Kamis, 28 November 2013

THIS LOVE IS REAL


Oleh : M.yusuf  Putra Sinar  Tapango

Siang itu, di kantin salah satu universitas swasta Jakarta. Waktu menunjukkan pukul 11.50 siang. Erwin tersenyum girang melihat inbox di handphonenya. Bahkan ia nyaris teriak histeris. Kedua sahabatnya Ardi dan Seno berpaling padanya.
“Sob, napa lo? Girang amat sih?”  Tanya Seno dengan mimik datarnya.
“Pokoknya gue seneng banget, malam ini akan jadi malam terindah buat gue, Sob,” ujar Erwin dengan mata berbinar. Ardi penasaran. Ia tahu, tak ada yang membuat Erwin seperti itu selain soal cewek.
“Gue tau banget nih! Pasti roman-romannya cewek, iya kan?” Tanya Ardi.
Perfect! sebagai temen, lo emang paling ngerti dah tentang gue!” Erwin terkekeh.
Seno dan Ardi hanya ikut tertawa. Mereka tahu, sahabatnya yang satu ini adalah cowok playboy kelas kucing jalanan. Tahu, kan, sifat kucing jalanan itu? suka mencuri-curi makanan di meja makan. Nah, seperti itulah Erwin, ia pun suka mencuri-curi nomor handphone cewek dari hanpdhone temannya.
“Entah siapa lagi korban lo kali ini! Insyaf, Sob!” Seno menepuk bahu Erwin sambil tertawa.
“Bukan korban, Sob! Lo jangan salah, this love is real,” ujar Erwin berlalu pamit ke toilet. Seno dan Ardi hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
***
Pukul 7 malam, Erwin mematut dirinya di depan cermin. Wajah tampannya terlihat cerah. Dengan menggunakan kemeja biru berkerah putih, membuat ia tampak sempurna. Celana jeans hitam dipadukannya agar ia tampak elegan. Potongan rambut pendek botak membuatnya semakin tampak macho. Berhidung mancung dan perut yang sedikit buncit membuatnya bangga. Ia selalu menganggap bahwa inilah style cowok metropolitan.
Tiba-tiba handphone Erwin berbunyi. Dengan sigap diraihnya handphone yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Sebuah nomor  muncul di layar itu. Ia pun tersenyum.
“Hallo…Mas Erwin, ya?” Erwin tampak kaget mendengar suara di balik sana.
“Iiiya, iya, aku Erwin, ini siapa?” Tanya Erwin agak ragu.
“Iya, Mas. Ini aku, masa lupa sama nomor handphoneku? Mas, nanti ketemu lansung di Weekend Café aja, ya. Gak usah jemput, nanti aku naik taxi dari rumah. Oke ya, Mas.”
Klik!
Erwin tak sempat menjawab. Untuk beberapa detik ia termangu. Sejak perkenalannya sehari yang lalu via sms, cewek itu tak memperbolehkan Erwin menelponnya. Bahkan ia tak mau memberi tahu namanya. Erwin pun semakin penasaran dibuatnya. Suara dibalik telepon barusan membuat ia ragu. Serak, berat, tidak lembut layaknya suara cewek biasa yang selama ini ia kenal. Bener gak sih dia cewek cantik mirip model itu? Erwin membatin.
Setidaknya, seperti itu yang tertangkap di telinganya. Waktu itu, Erwin menguping perbincangan Seno dan Ardi. Ia tak peduli lagi. Erwin semakin penasaran.  Ia kembali mematut dirinya di depan cermin. Diraihnya sebotol Bulgari Blue Pour Homme di tangannya. Dengan gerakan menyilang, aroma parfum yang sangat  maskulin itu kini membaur dengan wangi tubuhnya.
Tak lama kemudian, Erwin telah melaju bersama Honda Jazz terbarunya. Jalan tol malam itu tampak ramai. Lagu Someone Like You mengalun merdu dari sound system-nya. Sesekali ia ikut bernyanyi. Sementara bibirnya tampak tersenyum. Ia teringat Ardi dan Seno. Erwin merasa menjadi pemenang lagi. Cewek yang menjadi pembahasan diam-diam kedua sahabatnya itu, kini akan bertekuk lutut padanya.
***
Pukul 8.15 malam, mobil Erwin memasuki halaman parkir Weekend Café.  Malam itu pengunjung tidak begitu ramai. Ia menarik napas lega. Berharap kursi sofa yang terletak di sudut café ini masih kosong. Salah satu posisi tempat duduk yang sangat ia sukai. Alasannya jelas, ada kaca mini yang bisa memantulkan wajahnya. Erwin memang termasuk pria yang narsis. Perfectionis tapi licik.
Setibanya di dalam café, matanya tajam memperhatikan seluruh pengunjung. Ia segera menelpon cewek yang akan di temuinya itu. Ups, tidak aktif. Ia menghela napas. Mencoba menguasai emosinya. Berusaha tetap tenang. Erwin segera duduk di  sofa yang terletak di sudut. Segera memesan Weekend Coffe kesukaannya.
Di mana cewek itu? Handphonenya nggak aktif lagi! Batin Erwin. Kemudian ia mengirim pesan singkat, memberitahukan di mana posisi duduknya. Ia memutar matanya memperhatikan seluruh isi ruangan. Terutama pengunjungnya. Malam itu, suasananya tidak terlalu ramai. Hanya beberapa  pasangan muda-mudi yang sedang asyik bercengkarama di meja masing-masing. Sebuah lilin di dalam gelas kaca ukuran mini menghiasi semua meja yang ada.
Pada setiap sudut ruangan, tergantung lampu lampion mungil dengan sinar redup. Di sebelah lampu, bunga mawar aneka warna menghiasinya. Arsitektur café ini menjadikannya salah satu café yang sangat romantis.
Erwin mengeluarkan sebungkus rokok putih dari saku celananya. Menyalakan sebatang  lalu menyulutkan ke bibirnya. Sedetik kemudian lingkaran-lingkaran asap tak beraturan telah dihembuskan dari bibir dan kedua lubang hidungnya. Hatinya masih kalut. Ia tampak gelisah. Diseruputnya segelas Weekend Coffe yang telah terhidang di depannya.
Siluet senyum terkembang di bibir itu. Rasa coffe itu begitu terasa lezat. Ia tak menyadari seseorang telah berdiri di depannya.
“Maaf, Mas Erwin, kan? Sorry telat, sudah lama nunggu ya, Mas?”
“He,e..i iya, kamu?” Erwin tampak kaget dan segera berdiri. Wajahnya tampak pias.
“Kenalkan, aku Sisi, Mas. Boleh duduk?”
Erwin yang masih tampak kaget. Ia segera mempersilahkan cewek yang bernama Sisi itu duduk. Wajahnya seperti tertekuk. Shock. Dadanya bergemuruh kencang. Ia lansung teringat Seno dan Ardi. Ditatapnya lekat-lekat perempuan yang ada di depannya. “Mimpikah dia?” Erwin membatin.
“Mas Erwin kok diem aja? Aku nggak nyangka lho, Mas, ternyata ganteng banget,” Sisi terlihat agresif menggoda.
“Oia, Mbak Sisi beneran seorang model sebuah majalah?” Tanya Erwin cepat. Sisi terkekeh.
“Ah, Mas Erwin, bisa aja. Model apaan? Aku ini baru tiga bulan di Jakarta. Aku kerja di toko baju, Mas,” ujar Sisi tersipu malu. Wajahnya merona merah. Geer tepatnya.
Erwin menghela napas panjang. Kaca di belakang Sisi memantulkan wajahnya yang terlihat murung. Ia seolah masih tak percaya apa yang terjadi padanya. Sisi, perempuan yang di bayangkannya terlihat 180 derajat berbeda. Sisi berperawakan besar, rambutnya dicat kuning dan berombak tak karuan.
Usianya pun terlihat jauh lebih tua darinya. Bergincu merah menyala, dan wajahnya yang biasa saja. Sama sekali bukan tipe wanita pujaan Erwin. “Mana mungkin dia seorang model? Siaaaal, gue tertipu!” Erwin membatin.
Dalam pergulatan batinnya yang semakin berkecamuk. Wajahnya pucat pasi saat dua pasangan muda memasuki café. Erwin sangat mengenali mereka. Seno dan Ardi bersama pacar masing-masing telah berdiri tak jauh darinya. Erwin tak bisa mengelak saat Seno melihatnya. Erwin pun salah tingkah.
“Woy, Sob! Lo ternyata di sini juga. Waaah, ini cewek baru lo, Sob?”  Tanya Seno pada Erwin dengan senyum menggoda.
Ardi dan Seno saling melempar senyum. Erwin semakin tak berdaya. Reputasinya sebagai cowok dengan deretan perempuan cantik yang pernah ditaklukkannya kini terasa hancur.
“Bukan, Mas! Maksud aku, belum jadi pacar! Kenalin, aku Sisi,” dengan pede-nya Sisi memperkenalkan diri. Seno dan Ardi di ikuti pasangan masing-masing menerima uluran tangan Sisi. Sementara Erwin semakin kelimpungan oleh sikap Sisi. Wajah Erwin terlihat memerah.
“Oh, ya, kalo gitu kalian silahkan di lanjutin aja ngedatenya. Seno kita cari meja dulu, yuuuk,” Ardi segera mengajak Seno. Ia tak tahan lagi melihat ekspresri wajah Erwin yang semakin salah tingkah.
Baru beberapa langkah, Erwin segera menyusul teman-temannya. Menarik tangan Seno menjauh. Seno yang diperlakukan seperti itu oleh Erwin hanya menurut. Ia segera mengecek handphone Seno. Tangan jahilnya segera mencari sebuah nama di sana. Dan ia pun lemas. Nomor handphone model sexy yang tertulis di sana beda satu angka terakhir dengan nomor handphone Sisi. Ups, jadi ternyata dia salah orang.” Sial,” gerutunya.
“Makanye, Sob! Jangan suka iseng tuh tangan, lo! Akhirnya kena karma, kan? Tapi seperti kata lo, this love is real! Seno terkekeh. Erwin menelan ludah kegetirannya,
Erwin tak mampu berkata-kata lagi. Ia ingin segera meninggalkan café itu. Dengan alas an urusan mendadak ia segera pamit pada Sisi. Dan melambaikan tangan pada teman-temannya dengan senyum kecut. Ia tak peduli lagi pada tatapan cibiran mereka. Ia ingin segera pulang. Cepat tidur. Berharap kejadian malam ini adalah mimpi buruk yang tak akan pernah terjadi lagi di hari esok.


