Senin, 25 Maret 2013

Gadis Senja di Pantai Palippis



Gadis Senja di Pantai Palippis

Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango


            AKU berlari kecil mengikuti keponakanku Haeder yang sedang asyik berlari bermain ombak. Kupercikkan air padanya, ia pun membalas sambil berlari memutariku. Ia begitu riang, ceria, sesekali menarik tanganku agar mengikutinya melawan ombak yang sedang bergulung ke arah kami. Ah, masa kecil yang mengasikkan, kata hatiku memerhatikannya.
            Semburat senja telah terlihat lelah di ufuk barat. Pertanda malam akan segera tiba. Kuajak Haeder berkemas pulang ke rumah. Semilir angin pantai Palippis menerpa wajahku memberi kesejukan. Enggan rasanya meninggalkan keindahan sore ini. Namun aku mengkhawatirkan Haeder yang masih kecil. Cuaca seperti ini tidak bersahabat bagi anak seumurannya.
            Kami kemudian menyusuri pantai dengan langkah santai. Sabtu sore itu tampak ramai oleh pengunjung. Pantai Palippis memang indah. Pantai ini terletak di Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat. Selain pemandangan pantainya, berjejeran kapal nelayan yang sedang terikat rapih di pinggir pantai, menambah keindahan suasananya. Gunung-gunung dan perbukitan di seberang jalan yang terlihat jelas dari pantai menambah lengkap keindahannya.
Namun pemerintah setempat tampaknya belum mempromosikan dengan baik tempat wisata ini. Terbukti pengunjung yang datang ke sini adalah orang-orang setempat ini saja. Malam harinya aku cepat tidur agar besok bisa bangun pagi dan kembali ke pantai lagi.
***
            Aku kembali menyusuri pantai Palippis. Kumainkan kameraku, mengambil beberapa gambar yang menurutku sangat indah. Aku tak menghiraukan lagi bagian mana harus aku ambil gambarnya, semuanya indah. Nantilah, setelah tiba di rumah, maka aku akan memilih-milih gambar yang sesuai dengan keinginanku.
”Kuraaang ajar!!! Awas kamu ya!”
Tiba-tiba terdengar pekikan seseorang. Aku terperanjat kaget dan berpaling. Kulihat seorang gadis muda berlari ke arahku sembari membawa sebuah golok. Wajahku pucat pasi. Tak ada lagi yang dapat kulakukan selain mengambil langkah seribu.
            Tiba di rumah nenek, aku lansung terduduk lesu di teras rumah. Napasku masih memburu. ”Sial, siapa gadis itu!” umpatku. Aku baru menyadari jika kameraku tertinggal di pantai saat berlari tadi. Kuajak beberapa temanku kembali ke pantai. Tiba di pantai, tak kutemukan lagi kamera itu. Kucari dan kucari. Kutelusuri sepanjang pantai dan tempat di mana tadi aku berlari, tetap saja nihil.
Tapi, bukan soal kamera yang kini bermain di kepalaku. Siapa gadis yang telah mengejarku tadi? Sekilas kulihat wajah cantiknya, tapi matanya, mengisyaratkan kebencian. Tiga jam sudah aku dan teman-temanku mengitari sepanjang pantai dan sekitarnya, tapi tetap saja nihil. Tak kutemukan kameraku. Salah satu temanku lalu menyarankan untuk mencari gadis pembawa golok tadi.
”Mungkin, ia yang mengambilnya,” ujar salah satu temanku. Aku hanya menarik napas. Aku kalut. Ngeri sekali rasanya jika harus bertemu dengan gadis itu lagi. Aku masih mengingat jelas tatapan matanya. Penuh kebencian. Seolah ia ingin menerkamku. Ada ketakutan yang menyelimutiku. Namun aku tak ingin jika teman-teman mengetahui apa yang aku rasakan. Pasti mereka mencibirku, pecundang sekali jika laki-laki takut pada seorang gadis.
”Baiklah teman-teman, karena sudah mulai gelap, besok saja kita lanjutkan mencari kameranya. Mungkin orang yang menemukannya akan kembali ke sini lagi,” ujarku dan kami akhirnya memutuskan pulang.
***
            Senja keesokan harinya aku kembai ke pantai seorang diri. Aku memberanikan diri, karena ada info jika sore itu, adalah jadwal dari kesatuan brimob akan berlatih di pantai. Setidaknya jika gadis yang kuanggap gila itu tiba-tiba datang menyerangku akan minta tolong pada mereka. Aku lalu duduk di atas sebuah batu besar yang menjorok ke pantai. Suasana senja hari itu memamerkan keindahannya.
Kicau burung bersahutan dari belakang pepohonan tempat aku duduk. Lalu ada pelangi yang melintas di atas permukaan laut. Indah sekali. Kuperhatikan dari kejauhan kesatuan Brimob yang sedang berlatih. Sambil sesekali memotret menggunakan ponselku.
”Hai...” tiba-tiba suara seseorang membuatku  terperanjat dan terjatuh.
”Aaaw...sakit!” pekikku menahan rasa sakit. Lenganku tersayat batu dan berdarah. Aku berusaha bangkit. Jantungku terasa mau copot saat kutahu suara itu berasal dari gadis yang waktu itu mengejarku.
”Haaa..Kamu! Sa...saya salah apa?” ujarku ingin segera berlalu dan membalikkan badan.
”Kak Rendy, tunggu!”
Langkahku terhenti. Bukan main kagetnya aku saat ia mengetahui namaku. Aku mencoba menatapnya. Kali ini hatiku berdesir. Sosok yang tampak di depanku adalah gadis yang begitu cantik. Tatapan matanya pun memberi keteduhan. Seolah masih tak percaya, ia gadis yang tadinya begitu menakutkan bagiku berubah menjadi gadis secantik ini.
