Jumat, 18 Mei 2012

SEBUAH KELUARGA DI SUDUT KOTA JAKARTA


Oleh : M.yusuf Putra Sinar Tapango


Sore itu di sebuah halte bus depan sebuah kampus, Rendy dan Tasya tampak gelisah.

“Tasya, kok ayah belum datang juga, ya?”

“Tau nih, Kak, nggak biasanya ayah telat kayak gini,”

“Padahal aku dah coba hubungin handphonenya, tapi gak aktif,” ujar Rendy dengan wajah cemas.

“Sms aja kali, Kak! Jaringan deh kayaknya, soalnya kan lagi musim hujan.” Kata Tasya tak kalah cemasnya.

Tasya bahkan sesekali turun ke jalan untuk memastikan kedatangan ayahnya sore itu. Selang beberapa menit kemudian, dari kejauhan tampak mikrolet berwarna biru menuju ke arah mereka. Rendy dan Tasya pun menghembuskan nafas lega. Keduanya saling melempar senyum. Ketika mikrolet biru itu tiba di depan mereka, dengan sigap Tasya membuka pintu depan dan segera naik. Sementara Rendy, seperti biasa duduk di belakang. Mereka bertiga segera pulang menuju ke rumah mereka. Sore itu, senja berselimutkan awan hitam. Tak lama kemudian hujan pun turun.

***
Malam itu, di ruang keluarga yang sederhana, Rendy dan Tasya tampak murung. Sementara Pak Andrew mencoba untuk bersikap tegar di depan kedua anaknya. Rendy dan Tasya akhirnya tahu ternyata keterlambatan ayahnya menjemput mereka tadi sore, disebabkan ia harus berurusan dengan preman. Alhasil handphone butut miliknya raib dibawa kabur sang preman.

“Ayah, kalo gitu pake handphone aku aja dulu, Rendy kan gak penting-penting banget,” ujar Rendy.

“Ah, nggak usah, nanti kalau teman-teman kamu telpon gimana?”

“Nggak apa-apa Ayah, kan aku bisa pinjem punya Tasya nantinya,” ujar Rendy sambil melirik Tasya.

“Iya Ayah, nanti Kak Rendy pake punya aku aja. Lagian kita kan satu kampus, jadi gampang, kan.” Ujar Tasya dengan mata berbinar.

Meskipun jauh di lubuk hatinya ia agak keberatan dengan usul Rendy. Tapi demi ayahnya dia akan rela berkorban. Malam itu keceriaan tampak kembali di ruang keluarga itu. Teh hangat bersama beberapa makanan ringan jadi saksi bisu kebahagiaan mereka. Sebuah keluarga kecil sederhana yang selalu menghargai sebuah kebersamaan.

***
Minggu pagi, usai sholat subuh berjamaah, Rendy dan Tasya segera bersiap-siap ke pasar pagi. Mereka akan membeli jajanan pasar berupa kue-kue untuk selanjutnya dijual kembali di sekitar taman tempat orang-orang berolah raga di pagi hari.

“Ayah, kami berangkat dulu, ya. Oia nanti sebelum berangkat kerja jangan lupa sarapan, aku udah masakin nasi dan lauknya” ujar Tasya sembari mencium tangan ayahnya di ikuti Rendy.

“Iya, kalian berdua hati-hati di jalan. Rendy jaga adik kamu, ya,”

“Siap, Bos.” Kata Rendy mengacungkan jempolnya.

Pak Andrew menatap punggung kedua anaknya. Ada rasa iba bercampur haru menyelimuti hatinya. Kini kedua anaknya tumbuh dewasa tanpa kasih sayang seorang ibu. Kecelakaan tragis yang merenggut nyawa istrinya sepuluh tahun yang silam membuat ia harus membesarkan keduanya sendiri.

Menjadi seorang ayah sekaligus ibu bagi mereka. Beruntunglah kedua anaknya sangat berbakti pada orangtua. Mereka pun sangat mengerti kondisi ayahnya sekarang. Keduanya tak pernah menuntut sesuatu. Yang terpenting bagi Rendy dan Tasya mereka harus fokus pada pendidikan dan membahagiakan ayahnya kelak.