                                                            The End

Rabu, 23 Oktober 2013

After Clubbing


(M.Yusuf Sinar Tapango)

Ruang keluarga itu terasa panas sekali. Ada pertengkaran hebat di sana. Di sudut ruangan keluarga di atas sofa, Ibunya Rendy menangkupkan telapak tangan ke wajahnya. Sementara dua orang pria yang berbeda usia telah sekitar dua puluh menit melanjutkan pertikaian tanpa jeda. Rendy dan ayahnya sedang ribut besar. 
“Ayah egois! Tidak  pernah mau mengerti perasaan aku,” Rendy bersuara keras.
“Apa katamu? Seharusnya kamu sadar apa yang ayah lakukan untukmu ini adalah yang terbaik!”
“Terbaik? Itu menurut Ayah, kan? Tidak bagi Rendy.”
Rendy tanpa diliputi rasa berdosa ikut menaikkan oktaf suaranya. Ia akan terus membantah jika ia dipaksa untuk mengikuti kemauan ayahnya. Dengan kemarahan yang masih tersisa Rendy menyeret kakinya ke luar pintu pagar. Rendy tak menghiraukan teriakan ibunya dari dalam rumah. Ia berjalan menyusuri malam yang masih menyisakan rintik hujan.  
Januari kali ini hampir setiap hari turun hujan. Rendy terus berjalan membelah gelapnya malam. Lalu menyetop taxi yang kebetulan lewat saat ia berada di pertigaan jalan. Ia tidak tahu akan ke mana ia pergi melampiaskan amarahnya malam itu.
***
Rendy menyulut rokok putih di bibirnya yang tampak pucat kedinginan. Lalu ia mengembuskan perlahan gumpalan asap putih lewat kedua lubang hidungnya. Dadanya bergemuruh sesak. Wajahnya terlihat pias, meski pantulan cahaya lampu aneka warna bergantian menyorotnya tanpa sengaja. Dalam sebuah club di bilangan Kemang, ia terduduk sendiri. Mencoba memaknai hidupnya lewat hingar bingar dunia malam.
Telah dua jam Rendy terduduk di situ. Dan entah berapa wanita yang coba mendekatinya menawarkan diri untuk duduk bersama. Sekedar untuk berbagi rasa. Atau hanya saling menatap, lalu sesekali melempar senyum nakal yang tak digubrisnya. Rendy memang bukan datang untuk mencari wanita malam. Ia hanya datang menikmati malam. Ingin memanjakan lidahnya dengan mencecapi rasa bir. Atau memanjakan badannya menari di lantai.
“Hei.. ngedance floor yuuk…” suara seseorang membuatnya berpaling. Rendy menatap wanita cantik di sebelahnya. Ia masih tak bergeming. Sesekali tangannya diangkat ke atas dan menggerakkan badannya mengikuti alunan musik yang menghentak.
“Lo sendiri? Kenalin, nama gue Grace,” ia menyebutkan namanya dengan suara keras di telinga Rendy. Tanpa basa-basi ia mengulurkan tangan meraih rokok yang ada di hadapan Rendy. Mengambil sebatang dan menyulut ke bibirnya. Rendy menoleh pada Grace. Wanita ini urakan sekali, pikirnya.
“Gue Rendy…” Grace tertawa kecil.  Agak sinis tertangkap oleh mata Rendy yang sudah mulai meredup akibat alkohol. Rendy tetap kaku. Ia seolah asing dalam keramaian itu. Dan ia tak ingin kesenangannya terusik oleh siapa pun. Termasuk wanita cantik bernama Grace yang sedari tadi menatapnya liar.
DJ Charles mengajak clubbers malam itu berpesta. Sesekali ia menyapa semua pengunjung dengan gayanya yang memukau. Jerit histeris para gadis-gadis ABG pemujanya lansung memenuhi setiap sudut ruangan. Dan hampir semua pengunjung menari meliukkan badan mengikuti alunan musik. Para pemuja dunia malam berkumpul. Berbaur dengan para setan-setan yang menjelma menjadi apa pun malam itu.
Dan entah kapan dimulainya. Rendy sedang menari bersama Grace di dance floor. Ia menggerakkan badan mengikuti irama musik. Sementara Grace membenamkan diri dalam pelukan Rendy yang sudah terbuai oleh bisikan setan. Ia telah lupa pada niat awalnya malam ini. Tak ingin diusik atau terusik oleh wanita mana pun.
Namun kehadiran Grace dengan sikapnya yang urakan. Aroma parfumnya yang menghadirkan hasrat. Serta kecantikan Grace yang hampir sempurna di mata Rendy. Membuat ia tak mampu menolak saat jemari Grace yang begitu halus menuntunnya ke dance floor.
“Gimana Rendy, lo seneng gak malam ini?”
“Iya gue seneng Grace, lo cantik banget.”
“Lo juga ganteng banget, gue suka sama lo,” ujar Grace menggoda Rendy.
Rendy tak menanggapi. Ia hanya tertawa antara sadar dan tidak. Dalam pengaruh alkohol semua wajah pengunjung malam itu tampak samar. Tapi wajah Grace tetap terlihat sangat memukaunya. Cucuran keringat di wajah putih Grace membuat tangan Rendy sigap mengelap dengan jarinya. Malam itu, Rendy seolah menjadikan Grace adalah kekasihnya yang harus dimanja dan selalu dilindungi.
Panggilan sayang dan kemanjaan Grace membuat Rendy benar-benar lupa segalanya malam itu. Selang beberapa jam kemudian Rendy telah berada pada sebuah kamar deluxe. Membenamkan diri di atas kasur yang begitu empuk. Dan ia pun lupa segalanya. Malam itu ia menikmati malamnya bersama Grace.
***
Rendy mengucek matanya yang masih lelah. Tubuhnya terasa lemas. Ia berusaha membuka mata. Memerhatikan seluruh ruangan. Ia pun segera terbangun. Mendapati dirinya dalam sebuah kamar hotel membuatnya panik sekali. Ia bertelanjang dada. Tapi celana jeansnya masih melekat. Lalu ia mencoba mengingat apa yang terjadi padanya. Grace, ia teringat gadis semalam yang bersamanya di sebuah club. Kemana gadis itu? Batin Rendy. Ia segera beranjak dari kasur. Kepalanya masih terasa pusing. Ia sadar semalam mabuk berat.
Rendy melangkah ke wastafel. Membasuh mukanya. Ia masih tak percaya apa yang sedang terjadi. Lalu kembali ia teringat Grace. Tersadarkan oleh sesuatu yang pernah menimpa temannya. Ia merogoh saku celana panjangnya. Rendy panik. Ia mencari di atas meja. Tidak ada. Setiap sudut dan di atas kasur pun tak ada, nihil. Dompet dan handphone raib. Sial! Umpatnya. Grace sudah menipunya. Semua miliknya sudah dibawa kabur gadis itu.
Bahkan arloji pemberian kekasihnya sebagai kado ultahnya pun sudah tidak berada di pergelangan tangannya. Rendy mengepalkan tangan. Ia kalut. Wajahnya semakin tampak pias. Menyesal hanya itu yang kini ada di benaknya. Seharusnya semalam ia  tak perlu melampiaskan kemarahannya dengan clubbing. Tempat yang ia belum pernah datangi sebelumnya. Ini adalah yang pertama dan terakhir, batinnya. Namun yang tak kalah paniknya bagaimana ia menjelaskan pada ke dua orangtuanya.
Dan bagaimana ia harus pulang tanpa uang. Harus menghubungi siapa? Ia hanya menghapal telepon ayah, ibu dan rumahnya. Tapi mana mungkin ia akan menelpon dan memberitahukan keadaanya. Rendy menghela nafas berat. Lalu ia teringat baju kemeja yang masih tergeletak di bawah kursi. Di rogohnya saku itu. Dan ia pun sedikit bisa tersenyum, uang 20 ribuan masih ada di situ. Dengan langkah gontai ia segera ke luar kamar hotel.
Kini yang ada di benaknya hanyalah penyesalan. Kenikmatan sesaat sebagai pelampiasan atas kemarahnnya pada orangtuanya berbuah penyesalan belaka. After clubbing hanya menyisakan kepalanya yang pusing, seluruh badannya terasa remuk, dan uang bahkan handphonenya pun raib. Tapi semua telah terjadi. Rendy berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dan akan pulang ke rumah segera meminta maaf pada ayah dan ibunya.


