ia menarik napas berat. Seolah ia ingin mengeluarkan semua
beban yang sedang menderanya. Diliriknya kembali jam tangannya. Ehm, waktu
telah menunjukkan pukul 6.30 malam. Itu artinya, ia telah duduk satu jam lebih
menunggu Rendy. Tapi pria itu belum memberikan tanda-tanda akan kehadirannya.
Entah berapa kali Anggun mencoba meneleponnya, nihil, handphone tidak
aktif. Smsnya pun tak di jawab. Anggun semakin kalut, ia menyeruput ice
cream yogurt untuk menetralisir perasaannya.
Rendy tak berkonsentrasi
menyetir mobil. Kepalanya di hinggapi beribu-ribu pertanyaan yang tak terjawab.
Untuk apa Anggun meminta datang untuk menemuinya? Ada apa lagi dengan wanita
itu? Bukankah ia telah mencampakkanya begitu saja, setelah semua apa yang telah
di dapati diraih dengan sekejap. Ia kini telah menjadi wanita sukses sebagai desainer
sebuah merk busana terkenal di Jakarta.
Wajah Anggun
mempermainkan setiap kerjap matanya. Aah, Rendy mendegus pelan. Volume tape mobilnya ditambah. Alunan
musik Lady Gaga menghentak-hengtakkan sound sistemnya. Selang beberapa
waktu kemudian, mobilnya berbelok ke arah cafe tempat Anggun dan ia janjian.
Rendy menelepon
Anggun setibanya di parkiran. Mengabarkan, bahwa sebentar lagi ia akan menemuinya.
Anggun mengehela napas. Ia mencoba bersikap tenang. Dinyalakannya kembali
sebatang rokok putihnya. Jantungnya berdegup kencang saat Rendy sudah terlihat
memasuki Cafe. Ia lalu melambaikan tangan pada Rendy.
“Pa kabar
Anggun?” sapa Rendy lembut pada Anggun. Ia selalu begitu, ramah, tetap bersikap
sopan di hadapan Anggun. Meski sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatinya ada kebencian
yang sudah mulai mengakar.
“Kabar aku
nggak baik!”
Anggun menatap
tajam pada Rendy. Alis Rendy terangkat. Dahinya mengkerut. Ia merasa ada yang
tak beres pada sikap Anggun. Tatapan mata
Anggun terlihat aneh, batin Rendy.
“Ehm, kamu
kenapa sih? Tiba-tiba mengajak aku ketemuan. Bukannya kamu udah nggak inget aku
lagi?” ujar Rendy dengan tawa kecil.
“Rendy! Aku
nggak mau buang-buang waktu membicarakan hal yang tidak penting. Aku mau kamu
berterus terang, apa sih mau kamu? Kenapa kamu selalu menggangguku akhir-akhir
ini! Menerorku dengan privat number?!” kata Anggun dengan mimik wajah
yang merona merah. Bukan karena malu, tapi ekpresi itu tak lebih seperti orang
yang sedang menahan luapan emosi. Rendy tersentak kaget.
“Apa? Anggun,
kamu jangan nuduh sembarangan, ya! Buat apa aku melakukan itu? Aku bukan cowok
pengecut yang akan mengejar-ngejarmu dengan cara seperti itu. Meski aku terlalu
mencintai kamu, tapi aku masih punya harga diri!”
“Lalu siapa
orangnya? Aku sangat terganggu dengan kondisi ini, Ren. Sorry, aku bukannya
menuduh kamu. Tapi, aku sadar telah menyakiti hati kamu. Jadi satu-satunya
kecurigaanku hanya sama kamu, Ren!” Anggun tajam menatap pada kedua mata Rendy.
“Sungguh
Anggun, itu bukan aku,” Rendy menjawab pelan. Ia tersenyum kecut dengan tuduhan
Anggun.
Tatapan mata
Rendy terlihat sinis. Dalam hati, ia berucap syukur telah berpisah dengannya.