Pak Andrew menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Tepat saat bayangan Rendy dan Tasya hilang di belokan pertigaan gang kecil rumahnya. Ia segera menuju ke meja makan, sarapan dengan lahap dan bersiap kembali pada rutinitasnya sebagai sopir angkot. Kerasnya hidup di kota Jakarta membuat Pak Andrew harus rela menjadi sopir angkot. Pengurangan tenaga kerja di kantor lamanya beberapa tahun lalu, membuat semua berubah.

Di usianya yang sudah tak muda lagi, sulit bagi pak Andrew untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Apalagi ia hanya bermodalkan ijazah SMA. Sementara kini, ia harus membiayai pendidikan kedua anaknya Rendy dan Tasya yang saat ini sudah duduk di bangku kuliah. Beruntunglah Rendy dan Tasya memiliki kecerdasan di atas rata-rata sehingga mendapatkan beasiswa di kampusnya.

***
Pagi itu saat matahari mulai bersinar dengan malu.  Di sebuah taman, keramaian tampak di sana-sini. Keceriaan tampak jelas di wajah-wajah mereka. Seperti biasa, minggu pagi adalah hari yang dipergunakan oleh sebagian warga kota Jakarta untuk berolah raga. Ada yang datang bersama teman-teman, pacar, maupun keluarga. Disalah satu sudut taman, dipandu oleh seorang instruktur, ratusan pengunjung sedang mengikuti senam aerobik. Sementara di sudut-sudut taman yang lain, ada yang sedang bermain sepeda, berlari kecil ada pula yang hanya berjalan santai.

Di bawah sebuah pohon taman, tampak dua orang anak muda yang sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Meskipun mereka menggunakan pakaian olahraga, tapi mereka tidak sedang berolahraga, melainkan sedang menawarkan kue dan minum kepada orang-orang yang melintasinya. Mereka adalah Rendy dan Tasya. Di setiap hari minggu aktivitas ini dilakukannya di taman ini sejak masuk kuliah.

“Kak, gak terasa ya, kita tuh jualan di sini udah tiga tahun, lho,” Kata Tasya sembari melap keringat yang sudah mulai mengaliri wajah cantiknya.

“Iya, ya, Dek. Itu tandanya sebentar lagi kita akan lulus kuliah,”

“yoi, Kak. Aku pengeen banget cepet lulus kuliah, terus kerja. Aku pengen buat ayah bahagia,”

“Makanya kita harus giat belajar, aku pengen ayah di rumah aja setelah nanti kita semua udah kerja.” ujar Rendy sembari merapihkan kue-kue yang sudah hampir habis.

“Iya, Kak. Oia, Kak, aku tuh kasihan sama ayah, gimana kalo kita saranin supaya ayah menikah lagi. Biar ayah tidak kesepian, menurut Kak Rendy gimana?”

“Aku sih maunya juga gitu, biar ayah ada yang nemenin saat kita sedang tidak di rumah,”

“Kalo gitu, ntar malam kita ajak ayah ngobrol soal ini ya.” Ujar Tasya dengan mata berbinar. Rendy tersenyum lalu mengangguk tanda setuju.

***

Pak Andrew terdiam dengan tatapan kosong. Sementara Rendy dan Tasya saling menggengam tangan. Raut wajah cantik Tasya tampak pucat. Rendy pun tegang. Ruang keluarga mereka malam itu hening. Seolah tak berpenghuni. Hanya suara cecak yang saling berkejaran di dinding terdengar sesekali. Sementara dari pos ronda yang tak jauh dari rumah mereka, lamat-lamat terdengar lagu mendayu-dayu.

“Kalian tahu, ide kalian ini membuat ayah sedih. Tak pernah sedikit pun terpikir olehku untuk menikah lagi!” Suara Pak Andrew terdengar berat.

“Maafin kami, Ayah. Bukan bermaksud untuk menyinggung perasaan Ayah, kami hanya ingin melihat Ayah bahagia,” ujar Tasya terbata-bata.

“Bahagia katamu? Tahukah kalian anakku, tak ada kebahagian yang melebihi kebahagiaanku memiliki kalian semua. Dan sampai kapan pun rasanya tak ada yang bisa menggantikan ibumu di hati ayah. Meski kini dia sudah tak bersama kita di sini.”