THE END

Sabtu, 07 September 2013

PURNAMA GELAP DI MATA KEYSA





Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango

AKU berteriak histeris hingga suara di  tenggorokanku hampir habis dan berubah serak. Terduduk lesu menekuri lantai yang membiaskan wajah piasku. Entah berapa lama aku terdiam seperti ini dalam kering air mataku. Aku tahu derap langkah kaki yang saling memburu antara pengunjung rumah sakit, suster dan dokter telah beribu-ribu langkah melintasiku. Aku terbius pada puncak penyesalan.
Kini lampu-lampu yang baru semalam menghipnotisku dalam kesenangan surga dunia, berubah menjadi lampu amarah yang datang silih berganti menampar-nampar wajahku.
Mendongak ke atas tanpa kata saat ibu mertuaku memberi isyarat bangkit. Wajahnya murung. Matanya sembab. Ia memberitahuku kalau istri dan putriku Keysa sudah bisa aku temui. Segera kuberlari ke ruang UGD tanpa kata. Tergesa kubuka pintu. Kudapati istri dan putriku dalam balutan perban hampir di seluruh bagian atas tubuhnya. Kutatap mereka dalam derai air mata penyesalanku. Masih terngiang malam sebelumnya.
“Pa, besok pulangnya cepet, ya. Nggak usah lembur. Keysa pengen diajak ke Ancol, tuh! Katanya pengen memandangi bulan purnama di sana,” ujar istriku.
“Iya Papa, Keysa pengen ke pantai. Pasti melihat bulan purnama dari pantai indah bentuknya. Iya kan, Ma?” Keysa menimpali dengan suara manjanya.
Padahal di mana pun melihatnya, bulan itu tetap sama aja bentuknya, gumamku dalam hati. Aku acuh, tak bersemangat mendengarnya.
“Duuuh.. Ma, Keysa sayang, kalau cuman lihat bulan, di balkon lantai dua rumah kita juga bisa kok. Sama aja, kan?”
“Bedaaa Papa… kalo dari pantai katanya lebih besaaar,” ujar Keysa manja, ia memeluk lenganku.
“Sudahlah, papa sibuk, besok perginya sama mama aja. Kalo urusan dah selesai nanti papa nyusul,” ujarku sambil melirik istriku.
“Enggak ah, Keysa pengen Papa ikut nemenin!” ujar Keysa semakin manja.
“Sudah, Sayang, Papa kan sibuk, ntar sama Mama aja perginya. Kalo Papa ntar nyusul ya!” ujar istriku sambil melirikku dengan tatapan protesnya. Kubalas menatapnya dengan senyum datar.
“Ya udah, waktunya bobo. Sini peluk Papa dulu,” Keysa memelukku sangat erat malam itu. Aku tahu ada semburat kecewa dalam tatapan bening matanya.
Aku masih terpaku memandangi silih berganti istri dan putriku. Terduduk pada kursi yang berada di antara dua ranjang, sambil menggengam erat tangan mereka. Sesekali kulirik layar monitor pada grafik dalam garis yang memburu turun naik. Air mataku kering. Rasa bersalah dan penyesalan bertubi-tubi menghampiri membuatku semakin tersudut.
Kuakui dalam beberapa bulan terakhir kebersamaanku dalam keluarga begitu sedikit. Alasan klasik yang terlontar di mulutku selalu sibuk, lembur dan lembur. Pertengkaran demi pertengkaran pun kerap terjadi bahkan menjadi tontonan live  bagi putriku Keysa yang baru ber-usia 7 tahun. “Bodoh! Pecundang! laki-laki tak bertanggung jawab!” Umpatan demi umpatan yang berasal dalam diriku sendiri tak dapat kubendung.
Semakin erat kugenggam tangan mereka. “Ini semua salah mereka! Mereka yang membuatku larut dalam lembah hitam ini!” Gerutuku, mengingat teman-teman kantorku. “Tidaak! Bukan mereka! Tapi kamu Rendy! Kamu yang telah kehilangan keimananmu! Kamu yang salah!” Hardikku kembali pada diri sendiri. Pergulatan batinku membawaku pada kejadian-kejadian yang kulalui.
Alunan musik keras menghentak, membuatku semakin bersemangat menggerakkan tubuhku. Aroma alkohol yang tercium dari mulut teman-teman kantorku, bagai aroma wangi bunga kesturi. Semua terasa menghipnotisku dalam kesenanganku malam itu. Dalam kerjapan mataku yang menyipit karena pengaruh alkohol, kusaksikan kecantikan dan kemolekan tubuh seksi Sisi dan Lely.
Tubuh mereka meliuk-liuk menghadirkan hasrat menggebu-gebu. Andrew dan Anton pun berada diantara mereka. Kami semua adalah teman kantor. Merekalah yang mengenalkanku pada dunia malam. Menjerumuskanku dalam kesenangan sesaat ini. Selalu dengan alasan lembur dan meeting pada istri dan putriku Keysa.
“Gimana Rendy, lo seneng kan malam ini? kayak gini nih, menikmati hidup Sob! Work hard play hard..” bisik Sisi di telingaku penuh manja.
“Iya gue seneng bangeet! Lo semua emang top bangeet dah!”  ujarku bergoyang mengikuti irama  house musik. Suara DJ Heru semakin menambah sorak ramai seluruh pengunjung club malam itu. Bahkan sesekali aku memperagakan keahlian nge-dance-ku. Saat seperti ini aku seolah lupa, bahwa aku telah memiliki istri dan seorang putri yang selalu menunggu kepulanganku dengan setia.
Kebiasaan yang kulakukan bersama teman-teman kantorku ini telah berlangsung hampir tiga bulan. Di setiap menjelang weekend,  tepatnya jumat malam. Malam di mana aku melupakan keinginan putriku untuk hanya menemaninya melihat bulan purnama bersamaku. Malam di mana terjadinya kecelakaan tragis saat istriku dan Keysa menuju ke pantai Ancol tanpaku. Mereka lelah menungguku tak kunjung pulang.
Bahkan dengan sengaja ku non aktifkan handphoneku. Rengekan Keysa memaksa istriku untuk mengantarkannya meski saat itu sudah jam 10 malam. Tepat di mana aku sedang menikmati kesenanganku dalam dentuman musik bersama mereka teman-temanku. Aku kembali menelan air ludah yang terasa pahit mengingat semuanya. Hingga tak terasa aku terlelap di sisi ranjang Keysa dalam kondisi tetap menggengam tangannya.
Kurasakan sebuah sentuhan menjambat rambutku. Aku tersentak kaget dan terbangun. Kulihat istriku menatapku tetap dengan tatapan mesranya. Hatiku pilu. Segera kucium keningnya dan memeluknya.
“Pa, maafin Mama. Semalam tidak berkonsentrasi menyetir mobil,” ujarnya.
Yah Allah, aku semakin merasa bersalah. Dalam kondisi seperti ini pun istriku masih menyalahkan dirinya sendiri.
“Mama maafin papa. Ini semua karena papa. Aku janji tidak akan pernah lagi menyia-nyiakan kalian,” kataku menggengam tangannya.
“Pa, kondisi Keysa bagaimana?” tanya istriku melirik Keysa di ranjang sebelah. Kulihat air matanya meleleh.
“Keysa belum siuman, Ma.” dengan nada terbata-bata aku menjawabnya. Air mataku kembali ikut meleleh.
Tiga hari telah berlalu. Putriku Kesya belum juga siuman. Benturan keras di kepalanya membuatnya hampir geger otak. Bahkan kemungkinan bisa menyebabkan kebutaan. Begitulah penjelasan Dokter Arman dan membuatku shock. Sementara istriku Rara kondisinya sudah agak membaik. Hanya luka retak pada lengan kiri dan ada luka gores di keningnya akibat sayatan kaca depan mobil yang pecah. Namun ia masih terlihat trauma atas kejadian itu. Ia pun harus tetap menjalani perawatan hingga sembuh total.
Kantorku telah memberiku cuti selama  sebulan. Silih berganti teman-teman kantorku datang memberi simpati. Termasuk Sisi, Lely, Anton dan Andrew. Mereka sangat menyesali kejadian ini. Aku pun tak menyalahkan mereka, mereka adalah anak-anak muda yang masih belum berkeluarga, tidak sepertiku. Akulah laki-laki yang tak tahu diri. Hari-hariku kuhabiskan di rumah sakit menemani mereka berdua.
Kulantunkan ayat-ayat suci Al-Quran setiap harinya. Dalam keheningan malam kubersujud tobat meminta pengampunan-Nya. Dalam do’aku hanyalah kesembuhan mereka yang kuharapkan.
“Papa, lihat tangan Keysa bergerak!” pekik Rara istriku saat aku sedang menyuapi sarapan paginya.
“Iya Ma, suster…suster cepat ke sini!” teriakku. Suster segera datang di susul Dokter Arman yang lansung memeriksanya. Kulihat mata Keysa mulai terbuka. Aku tersenyum girang menatap istriku. Keysa memanggil-manggil kata papa dan mama.
“Iya sayang, papa sama mama di sini.” ujarku mengenggam tangannya. Aku tak kuasa dan segera memeluknya.
“Mama juga di sini, Sayang.” ujar istriku sambil berlinangan air mata.
“Mama ini di mana? Kok aku tidak lihat bulan purnama? Kok gelap? Mati lampu ya, Ma?” Tanya putriku Keysa terbata-bata.
Mendengar itu seolah duniaku berputar. Seluruh tubuhku seperti lungai tak berdaya. Keringat dingin menjalari seluruh tubuhku. Hatiku pilu. Begitu pun istriku, ia begitu terpukul mendengar pertanyaan Keysa. Air matanya mengalir deras. Dokter Arman segera menenangkanku, dan menyuruhku bersabar serta ikhlas menerima kenyataan ini. Anakku mengalami kebutaan.
“Papa.. Keysa mau lihat bulan. Papa juga ikut ya. Aku tadi mimpi bertemu bidadari cantik, ia mengajakku pergi ke bulan. Tapi Papa marah dan melarangku pergi,” kata-kata Keysa dengan nada lirih seolah menahan rasa sakit. Aku semakin tak kuasa menahan rasa penyesalan yang berbuah air mata.
“Iya, sayang! Papa pasti ikut. Nanti kalau lampu sudah nyala kita lihat bulan lagi ya,” hiburku seraya menahan kegetiran yang kurasakan di dada. Meski kusadari, kini Purnama gelap di mata Keysa.
“Papa, janji, ya? Mama, juga janji!” pintanya penuh harap.
“Iya sayang kami janji.” ujar kami hampir bersamaan.
Hari demi hari berlalu. Bulan demi bulan berganti. Putriku Keysa menjalani hari-harinya tanpa dapat memandang bulan. enam bulan kemudian Keysa bisa melihat kembali setelah menjalani operasi mata. Sejak saat itu, aku tidak pernah menyia-nyiakan mereka lagi, sesibuk apa pun. Mereka adalah segalanya bagiku. Kuciptakan dan kubuat setiap moment menjadi indah dalam hari-hari dan kebersamaan kami.
Aku menyadari bahwa hari esok hanyalah misteri. Aku semakin mencintai dan menyayangi istri dan putriku Keysa, tak ingin lagi ada penyesalan yang terjadi padaku. Semoga kebahagiaan ini terus tercipta hingga akhir hayatku. Begitulah do’a dan harapanku.