Sikap angkuh dan temperamental Anggun sangat tidak sesuai dengan kepribadian
Rendy. Entah mengapa ia sangat mencintainya. “Mungkin aku memang bodoh!”
batin Rendy. Tiba-tiba suara dering handphone Anggun sejenak
memecah suasana. Anggun berdiri dan sedikit menjauh dari tempat duduk Rendy. Ia
terlihat serius berbicara dengan seseorang.
Tak lama
kemudian, Anggun kembali duduk menyeruput ice yogurtnya. Ia menghela
napas panjang. Kembali di tatap pria di depannya. Mencoba masuk ke dalam mata
hitamnya. Ia mencari jawaban atas
kebenaran pernyataan Rendy. Ia tahu, Rendy selama ini adalah pria yang paling
jujur di matanya. Namun saat ini, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda pada
tatapan mata itu. Seolah ada kebencian di sana.
“Rendy,
sorry, bukannya aku tak percaya denganmu, tapi aku benar-benar stress. Hampir satu minggu ini, ada yang
menerorku dengan telepon di setiap tengah malam. Tapi saat aku mengangkat
teleponnya. Tak ada suara, hanya desir angin malam, dan suara-suara kendaraan
yang melaju cepat. Baiklah, aku harus segera pergi. Rendy maafin aku, ya. Tolong
mengerti, biarkan aku mencari kebahagiaanku. Aku harap tidak ada dendam diantara
kita. Sesuatu yang dipaksakan tidak akan baik buat kita berdua. Aku harap,
tidak ada lagi pertemuan setelah ini. Bye Rendy,” ujar Anggun dengan
nada suara yang lembut. Ia menggengam tangan Rendy.
“Tenang aja
Anggun, aku udah ikhlas, kok!” Rendy mencoba tetap tersenyum. Meski hatinya
seolah tercabik-cabik. Anggun meninggalkan Rendy sendiri yang masih diliputi
tanda tanya dalam hatinya.
***
Anggun berjalan
bolak-balik mengitari ruang kerjanya. Sedari tadi, pikirannya sangat kacau.
Bahkan meeting siang itu, ditunda untuk menenangkan hatinya sejenak. Ia masih
terbayang-bayang kejadian tadi saat terbangun di pagi hari. Ia merasa ada yang
aneh dalam apartemennya. Tata ruangnya sedikit berubah. Pot bunga yang biasanya
di letakkan di atas meja dekat pintu ke luar, tiba-tiba berganti posisi berada
di samping TV yang ada di ruang tengah.
Lalu, bingkai
foto yang ia letakkan di samping TV, berpindah tempat di atas meja mini di samping
kursi sofanya. Anggun hapal betul seluruh tata ruang apartemennya. Sekecil
apapun perbedaannya pasti ia tahu. Tapi siapa yang memindahkannya. Bukankah ia
hanya tinggal sendiri di apartemen itu. Ah, mana mungkin ada hantu di zaman
modern seperti ini, batinnya saat tiba-tiba pikiran mistis tentang hantu
tiba-tiba hadir di kepalanya. Ia menyesalkan, mengapa ia tadi bangun kesiangan
hingga buru-buru ke kantor tanpa mengecek seluruh isi apartemennya.
Mungkin saja
ada yang hilang. “Mungkinkah ada maling yang masuk ke apartemenku?” tanyanya
pada diri sendiri. “Ah, mana mungkin ada maling! Bukankah pengunjung
apartemen tidak mudah masuk tanpa ada persetujuan dari penghuninya. Terkecuali,
ia adalah pengunjung tetap yang telah terbiasa datang,” timpal batinnya
lagi. “Rendy, mungkinkah dia?” tanyanya pada diri sendiri. Ia
tersentak kaget saat pintunya ruangannya di ketuk. Wajah OB muncul di balik
pintu.
“Maaf, ini ada
titipan bunga buat, Ibu.”
“Dari siapa?
Kok, tumben ada yang ngirimin aku bunga ke sini? terima kasih ya, Pak.”
Anggun menerima bunga mawar itu.