”Kak Rendy, ini kameranya.”
Ia menyodorkan kamera padaku sambil tersenyum simpul. Tanpa ragu segera kuraih dan memeriksanya. Memastikan tidak ada kerusakan. Benar dugaanku, gadis ini yang menemukannya.
”Eh, Kak! lengannya berdarah tuh.”
Ia kemudian meraih lenganku dan menyeka perlahan darahnya dengan tisu. Aku hanya terdiam. Membisu. Entahlah, mengapa bibirku seolah terkunci. Kutatap lekat wajahnya. Ia begitu lembut. Tutur sapanya halus. Seketika aku begitu terpesona melihatnya.
Bahkan ketika ia berlalu pergi aku hanya termangu. Baru tersadar ketika ia memanggil namaku dari jauh sembari melambaikan tangannya. Aku belum berterima kasih padanya maka kukejar gadis itu.
”Hei, tunggu! terima kasih, ya. Nama kamu siapa?” teriakku sambil berlari kecil menyusulnya.
”Panggil aku, Becce.”
Ia menyebutkan namanya. Namun anehnya, saat kukejar ia pun berlari menjauhiku. Membuatku tertantang mempercepat lari. Tapi tetap saja ia semakin jauh dari hadapanku. Aku berteriak memanggil-manggil namanya.
Hingga akhirnya sayup terdengar suara ibuku sambil menggerak-gerakkan tubuhku. Aku terperanjat kaget dan membuka mata. Ibu tersenyum padaku. Aah...ternyata aku tadi hanya bermimpi. Mimpi burukkah? Tidak juga, karena ada Becce memperindah mimpi itu, gumamku dalam hati. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
”Rendy, kamu mimpi ya, Nak? Tadi ibu kaget saat kamu teriak-teriak memanggil nama seseorang,” ujar ibuku.
”He’e iya kali, Bu,”
”Ayo bangun udah siang, katanya kamu mau ke pantai.”
Ibu menyibak tirai jendela kamarku. Lalu berlalu pergi meninggalkanku yang masih terbaring malas. Sinar matahari pagi menyusup masuk kamar membuat silau. Aku teringat mimpi semalam. Seperti nyata rasanya. Seorang gadis bermata merah, menyembunyikan dendam dan amarah di matanya sambil membawa golok. Ia mengejarku.
Kemudian tiba-tiba ia berubah menjadi gadis yang begitu cantik, mempesonaku. Gadis itu menyebutkan namanya Becce. Sebuah nama khas untuk seorang gadis suku Mandar Sulawesi Barat. Aaah...hanya sebuah mimpi. Tapi mimpi itu begitu panjang. Seperti terdiri dari beberapa episode.
***
            Sore itu aku menuju pantai Palippis dengan bersepeda. Yah, jarak rumah nenek ke pantai memang dekat. Hanya 500 meter di seberang jalan utama. Aku baru dua kali ini liburan ke rumah nenek. Meskipun kedua orangtuaku berasal dari Sulawesi Barat tapi keduanya menetap di Jakarta. Sepeda kuparkir lalu menyusuri pantai sambil sesekali menendang-nendang gundukan pasir kecil yang kutemui. Aku memang begitu takjub dengan keindahan pantai ini.
Pasirnya putih. Jika kita berdiri menghadap ke laut. Akan terbentang laut yang begitu indah. Kapal-kapal nelayan yang hilir mudik menambah indah suasananya. Bahkan menurut keterangan orang sekitar. Pantai di bagian baratnya sekitar 300 kapal nelayan berjejer di sana saat petang. Lalu kuputar badanku menghadap jalan utama. Maka tidak kalah indahnya, pemandangan gunung-gunung di seberang jalan yang menghijau. Pohon-pohonnya tinggi, daunnya lebat.
Di bawahnya ditanami pohon kakao. Buah kakao itulah bahan dasar coklat yang menjadi makanan favorit orang kota. Melihat hijaunya gunung-gunung itu seolah memberi kesejukan di sana. Ehm...semua masih alami. Aku yakin suatu hari nanti jika di kelola dengan baik, kawasan ini akan jadi tempat wisata terkenal di Sulawesi Barat.
            Aku terus berjalan dan membiarkan kakiku tersapu ombak. Besok aku dan keluargaku akan kembali ke Jakarta. Maka kupergunakan kesempatan sore ini untuk mengambil foto sebanyak-banyaknya. Kamera kumainkan. Dalam hati kecilku berharap semoga mimpi semalam itu terjadi hari ini. Andai gadis bernama Becce itu  membawa golok sekali pun aku tidak akan lari. Aku lalu mencari batu tempat aku duduk seperti dalam mimpi itu.
Ahaa.. ternyata batu itu benar ada. Aku segera naik ke atasnya. Spontan  berdo’a dan berharap ada suara gadis itu datang menyapaku. Aku menutup mata. Berkonsentrasi. Tidak ingin melewatkan sedikit pun jika ada suara yang terdengar. Detik demi detik berlalu. Harapan itu sia-sia. Ia tidak datang. Aku menghela napas. ”Bodohnya aku, itu kan hanya mimpi,” hardikku pada diri sendiri. Angin malam mulai terasa meyentuh lembut kulitku.
Matahari senja telah terbenam. Puluhan lampu kapal nelayan telah menghiasi laut di depanku. Aku berdiri. Kufoto sekali lagi pemandangan yang begitu menakjubkan itu. Enggan rasanya meninggalkan pantai ini. Meski ini terdengar bodoh. Meski ini hanyalah sebuah mimpi. Aku merasa telah jatuh cinta, pada gadis yang hadir kala senja di Pantai Palippis yang bernama Becce itu. Yaah.. kusebut ia gadis senja Pantai Palippis. Aku tersenyum, lalu berteriak kencang.