THE END

BIBIR


Oleh: M.Yusuf Putra Sinar Tapango

CERMIN Besar di depannya memantulkan bayangan Rendy sore itu. Sejak tadi ia terus memerhatikan dirinya di depan cermin besar yang diletakkan di sudut kamarnya. Ia memerhatikan hampir seluruh lekuk tubuh telanjang dadanya. Terkadang ia menyungginkan senyum saat melihat kedua otot lengannya yang kekar. Dadanya yang bidang dan otot perutnya yang tak di hampiri lemak.

Namun senyumnya menciut saat melihat bibirnya. Bibirnya yang ranum kehitaman terkadang membuatnya kurang pede. Di dekatkannya wajahnya di cermin itu lagi. Matanya tajam melihat bibirnya. Memerhatikan dengan seksama bentuk dan lekuknya. Sesekali ia mencoba membentuknya dalam berbagai bentuk. Tetap saja ia tak puas. Ia selalu merasa bahwa bentuk bibirnya tak seindah bibir sahabatnya Erwin.

Dibukanya laci meja dan mengeluarkan cermin kecil. Lalu kembali ke depan cermin besar tadi. Memutar badan menyamping ke kanan. Perlahan ia menaruh cermin kecil tadi sejajar dengan bibir bersebelahan arah dengan cermin besar. Dan Segera dicampakkannya cermin kecil itu di atas kasurnya dengan dengusan kecewa.

Sabtu sore itu Rendy duduk di kursi sofa sebuah café mall menghadap ke jalan raya. Diseruputnya hot cappuchino sesekali melirik jam tangan. Jari-jarinya lincah bermain di keyboard laptop mininya. Status facebooknya sore itu: Aku sedang menunggu dia yang begitu mempesonaku karena bibirnya. Rendy sedang menunggu seseorang yang dikenalnya lewat jejaring sosial. Ditatap lekat seorang yang dikaguminya itu. Slide demi slide dibukanya perlahan. Tak henti-hentinya ia tersenyum, sesekali jarinya menyentuh lembut layar monitor tepat di bagian bibir gambar yang sedang dilihatnya.

Kemudian ia kembali membaca menu lain yang menjelaskan tentang bentuk-bentuk bibir dan sifat pemilik bibir dari bentuk A hingga Z. lagi-lagi ia tersenyum. Di bayangkannya seperti apa seorang yang akan menjumpainya sore ini. Handphonenya berdering. Sebuah nama yang ditunggu muncul di layar itu. Ternyata yang meneleponnya telah berdiri tak jauh darinya.

Ia pun segera berdiri. Menjabat tangannya dengan lembut lalu mempersilahkan duduk. Jantungnya berdegup kencang. Menghirup napas pelan, lalu dilepaskan untuk menguasai rasa groginya yang mendadak muncul tiba-tiba. Ia lalu duduk dan memerhatikan seseorang yang sejak tadi ditunggunya. Bahkan ia rela menunggu hampir 30 menit. Sesuatu yang sangat jarang, bahkan tak pernah dilakukan hampir di setiap dating pertamanya. Tapi untuk yang satu ini, terasa sangat spesial baginya.

Rendy menyeruput kembali hot cappuchino-nya. Sesekali matanya menatap tajam pada bentuk bibir yang begitu tampak sempurna di matanya. Ia menatap lekat hingga suara itu menyadarkannya.

“Hei..maaf ya, Ren, dah buat kamu menunggu lama.”

“Ooh nggak apa-apa kok, untuk seorang yang spesial seperti kamu, sepertinya bagiku ini bukanlah hal yang sulit, bukan?” ujar Rendy membuatnya tersenyum simpul. Bibirnya merekah merah.

“Aah, kamu berlebihan. Aku rasa kamu seperti seseorang yang sedang mengutip kalimat orang lain pada sebuah bacaan, hehe…” Rendy sedikit keki mendengarnya. Tapi hatinya mengagumi ketajaman pikirannya. Ia tersenyum. 1 point untuknya, karena sesuai dengan yang diharapkan Rendy. Makin membuatnya penasaran ingin menelanjangi semua tentangnya.

“Ehm, wah hebat, aku suka ketajaman pikiranmu. Tapi tidak ada salahnya aku mengutipnya, kan? Apalagi jika kalimat itu bisa membuat kamu tersenyum semanis ini.” Lagi dan lagi bibir itu terbentuk indah. Kini dengan tawa kecil menyertainya.

“Kalo boleh aku tebak, kamu suka baca bukunya Khalil Gibran? Atau jangan-jangan kalimat seperti ini sudah terekam di otakmu? Ibarat sebuah remot TV kamu tinggal pencet tombol maka gambar yang akan muncul sesuai dengan keinginanmu?”

Tanyanya semakin cerdas penuh selidik. Kaki Rendy di geser sedikit, lalu wajahnya condong ke depan membuat seorang yg dikaguminya itu semakin keki diperlakukan begitu. Hati Rendy berdesir, semakin girang, kadar keyakinannya bertambah 5 %. Lalu dengan tatapan tajam kini pada mata, ia memutar otak untuk berkelit.

“Ooh tentu tidak. Aku memang mengidolakan Khalil Gibran, tapi bukan berarti aku harus seperti dia. Apa di matamu kamu tidak melihat ada sesuatu yang berbeda pada diriku? Atau setidaknya boleh aku tahu kejujuranmu?

“Haa, kejujuran? Tentang apa? Bahkan kita baru bertatap muka lima belas menit,” ujarnya membuat Rendy mengernyitkan kening.