OB itu segera ke luar dan menutup rapat pintu ruangan. Anggun tak melihat nama
pengirim bunga untuknya. Secarik kertas terselip di dalamnya. Ia terperanjat
kaget saat membaca tulisan kecil bertinta merah. “AKU BISA MENJELMA SEBAGAI
KUPU-KUPU YANG MEMATIKAN!”
“Aaah...Siaaal!”
Anggun
berteriak histeris, tiba-tiba saja ada seekor kodok kecil yang meloncat ke luar
dari bunga dan hampir saja menabrak hidungnya. Untung ia segera berkelit. Bunga
itu segera di campakkanya ke lantai. Ternyata teriakan histeris Anggun membuat
orang-orang di luar ruangannya segera berdatangan. Termasuk OB tadi yang belum
jauh dari ruangannya. OB pun segera minta maaf dan menangkap kodok tersebut. Ia
mengaku tidak tahu menahu soal bunga itu. Ia hanya menerima dari seorang
pengantar bunga di lobby tadi.
Anggun tampak shock.
Ia lalu menelepon sahabatnya Grace yang sudah lama tak berkunjung ke
apartemennya. Ia terlalu sibuk hingga ia seolah lupa pada sahabatnya itu.
Sahabat yang selalu ada untuknya sejak di bangku kuliah saat ia sedang banyak
masalah. Mereka berdua janjian makan siang di Plaza senayan. Anggun lebih dulu
tiba di salah satu restoran pilihannya. Selang beberapa menit kemudian, Grace
pun tiba. Mereka sengaja memilih tempat duduk di sudut restoran. Segera memesan
makanan dan minuman.
“Lo apa kabar
Anggun? Kayaknya sekarang terlalu sibuk, ye! Tumben banget nih lo inget gue?” ujar
Grace memulai percakapan siang itu.
“Sorry
darling, bukannya gue nggak inget, lo! Tapi you knowlah emang
kerjaan gue lagi busy banget akhir-akhir ini,” kilah Anggun yang
memang sedang berusaha menghindari semua teman yang dekat dengan mantannya
Rendy. Tapi kali ini, ia seperti butuh teman curhat. Dan seperti biasa, Gracelah
tempat ia selama ini mencurahkan problem hidupnya.
“It’s okey,
Darling. Gue ngerti, kok! Terus gimana, pasti lo lagi ada masalah serius
nih, tumben banget lo ajakin gue ketemuan di jam kantor?” selidik Grace pada
sahabatnya itu.
“Grace gue lagi
stress, nih!”
Anggun kemudian
menceritakan semua tentang orang yang menerornya dengan private number.
Hingga kejadian-kejadian aneh pada apartemennya dan kejadian barusan di
kantornya. Grace mengernyitkan kening mendegar semua penuturan Anggun.
“Waah complicated
bangeeet!” Grace tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya.
“Grace, apa
mungkin Rendy yang melakukan semua teror ini?”
“Anggun, lo
nggak bisa menuduh Rendy seperti itu tanpa ada bukti! Asal lo tahu, ia saat ini
begitu terpukul ketika lo mencampakkanya begitu aja demi semua kebahagiaan yang
lo inginkan! Ia begitu menutup diri seolah hanya lo satu-satunya wanita yang
sempurna di matanya. Tapi, gue yakin, nggak mungkin Rendy akan bersikap seperti
yang lo tuduhin itu, Anggun.”
“Grace entahla,
gue bingung!”
Anggun terlihat
lemah. Wajah cantiknya berubah kelam. Anggun memang sangat cantik. Terlebih
lagi sikapnya anggun meski terkesan angkuh dan sedikit temperamental. Itulah
yang membuat Rendy memilih Anggun ketimbang Grace yang lebih agresif, meski
diakui, kecantikan mereka menghipnotis semua laki-laki yang melihatnya. Ada
senyum dan tatapan aneh dari sorot mata Grace.
“Tenang Anggun,
gue saat ini belum bisa memberi solusi terhadap masalah lo, Darling.
Tapi, gue akan bantu semampunya. Semoga semua ini cepat berlalu, ya,” Grace
mencoba menghibur Anggun.
