Rabu, 23 Oktober 2013

After Clubbing


(M.Yusuf Sinar Tapango)

Ruang keluarga itu terasa panas sekali. Ada pertengkaran hebat di sana. Di sudut ruangan keluarga di atas sofa, Ibunya Rendy menangkupkan telapak tangan ke wajahnya. Sementara dua orang pria yang berbeda usia telah sekitar dua puluh menit melanjutkan pertikaian tanpa jeda. Rendy dan ayahnya sedang ribut besar. 
“Ayah egois! Tidak  pernah mau mengerti perasaan aku,” Rendy bersuara keras.
“Apa katamu? Seharusnya kamu sadar apa yang ayah lakukan untukmu ini adalah yang terbaik!”
“Terbaik? Itu menurut Ayah, kan? Tidak bagi Rendy.”
Rendy tanpa diliputi rasa berdosa ikut menaikkan oktaf suaranya. Ia akan terus membantah jika ia dipaksa untuk mengikuti kemauan ayahnya. Dengan kemarahan yang masih tersisa Rendy menyeret kakinya ke luar pintu pagar. Rendy tak menghiraukan teriakan ibunya dari dalam rumah. Ia berjalan menyusuri malam yang masih menyisakan rintik hujan.  
Januari kali ini hampir setiap hari turun hujan. Rendy terus berjalan membelah gelapnya malam. Lalu menyetop taxi yang kebetulan lewat saat ia berada di pertigaan jalan. Ia tidak tahu akan ke mana ia pergi melampiaskan amarahnya malam itu.
***
Rendy menyulut rokok putih di bibirnya yang tampak pucat kedinginan. Lalu ia mengembuskan perlahan gumpalan asap putih lewat kedua lubang hidungnya. Dadanya bergemuruh sesak. Wajahnya terlihat pias, meski pantulan cahaya lampu aneka warna bergantian menyorotnya tanpa sengaja. Dalam sebuah club di bilangan Kemang, ia terduduk sendiri. Mencoba memaknai hidupnya lewat hingar bingar dunia malam.
Telah dua jam Rendy terduduk di situ. Dan entah berapa wanita yang coba mendekatinya menawarkan diri untuk duduk bersama. Sekedar untuk berbagi rasa. Atau hanya saling menatap, lalu sesekali melempar senyum nakal yang tak digubrisnya. Rendy memang bukan datang untuk mencari wanita malam. Ia hanya datang menikmati malam. Ingin memanjakan lidahnya dengan mencecapi rasa bir. Atau memanjakan badannya menari di lantai.
“Hei.. ngedance floor yuuk…” suara seseorang membuatnya berpaling. Rendy menatap wanita cantik di sebelahnya. Ia masih tak bergeming. Sesekali tangannya diangkat ke atas dan menggerakkan badannya mengikuti alunan musik yang menghentak.
“Lo sendiri? Kenalin, nama gue Grace,” ia menyebutkan namanya dengan suara keras di telinga Rendy. Tanpa basa-basi ia mengulurkan tangan meraih rokok yang ada di hadapan Rendy. Mengambil sebatang dan menyulut ke bibirnya. Rendy menoleh pada Grace. Wanita ini urakan sekali, pikirnya.
“Gue Rendy…” Grace tertawa kecil.  Agak sinis tertangkap oleh mata Rendy yang sudah mulai meredup akibat alkohol. Rendy tetap kaku. Ia seolah asing dalam keramaian itu. Dan ia tak ingin kesenangannya terusik oleh siapa pun. Termasuk wanita cantik bernama Grace yang sedari tadi menatapnya liar.
DJ Charles mengajak clubbers malam itu berpesta. Sesekali ia menyapa semua pengunjung dengan gayanya yang memukau. Jerit histeris para gadis-gadis ABG pemujanya lansung memenuhi setiap sudut ruangan. Dan hampir semua pengunjung menari meliukkan badan mengikuti alunan musik. Para pemuja dunia malam berkumpul. Berbaur dengan para setan-setan yang menjelma menjadi apa pun malam itu.
Dan entah kapan dimulainya. Rendy sedang menari bersama Grace di dance floor. Ia menggerakkan badan mengikuti irama musik. Sementara Grace membenamkan diri dalam pelukan Rendy yang sudah terbuai oleh bisikan setan. Ia telah lupa pada niat awalnya malam ini. Tak ingin diusik atau terusik oleh wanita mana pun.