Kini ada gejolak di dalam dadanya. Dengan cekatan  jarinya menekan mouse lalu melirik sejenak tulisan di layar monitor itu. Adakah yang salah, Rendy membatin. Setidaknya, hampir tiga bulan lamanya ia begitu percaya dengan segala yang tertulis di situ. Bahkan 90% penelitiannya selama ini terbukti benar. Tiba-tiba ia ragu. Ia mendehem. Diseruputnya kembali hot cappuchino-nya.

“Maksud aku gini, kalo gak salah, berdasarkan feeling aku, kamu tuh orangnya mudah menilai seseorang hanya dalam waktu pertemuan yang singkat. Terus walaupun kita baru pertama kali ini ketemu, aku dah bisa tahu lewat Facebook, kamu itu seorang yang perhatian, dan jiwa sosial kamu juga tinggi.” Mata Rendy melirik kembali pada layar monitor laptop mininya, berharap kali ini apa yang dikatakanya tidak salah.

“Haaa, kamu ngacoh, ah! Hahaha..” Tiba-tiba ia terkekeh, ”Asal kamu tahu, aku sama sekali nggak seperti yang kamu pikir, aku susah banget lansung bisa menilai orang dalam sekali pertemuan. Bagiku, butuh proses untuk mengenal orang lain. Terus, kamu bilang aku perhatian? Nggak ah, bahkan mantan aku pernah bilang, aku itu orangnya cuek dan nggak perhatian banget. Apalagi kamu bilang berjiwa sosial? Kalo soal yang satu ini iya kali yah, tapi nggak deh,  soalnya kata temen-temenku aku tuh pelit banget!”

Lagi-lagi ia terkekeh. Rendy semakin bingung, wajahnya sedikit merona merah menahan malu. Tiba-tiba ia merasa sangat bodoh. Keyakinanya kini berubah menjadi tidak benar sama sekali. Ia lalu menatap lekat bentuk bibir itu, sejurus kemudian mengamati dengan seksama laptopnya, dipandanginya silih berganti. Membuat si pemilik bibir itu, merasa sedikit ada keanehan pada Rendy.

“Ehm..sama persis kok bentuknya,” ujar Rendy pelan seolah pada dirinya sendiri.

“Maksud kamu apa sih? Apa yang sama?”

“Ehm bentuk bibir kamu sama persis, tapi kok sifat yang seharusnya sama, kutemukan hanya 20% kebenarannya,” ujar Rendy, membuat rasa penasaran dan kebingungannya yang membuncah segera berdiri dan duduk di sebelah Rendy. Ia pun kini mengerti. Di raihnya segera mouse di tangan Rendy.

“Ooh, jadi ini maksud kamu! Jadi sejak tadi keanehan yang aku lihat, kamu seolah menatap lekat bibirku untuk mengetahui sifatku? Begini cara kamu menggoda wanita? Kampungan tahu gak? Dan lihat bentuk bibir ini, sama persis sama bentuk bibirmu, tapi semua sifat yang kamu tunjukkan padaku hanya satu yang benar. Kamu nggak pede! Selebihnya semua salah!”

“Maaf Cindy, aku tidak bermaksud seperti itu, dan…”

“Dan apa? Mau mengelak bahwa cara ini yang kamu pake untuk menggoda wanita incaran kamu? Asal kamu tahu yah, Ren, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Dan betapa bodohnya jika kamu percaya hal-hal yang hanya tulisan orang. Itu hanya akan membuatmu tidak bersyukur dan akan terus membandingkan kelebihan dan kekuranganmu. Dan aku yakin kamu pasti tidak pede dengan bentuk bibirmu, kan? Karena tulisan yang ada di situ, bibir dengan bentuk bibirmu adalah orang yang sering mengalami kegagalan."

"Cindy, sorry...Aku," Rendy tergagap.

"Jujur, aku kecewa dengan pertemuan ini, tadinya aku merasa kamu adalah cowok smart yang kubayangkan, ternyata tidak! Dan coba lihat papan iklan di seberang jalan itu, berapa banyak orang yang memiliki bibir sumbing. Masihkah kamu tidak bersyukur dengan bentuk bibirmu? Sorry rendy, aku pikir ini adalah pertemuan terakhir kita, thank you and good bye,” ujar Cindy berlalu pergi dengan wajah kesalnya. Tapi terlihat sangat cantik dengan bentuk bibir mungilnya itu.

Rendy hanya termangu diam. Ia tak mampu berucap sepatah kata pun, bahkan hingga Cindy pergi meninggalkannya. Ucapan Cindy barusan seolah membuatnya skak mat! Wajahnya merona merah lebih merah dari bekas  tamparan yang pernah dirasakannya. Ia menghela napas mencoba menenangkan diri. Dibacanya kembali artikel itu sekilas, ia hanya tersenyum kecut, mematikan laptopnya dan segera beranjak pergi.

Rendy tak menghiraukan tatapan para pelayan café yang melihat ia ditinggalkan begitu saja oleh Cindy. Ia ingin segera berlalu pulang dan kembali ke kamarnya. Ia berharap cermin besarnya nanti akan memantulkan bentuk bibirnya yang berbeda.