“Iya nggak
apa-apa Grace. Gue seneng lo masih mau dengerin curhatan gue, maenlah ke
apartemen.”
Setelah
menikmati menu makan siang dan berbincang panjang lebar tentang masa-masa
kuliah dan karir saat ini. Akhirnya mereka berdua balik ke kantor
masing-masing.
***
Rendy seolah aneh
saat makan siang bersama teman-teman kantornya Ia tak menemukan Grace. Biasanya,
saat makan siang di pantry, Grace hampir tak pernah absen bersamanya. Andai
Grace makan siang di luar pun ia biasanya memberitahukan Rendy.
“Andrew, Grace
ke mana, ya? Kok sejak tadi gue gak liat dia?” tanya Rendy
“Nggak tau,
tuh! Makan di luar kali, emang dia gak ngomong ma lo, Ren?”
“Ooh iya, kalo
nggak salah, dia tadi ke luar kantor, tuh. Buru-buru gitu, pas gue tanya lo mau
ke mana, Grace cuman senyum aja,” Cindy menimpali.
“Ooh gitu ya,
ehm, tumben banget,” ujar Rendy melonggarkan dasinya. Mereka bertiga pun
menyantap hidangan makan siang hari itu tanpa Grace. Rendy tidak tahu, kalau
siang itu Grace menemui Anggun untuk lunch bersama di Plaza senayan.
Grace memang sengaja tak memberitahukan Rendy. Karena ia yakin, Rendy pasti
melarangnya untuk menemui Anggun.
***
Malam itu,
Anggun sedang menikmati kesendiriannya di samping jendela kamar apartemennya.
Memandang pada kejauhan, menikmati indahnya kota Jakarta dari lantai 27
apartemennya. Jakarta memang tampak indah di malam hari. Bulan purnama penuh,
menambah keindahan malam itu. Ia menarik napas yang panjang. Menyeruput hot cappuchino dan menyulut rokok
putihnya. Pikirannya jauh melayang.
Sebagai wanita
karir, ia tergolong sukses. Namun, ia merasa hidupnya hampa. Selama ini, ia
terlalu memikirkan kebahagiaan orang-orang terdekatnya. Termasuk soal cinta.
Kini perih tiba-tiba hadir menyelinap masuk ke dalam rongga dadanya. Rendy,
pria yang sangat ia cintai harus dilepasnya demi sahabatnya Grace. Tak terasa
air matanya jatuh perlahan.
Untuk sekian
kalinya, ia harus berkoban. Mencampakkan Rendy tanpa alasan yang jelas.
Dan sekarang, hidupnya semakin tidak tentram, ia terus menerus di teror. Anggun
harus berbuat sesuatu. Ia mengambil handphone
dan segera menghubungi Grace.
“Hallo, Darling, lo bisa ke apartemen gue? Aku
lagi butuh kamu di sini, please!”
“Hei, gue lagi
dinner, nih, sebentar lagi gue ke sana,” ujar Grace di balik telepon.
“Oke, gue
tunggu!” Anggun kembali berjalan ke samping jendela kamarnya. Ia menyulut rokok
ke bibir. Sambil memandang di kejauhan, ada senyum aneh tergambar di bibir
mungilnya.
***
Grace kembali duduk ke meja makannya. Malam itu, ia sedang
menikmati dinner bersama Rendy di
sebuah cafe di bilangan kemang. Raut mukanya sedikit berbeda dari sebelumnya.
Rendy meliriknya dengan penuh tanya.
“Grace, telepon
dari siapa? Kok kamu keliatan bete gitu?” tanya Rendy.
“Eh, nggak
apa-apa kok. Tadi ada telepon dari temen, ia memintaku datang ke rumahnya. Katanya
sih, penting! Tahu tuh kenapa,” ujar Grace.
“Ooh..terus gimana?”
“Ehm,
kayaknya aku harus ke sana, deh! Duuh, padahal aku lagi seneng banget nih bisa dinner sama kamu malam ini.”
“Oh ya
udah, nggak apa-apa kok. Aku anterin kamu ke sana, ya.”