Namun kehadiran Grace dengan sikapnya yang urakan. Aroma parfumnya yang menghadirkan hasrat. Serta kecantikan Grace yang hampir sempurna di mata Rendy. Membuat ia tak mampu menolak saat jemari Grace yang begitu halus menuntunnya ke dance floor.
“Gimana Rendy, lo seneng gak malam ini?”
“Iya gue seneng Grace, lo cantik banget.”
“Lo juga ganteng banget, gue suka sama lo,” ujar Grace menggoda Rendy.
Rendy tak menanggapi. Ia hanya tertawa antara sadar dan tidak. Dalam pengaruh alkohol semua wajah pengunjung malam itu tampak samar. Tapi wajah Grace tetap terlihat sangat memukaunya. Cucuran keringat di wajah putih Grace membuat tangan Rendy sigap mengelap dengan jarinya. Malam itu, Rendy seolah menjadikan Grace adalah kekasihnya yang harus dimanja dan selalu dilindungi.
Panggilan sayang dan kemanjaan Grace membuat Rendy benar-benar lupa segalanya malam itu. Selang beberapa jam kemudian Rendy telah berada pada sebuah kamar deluxe. Membenamkan diri di atas kasur yang begitu empuk. Dan ia pun lupa segalanya. Malam itu ia menikmati malamnya bersama Grace.
***
Rendy mengucek matanya yang masih lelah. Tubuhnya terasa lemas. Ia berusaha membuka mata. Memerhatikan seluruh ruangan. Ia pun segera terbangun. Mendapati dirinya dalam sebuah kamar hotel membuatnya panik sekali. Ia bertelanjang dada. Tapi celana jeansnya masih melekat. Lalu ia mencoba mengingat apa yang terjadi padanya. Grace, ia teringat gadis semalam yang bersamanya di sebuah club. Kemana gadis itu? Batin Rendy. Ia segera beranjak dari kasur. Kepalanya masih terasa pusing. Ia sadar semalam mabuk berat.
Rendy melangkah ke wastafel. Membasuh mukanya. Ia masih tak percaya apa yang sedang terjadi. Lalu kembali ia teringat Grace. Tersadarkan oleh sesuatu yang pernah menimpa temannya. Ia merogoh saku celana panjangnya. Rendy panik. Ia mencari di atas meja. Tidak ada. Setiap sudut dan di atas kasur pun tak ada, nihil. Dompet dan handphone raib. Sial! Umpatnya. Grace sudah menipunya. Semua miliknya sudah dibawa kabur gadis itu.
Bahkan arloji pemberian kekasihnya sebagai kado ultahnya pun sudah tidak berada di pergelangan tangannya. Rendy mengepalkan tangan. Ia kalut. Wajahnya semakin tampak pias. Menyesal hanya itu yang kini ada di benaknya. Seharusnya semalam ia  tak perlu melampiaskan kemarahannya dengan clubbing. Tempat yang ia belum pernah datangi sebelumnya. Ini adalah yang pertama dan terakhir, batinnya. Namun yang tak kalah paniknya bagaimana ia menjelaskan pada ke dua orangtuanya.
Dan bagaimana ia harus pulang tanpa uang. Harus menghubungi siapa? Ia hanya menghapal telepon ayah, ibu dan rumahnya. Tapi mana mungkin ia akan menelpon dan memberitahukan keadaanya. Rendy menghela nafas berat. Lalu ia teringat baju kemeja yang masih tergeletak di bawah kursi. Di rogohnya saku itu. Dan ia pun sedikit bisa tersenyum, uang 20 ribuan masih ada di situ. Dengan langkah gontai ia segera ke luar kamar hotel.
Kini yang ada di benaknya hanyalah penyesalan. Kenikmatan sesaat sebagai pelampiasan atas kemarahnnya pada orangtuanya berbuah penyesalan belaka. After clubbing hanya menyisakan kepalanya yang pusing, seluruh badannya terasa remuk, dan uang bahkan handphonenya pun raib. Tapi semua telah terjadi. Rendy berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dan akan pulang ke rumah segera meminta maaf pada ayah dan ibunya.


THE END