THE END

Senin, 25 Maret 2013

Gadis Senja di Pantai Palippis



Gadis Senja di Pantai Palippis

Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango


            AKU berlari kecil mengikuti keponakanku Haeder yang sedang asyik berlari bermain ombak. Kupercikkan air padanya, ia pun membalas sambil berlari memutariku. Ia begitu riang, ceria, sesekali menarik tanganku agar mengikutinya melawan ombak yang sedang bergulung ke arah kami. Ah, masa kecil yang mengasikkan, kata hatiku memerhatikannya.
            Semburat senja telah terlihat lelah di ufuk barat. Pertanda malam akan segera tiba. Kuajak Haeder berkemas pulang ke rumah. Semilir angin pantai Palippis menerpa wajahku memberi kesejukan. Enggan rasanya meninggalkan keindahan sore ini. Namun aku mengkhawatirkan Haeder yang masih kecil. Cuaca seperti ini tidak bersahabat bagi anak seumurannya.
            Kami kemudian menyusuri pantai dengan langkah santai. Sabtu sore itu tampak ramai oleh pengunjung. Pantai Palippis memang indah. Pantai ini terletak di Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat. Selain pemandangan pantainya, berjejeran kapal nelayan yang sedang terikat rapih di pinggir pantai, menambah keindahan suasananya. Gunung-gunung dan perbukitan di seberang jalan yang terlihat jelas dari pantai menambah lengkap keindahannya.
Namun pemerintah setempat tampaknya belum mempromosikan dengan baik tempat wisata ini. Terbukti pengunjung yang datang ke sini adalah orang-orang setempat ini saja. Malam harinya aku cepat tidur agar besok bisa bangun pagi dan kembali ke pantai lagi.
***
            Aku kembali menyusuri pantai Palippis. Kumainkan kameraku, mengambil beberapa gambar yang menurutku sangat indah. Aku tak menghiraukan lagi bagian mana harus aku ambil gambarnya, semuanya indah. Nantilah, setelah tiba di rumah, maka aku akan memilih-milih gambar yang sesuai dengan keinginanku.
”Kuraaang ajar!!! Awas kamu ya!”
Tiba-tiba terdengar pekikan seseorang. Aku terperanjat kaget dan berpaling. Kulihat seorang gadis muda berlari ke arahku sembari membawa sebuah golok. Wajahku pucat pasi. Tak ada lagi yang dapat kulakukan selain mengambil langkah seribu.
            Tiba di rumah nenek, aku lansung terduduk lesu di teras rumah. Napasku masih memburu. ”Sial, siapa gadis itu!” umpatku. Aku baru menyadari jika kameraku tertinggal di pantai saat berlari tadi. Kuajak beberapa temanku kembali ke pantai. Tiba di pantai, tak kutemukan lagi kamera itu. Kucari dan kucari. Kutelusuri sepanjang pantai dan tempat di mana tadi aku berlari, tetap saja nihil.
Tapi, bukan soal kamera yang kini bermain di kepalaku. Siapa gadis yang telah mengejarku tadi? Sekilas kulihat wajah cantiknya, tapi matanya, mengisyaratkan kebencian. Tiga jam sudah aku dan teman-temanku mengitari sepanjang pantai dan sekitarnya, tapi tetap saja nihil. Tak kutemukan kameraku. Salah satu temanku lalu menyarankan untuk mencari gadis pembawa golok tadi.
”Mungkin, ia yang mengambilnya,” ujar salah satu temanku. Aku hanya menarik napas. Aku kalut. Ngeri sekali rasanya jika harus bertemu dengan gadis itu lagi. Aku masih mengingat jelas tatapan matanya. Penuh kebencian. Seolah ia ingin menerkamku. Ada ketakutan yang menyelimutiku. Namun aku tak ingin jika teman-teman mengetahui apa yang aku rasakan. Pasti mereka mencibirku, pecundang sekali jika laki-laki takut pada seorang gadis.
”Baiklah teman-teman, karena sudah mulai gelap, besok saja kita lanjutkan mencari kameranya. Mungkin orang yang menemukannya akan kembali ke sini lagi,” ujarku dan kami akhirnya memutuskan pulang.
***
            Senja keesokan harinya aku kembai ke pantai seorang diri. Aku memberanikan diri, karena ada info jika sore itu, adalah jadwal dari kesatuan brimob akan berlatih di pantai. Setidaknya jika gadis yang kuanggap gila itu tiba-tiba datang menyerangku akan minta tolong pada mereka. Aku lalu duduk di atas sebuah batu besar yang menjorok ke pantai. Suasana senja hari itu memamerkan keindahannya.
Kicau burung bersahutan dari belakang pepohonan tempat aku duduk. Lalu ada pelangi yang melintas di atas permukaan laut. Indah sekali. Kuperhatikan dari kejauhan kesatuan Brimob yang sedang berlatih. Sambil sesekali memotret menggunakan ponselku.
”Hai...” tiba-tiba suara seseorang membuatku  terperanjat dan terjatuh.
”Aaaw...sakit!” pekikku menahan rasa sakit. Lenganku tersayat batu dan berdarah. Aku berusaha bangkit. Jantungku terasa mau copot saat kutahu suara itu berasal dari gadis yang waktu itu mengejarku.
”Haaa..Kamu! Sa...saya salah apa?” ujarku ingin segera berlalu dan membalikkan badan.
”Kak Rendy, tunggu!”
Langkahku terhenti. Bukan main kagetnya aku saat ia mengetahui namaku. Aku mencoba menatapnya. Kali ini hatiku berdesir. Sosok yang tampak di depanku adalah gadis yang begitu cantik. Tatapan matanya pun memberi keteduhan. Seolah masih tak percaya, ia gadis yang tadinya begitu menakutkan bagiku berubah menjadi gadis secantik ini.