”Becce...di mana pun kamu I love U...” Teriakku. Orang sekitar yang melihat tingkahku hanya tersenyum heran. Aku berlalu pulang ke rumah nenek, untuk mempersiapkan kepulanganku besok ke Jakarta.


THE END












                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       





             
                                                                                                                                                                                   
                                                                                                                                                                         

My lovely



My lovely…

Masih seperti mimpi saat ini semua adalah nyata
Kemarin kita masih sibuk mengeja waktu
Memaknai kebersamaan dalam canda tawa
Hampir terlupa sejak kapan aku berkata cinta
Atau kapan kamu mengucap cinta padaku

My lovely…

Kita sering menikmati senja
Memandang lalu lalang orang
Bercengkarama dengan nyanyian hati
Hati terkadang tak mampu berucap cinta
Bukankah cinta tak mesti terucap

My lovely…

Hingga tiba saatnya kini aku memilihmu
Untuk kujadikan pendamping sepanjang hidup
Menjadi ibu dari anak-anakku
Menjadi istri yang menentramkan hatiku
Dan semoga aku menjadi imam yang baik untukmu

My Lovely...

Izinkanlah aku bersamamu menikmati pagi
Bersamamu mencumbui malam
Bersamamu mengecap rasa dunia
Dalam bahagia dunia dan akhirat…Amin!


Bekasi, 25 Feb 2013