“Jangan, nggak
usah, aku sendiri aja ke sana. Naik taksi aja, makasih banget ya udah
ajak aku dinner. Sampai ketemu besok di kantor,” ucap Grace cepat. Ia berdiri,
mengambil tas dan segera berlalu pergi. Rendy hanya termangu. Ia merasa ada
sesuatu yang mencurigakan pada sikap Grace. Sementara Grace, ia tak mau Rendy
tahu kalau ia akan menemui Anggun.
***
Anggun berdiri
di depan cermin besarnya. Ia memerhatikan seluruh lekuk tubuhnya. Malam itu, ia
hanya memakai kaos oblong putih dipadukan dengan celana pendek jeans ketat di
atas lutut. Rambutnya dibiarkan terurai panjang. Matanya terlihat sedikit
memerah. Di tangan kirinya ia mengenggam sekaleng bir. Tiba-tiba ia tersentak
saat handphonenya berdering. Nama
Grace terlihat di layar itu. Ia tahu, Grace pasti telah berdiri di depan pintu.
“Hei Grace,
masuklah,” ajak Anggun menarik tangan Grace. Anggun mengajak Grace duduk di
sofa tepat di depan TV. Di atas meja, terlihat ada beberapa kaleng bir dan camilan.
Anggun tampak sengaja untuk menyiapkan semuanya. Grace melirik Anggun.
“Kok lo ngebir
lagi, sih?”
“Tau nih lagi
suntuk aja! Ayo dong lo buka birnya, dah lama nih gak ngebir bareng, hehe…”
Grace meraih satu kaleng bir, membukanya, lalu mereguk perlahan.
TV di depan
mereka sedang menyuguhkan sebuah film horor. Film dengan kisah wanita pembunuh
berdarah dingin. Saat itu tepat adegan pembunuhan si wanita pada korbannya
dengan menggunakan sebuah pisau silet. Wanita itu terlihat sangat keji,
setelah memutus nadi si korban dengan buas dan beringas ia mencabik-cabik
wajah, leher, dan memotong kedua kupingnya.
Tampak si
korban menjerit-menjerit. Anggun terdiam, sesekali meneguk bir kalengnya.
Tangannya sedikit tergetar. Sementara Grace. ia merasa ada sesuatu yang aneh
pada diri Anggun. Ia tampak berbeda malam itu. Tatapan matanya tajam dan
dingin. “Ah, pasti ini gara-gara ia terlalu banyak meminum bir,” batin
Grace. Anggun merapatkan duduknya pada Grace.
“Grace gimana
kabar Rendy?” tanya Anggun.
“Ehm, dia baik
aja! Kenapa, kok lo masih nanyain dia? Bukannya lo dah janji ma gue supaya lo
mutusin hubungan sama dia!” ujar Grace tampak tak suka dengan pertanyaan
Anggun. Anggun menghela napas. Ia berdiri dan berjalan menuju jendela. Mata
Grace mengikuti langkah Anggun.
“Grace, asal lo
tahu, gue udah mulai muak dengan semua ini!” ujar Anggun dengan suara berat.
“Apa maksud,
lo?”
“Iya, gue udah
muak mengikuti semua kemauan, lo! Hidup gue berantakan!”
“Oooh, jadi lo
udah mulai berani? Lo mau semua orang tahu rahasia hidup lo? Lo mau semua karir
yang lo dapat saat ini hancur? Karena mereka tahu, lo hanyalah perempuan
simpanan pejabat yang membiayai semua kuliah lo sampai sukses seperti ini!”
Grace
mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Anggun. Anggun melangkah
merapatkan wajahnya pada Grace. Mata merahnya tajam menatap mata Grace. Ia
tersenyum simpul. Tiba-tiba ia menjambak rambut Grace kuat. Grace merintih
kesakitan dan berusaha melepaskan diri.
“Sebelum lo
melakukan itu maka telah kuputuskan hal ini!” teriak Anggun.