”Kak Rendy, ini kameranya.”
Ia menyodorkan kamera padaku sambil tersenyum simpul. Tanpa ragu segera kuraih dan memeriksanya. Memastikan tidak ada kerusakan. Benar dugaanku, gadis ini yang menemukannya.
”Eh, Kak! lengannya berdarah tuh.”
Ia kemudian meraih lenganku dan menyeka perlahan darahnya dengan tisu. Aku hanya terdiam. Membisu. Entahlah, mengapa bibirku seolah terkunci. Kutatap lekat wajahnya. Ia begitu lembut. Tutur sapanya halus. Seketika aku begitu terpesona melihatnya.
Bahkan ketika ia berlalu pergi aku hanya termangu. Baru tersadar ketika ia memanggil namaku dari jauh sembari melambaikan tangannya. Aku belum berterima kasih padanya maka kukejar gadis itu.
”Hei, tunggu! terima kasih, ya. Nama kamu siapa?” teriakku sambil berlari kecil menyusulnya.
”Panggil aku, Becce.”
Ia menyebutkan namanya. Namun anehnya, saat kukejar ia pun berlari menjauhiku. Membuatku tertantang mempercepat lari. Tapi tetap saja ia semakin jauh dari hadapanku. Aku berteriak memanggil-manggil namanya.
Hingga akhirnya sayup terdengar suara ibuku sambil menggerak-gerakkan tubuhku. Aku terperanjat kaget dan membuka mata. Ibu tersenyum padaku. Aah...ternyata aku tadi hanya bermimpi. Mimpi burukkah? Tidak juga, karena ada Becce memperindah mimpi itu, gumamku dalam hati. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
”Rendy, kamu mimpi ya, Nak? Tadi ibu kaget saat kamu teriak-teriak memanggil nama seseorang,” ujar ibuku.
”He’e iya kali, Bu,”
”Ayo bangun udah siang, katanya kamu mau ke pantai.”
Ibu menyibak tirai jendela kamarku. Lalu berlalu pergi meninggalkanku yang masih terbaring malas. Sinar matahari pagi menyusup masuk kamar membuat silau. Aku teringat mimpi semalam. Seperti nyata rasanya. Seorang gadis bermata merah, menyembunyikan dendam dan amarah di matanya sambil membawa golok. Ia mengejarku.
Kemudian tiba-tiba ia berubah menjadi gadis yang begitu cantik, mempesonaku. Gadis itu menyebutkan namanya Becce. Sebuah nama khas untuk seorang gadis suku Mandar Sulawesi Barat. Aaah...hanya sebuah mimpi. Tapi mimpi itu begitu panjang. Seperti terdiri dari beberapa episode.
***
            Sore itu aku menuju pantai Palippis dengan bersepeda. Yah, jarak rumah nenek ke pantai memang dekat. Hanya 500 meter di seberang jalan utama. Aku baru dua kali ini liburan ke rumah nenek. Meskipun kedua orangtuaku berasal dari Sulawesi Barat tapi keduanya menetap di Jakarta. Sepeda kuparkir lalu menyusuri pantai sambil sesekali menendang-nendang gundukan pasir kecil yang kutemui. Aku memang begitu takjub dengan keindahan pantai ini.
Pasirnya putih. Jika kita berdiri menghadap ke laut. Akan terbentang laut yang begitu indah. Kapal-kapal nelayan yang hilir mudik menambah indah suasananya. Bahkan menurut keterangan orang sekitar. Pantai di bagian baratnya sekitar 300 kapal nelayan berjejer di sana saat petang. Lalu kuputar badanku menghadap jalan utama. Maka tidak kalah indahnya, pemandangan gunung-gunung di seberang jalan yang menghijau. Pohon-pohonnya tinggi, daunnya lebat.
Di bawahnya ditanami pohon kakao. Buah kakao itulah bahan dasar coklat yang menjadi makanan favorit orang kota. Melihat hijaunya gunung-gunung itu seolah memberi kesejukan di sana. Ehm...semua masih alami. Aku yakin suatu hari nanti jika di kelola dengan baik, kawasan ini akan jadi tempat wisata terkenal di Sulawesi Barat.
            Aku terus berjalan dan membiarkan kakiku tersapu ombak. Besok aku dan keluargaku akan kembali ke Jakarta. Maka kupergunakan kesempatan sore ini untuk mengambil foto sebanyak-banyaknya. Kamera kumainkan. Dalam hati kecilku berharap semoga mimpi semalam itu terjadi hari ini. Andai gadis bernama Becce itu  membawa golok sekali pun aku tidak akan lari. Aku lalu mencari batu tempat aku duduk seperti dalam mimpi itu.
Ahaa.. ternyata batu itu benar ada. Aku segera naik ke atasnya. Spontan  berdo’a dan berharap ada suara gadis itu datang menyapaku. Aku menutup mata. Berkonsentrasi. Tidak ingin melewatkan sedikit pun jika ada suara yang terdengar. Detik demi detik berlalu. Harapan itu sia-sia. Ia tidak datang. Aku menghela napas. ”Bodohnya aku, itu kan hanya mimpi,” hardikku pada diri sendiri. Angin malam mulai terasa meyentuh lembut kulitku.
Matahari senja telah terbenam. Puluhan lampu kapal nelayan telah menghiasi laut di depanku. Aku berdiri. Kufoto sekali lagi pemandangan yang begitu menakjubkan itu. Enggan rasanya meninggalkan pantai ini. Meski ini terdengar bodoh. Meski ini hanyalah sebuah mimpi. Aku merasa telah jatuh cinta, pada gadis yang hadir kala senja di Pantai Palippis yang bernama Becce itu. Yaah.. kusebut ia gadis senja Pantai Palippis. Aku tersenyum, lalu berteriak kencang.