“Ayah, aku rasa ibu di alam sana akan ikut bahagia jika Ayah pun bahagia,” ujar Rendy.
Pak Andrew menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan.

“Anakku kalian berdua sudah tumbuh dewasa, mungkin inilah saatnya kalian harus tahu sebuah rahasia besar dalam keluarga kita.”  

Pak Andrew bangkit dari kursi lalu berjalan menuju kamarnya. Rendy dan Tasya saling memandang tak mengerti. Tak lama kemudian Pak Andrew kembali dengan sebuah amplop besar di tangannya. Perlahan Pak Andrew mengeluarkan isinya. Selembar kertas yang tampak usang dan sudah dilaminating kini berada di tangannya. Kertas itu kemudian diletakkan di meja sembari ia bangkit berdiri.

“Bacalah surat itu, setelahnya kamu akan tahu segalanya, ayah tak kuasa melihat kesedihan kalian, aku mau ke kamar,” ujar Pak Andrew.

Di sudut mata lelaki tua itu tampak basah. Ia tak ingin terlihat lemah di depan kedua anaknya. Rendy dan Tasya segera membaca surat itu. Kata demi kata yang tertulis di sana membuat air mata keduanya tak terbendung lagi. Air mata mereka mengalir deras. Sangat deras hingga mulut mereka terkunci.

Tak lama berselang Rendy dan Tasya kini telah berada di dalam kamar ayahnya. Memeluk ayahnya dan bersujud mohon maaf atas semua khilaf mereka. Tanpa kata, Pak Andrew mengelus rambut kedua anaknya penuh kasih.

Beginilah isi surat itu :

ANDIN ISTRIKU

SAYANG ...
MAAF AKU MENULIS SURAT INI
INGIN AKU KATAKAN SEMUA INI SAAT MALAM MENJEMPUT
NAMUN MULUTKU TAK MAMPU MENGUCAPKANNYA

KAMU TAHU, KETIKA ENGKAU SEDANG MERPETARUHKAN NYAWA SAAT MELAHIRKAN RENDY ANAK KITA, JIWAKU BERGETAR HEBAT SAAT ITU. RAUT WAJAH CANTIKMU YANG TERBENTUK TAK BERATURAN MEMBUATKU TAHU BETAPA SAKIT YANG KAU RASAKAN.

MELIHAT ITU, MATAKU TERASA HANGAT DAN AIR MATA INI MEMBUNCAH INGIN KELUAR. AKU TIDAK BERSEDIH SAYANG,  ITU TANGIS BAHAGIA. DAN TAK AKAN ADA ALASAN APAPUN UNTUK TIDAK MENCINTAIMU LEBIH DARI CINTAMU PADAKU.

AKU TAHU, PASTI KAMU SEDIH KARENA TAK ADA DARI KELUARGA KITA SATUPUN YANG MENYAKSIKAN KELAHIRAN PUTRA KITA. DEMI CINTAMU PADAKU KAU KORBANKAN KELUARGAMU DAN AGAMAMU UNTUKKU.

INIKAH CINTA SEJATI? AKU TAK TAHU. YANG PASTI LEWAT SURAT INI , AKU BERSUMPAH TAK AKAN PERNAH ADA CINTA MANUSIA YANG AKAN MENEMPATI SETIAP RUANG-RUANG HATIKU SELAIN CINTA UNTUKMU SAYANGKU. HINGGA KITA DIPERTEMUKAN LAGI DI SURGA NANTI.


SEHARI SETELAH KELAHIRAN ANAK PERTAMA KITA…


DARIKU ANDREW SUAMIMU,


Begitulah sepucuk surat yang ditulis Pak Andrew untuk istrinya sehari setelah kelahiran Rendy.
Rendy dan Tasya kini mengerti kedua orang tua mereka memiliki cinta yang begitu dalam. Cinta yang tak dapat tergantikan oleh siapa pun. Dan atas nama cinta pula kini mereka berdua hadir ke dunia dalam sebuah keluarga di sudut kota Jakarta. Sebuah keluarga kecil yang hidup bahagia meski tanpa kasih sayang ibu.


                                                                                  THE END


BEKASI 19 MEI 2012...