Sejurus kemudian,
sebuah belati yang berasal dari saku belakang celana Anggun telah ditangcapkan
di perutnya. Grace berteriak histeris. Ia kesakitan. Wajahnya pucat pasi. Darah
segar telah membasahi lantai. Anggun mendorong keras tubuh Grace. Sambil
memegangi perutnya, Grace berusaha bangkit. Anggun tak membiarkan hal itu.
Dengan raut wajah tanpa dosa ia menendang keras wajah Grace. Kini darah segar
mengucur di hidungnya. Grace tersungkur di lantai.
“Grace, lo udah
buat hidup gue hancur. Bodohnya, hanya karena rahasia hidup gue ini, lo
seenaknya menjadi sutradara dalam hidup gue! Bahkan, gue harus rela memutuskan
Rendy, pria yang sangat gue cintai, biar lo bisa dapetin cintanya dia? Terus lo
meneror gue setelah itu! Lo pemimpi besar, Grace! Rendy tak akan pernah
mencintai perempuan agresif kayak, lo! Dan asal lo tahu, selama gue masih hidup,
cinta Rendy cuma buat gue!”
Anggun
berteriak lantang di telinga Grace yang terkulai lemas. Anggun masih belum
puas, dengan beringas ia menangcapkan belati itu berkali-kali pada perut, dada,
dan leher Grace. Ruang tengah itu berubah merah. Lantai, kursi sofa, meja,
basah oleh darah Grace. Grace kini terbujur kaku dengan tubuh bersimbah
darah. Sementara Anggun menangis histeris di samping tubuh Grace. Ia kini tak
tahu rasa apa yang bersemayan di tubuhnya.
Tiba-tiba pintu
apartemennya terkuak. Rendy muncul di balik pintu itu.
Rendy yang
ditinggalkan Grace saat dinner tadi, dalam perjalanan pulang ke rumah, ia terus
bertanya-tanya dengan perubahan sikap Grace di cafe. Perasaannya tidak karuan,
tiba-tiba saja ia teringat Anggun. Ia yakin teman yang dimaksud Grace tadi
adalah Anggun. Rendy penasaran. Ia segera memutar balik mobilnya menuju ke
Apartemen Anggun.
Kini Rendy
terperanjat kaget menyaksikan pemandangan di depannya. Spontan ia berteriak
histeris menyebut nama Grace dan Anggun. Anggun menoleh ke arah Rendy. Ia bangkit
dengan belati yang masih ada dalam genggamannya
“Rendy, aku…
aku mencintai kamu!”
“Stop, Anggun!
Kamu pembunuh!”
Rendy mundur ke
belakang menuju pintu. Kepalanya menggeleng. Wajah Rendy tampak tak dialiri
darah. Ia tak pernah menyangka, Anggun sebegitu kejamnya membunuh sahabatnya
sendiri. Rendy harus berbuat sesuatu. Anggun mempercepat langkah. Rendy
berhasil meraih gagang pintu. Saat pintu terkuak, puluhan orang dan beberapa
polisi telah berdiri di depan pintu dengan pistol di tangan. Ternyata, kegaduan
di dalam apartemen Anggun membuat penghuni lain curiga. Sehingga seorang
penghuni melaporkan kejadian tersebut.
Dengan kedua
tangan terborgol Anggun melintasi Rendy yang masih terpaku berdiri. Anggun
berhenti sejenak menatap kedua mata Rendy. Rendy berpaling, ia tak mau menatap mata
Anggun. Hati Rendy terluka. Ia merasa telah mencintai wanita yang salah. Sementara
Anggun menatap Rendy dengan tatapan kosong.
Ia tahu, pasti
Rendy sangat membencinya. Anggun tersenyum kecut, “Andai kamu tahu yang
sebenarnya, Sayang! Mungkin saat ini kau akan memberikan pelukan terakhirmu
untukku! Aku terlalu mencintaimu! Terlalu Rendy!” Anggun ingin
mengatakan itu, tapi mulutnya terkunci, ia hanya bisa bergumam dalam hatinya.
THE END
Bekasi 4 Oktober 2011 Wisma
Kost Ibu Hayuni
Wah, Kasihan Anggunnya. Seharusnya Grace yang di penjara atau mati ya, bang.
BalasHapus