”Becce...di mana pun kamu I love U...” Teriakku. Orang sekitar yang melihat tingkahku hanya tersenyum heran. Aku berlalu pulang ke rumah nenek, untuk mempersiapkan kepulanganku besok ke Jakarta.


THE END












                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       





             
                                                                                                                                                                                   
                                                                                                                                                                         

My lovely



My lovely…

Masih seperti mimpi saat ini semua adalah nyata
Kemarin kita masih sibuk mengeja waktu
Memaknai kebersamaan dalam canda tawa
Hampir terlupa sejak kapan aku berkata cinta
Atau kapan kamu mengucap cinta padaku

My lovely…

Kita sering menikmati senja
Memandang lalu lalang orang
Bercengkarama dengan nyanyian hati
Hati terkadang tak mampu berucap cinta
Bukankah cinta tak mesti terucap

My lovely…

Hingga tiba saatnya kini aku memilihmu
Untuk kujadikan pendamping sepanjang hidup
Menjadi ibu dari anak-anakku
Menjadi istri yang menentramkan hatiku
Dan semoga aku menjadi imam yang baik untukmu

My Lovely...

Izinkanlah aku bersamamu menikmati pagi
Bersamamu mencumbui malam
Bersamamu mengecap rasa dunia
Dalam bahagia dunia dan akhirat…Amin!


Bekasi, 25 Feb 2013

Minggu, 06 Januari 2013

Cerita ini aku dedikasikan untuk para sahabat crew RSJ17 khususnya Kukuh Hariyanto


MILANO
(M.Yusuf Putra Sinar Tapango)

                Milano mengitari perlahan ruang kerja yang tidak terlalu besar itu. Ruang yang di desain begitu minimalis. Siapa pun yang berada di dalamnya akan merasa betah. Pada beberapa bagian dinding yang terbuat dari kayu jati itu tergantung puluhan bingkai foto. Foto-foto inilah yang membuat Milano terdiam memandangi satu persatu. Milano yang kini menjadi seorang pesepak bola terkenal. Satu-satunya anak Indonesia yang kini mengharumkan nama bangsa menjadi seorang striker klub sepak bola terkenal di Eropa.
            Ia sedang berada di dalam ruang kerja ayahnya. Pak Kukuh Hariyanto. Seorang ayah yang begitu sangat dibanggakan sekaligus pernah di kecewakan oleh Milano. Mata Milano akhirnya berhenti pada sebuah foto yang membuat air matanya menetes. Dalam sebuah foto, terlihat ibu dan ayahnya sedang menggendong seorang bayi dalam ruang rumah sakit. Dan ia tahu itu adalah dirinya. Pada foto itu ada sebuah tulisan. Milano hadiah terindah dari Tuhan untuk kami.
            “Milano anakku,” suara serak segera membuat Milano tersadar dan segera mengucek matanya.
            “Ayaaah…Happy birthday too you…” Milano segera menabrak dan memeluk ayahnya yang begitu dia rindukan. Hampir enam bulan lamanya Milano baru bisa kembali pulang bertemu keluarganya di Indonesia. Dan ia sengaja tak memberitahukan kepulangannya hari itu pada ayahnya. Itu dilakukan untuk memberinya surprise di hari ulang tahun ayahnya yang ke lima puluh satu.
            “Waah terima kasih anakku! Kamu dan ibumu sengaja mengerjai ayah, ya? Lihat ruangan ini ayah desain sendiri untuk mengingatkanku setiap hari padamu. Foto-foto ini berhasil ayah kumpulkan dari album lama yang ada di gudang belakang. Lihat dirimu sekarang, sudah tumbuh dewasa, ganteng dan terkenal. Kami semua bangga padamu, Nak.”
            “Aku  juga bangga punya Ayah. Oia itu foto itu keren banget, yah. Itu foto ayah waktu muda bersama teman-teman ayah itu, kan? Nama komunitasnya…”
            “RSJ17…ya, itu foto temen-temen ayah. Sahabat-sahabat sejati yang tak pernah terlupakan. Mereka semua sudah bertemu kamu, kan? Dan mereka juga ikut bangga melihat prestasi kamu sekarang,” ujar ayah Milano cepat memotong kalimatnya.
            “Waaah ada yang lagi bernostalgia rupanya,” seru Ibunya Milano dari balik pintu.  Milano lansung memeluk Ibunya dengan manja. Tak lama berselang Keyla adik perempuan Milano yang baru saja pulang kuliah muncul. Segera memeluk Milano dengan manja. Dan ruangan itu pun seketika penuh dengan canda dan tawa bahagia.
***
            Pada malam harinya, di rumah Pak Kukuh suasananya begitu ramai. Selain ada acara syukuran atas ultahnya yang ke-51 juga di adakan acara syukuran menyambut kedatangan Milano. Sejak sore rumah itu ramai oleh tamu yang datang silih berganti. Dari keluarga dekat, sahabat-sahabat Milano, sahabat-sahabat Pak Kukuh juga dari berbagai media turut hadir malam itu. Di ruang keluarga yang cukup besar itu tawa canda memenuhi setiap sudutnya.
            Pak Kukuh bersama istrinya memilih duduk di sudut sofa sambil mendekap mesra istrinya. Mereka membiarkan semua persiapan sibuk dilakukan lansung oleh Milano, Keyla dan dan beberapa sanak keluarga dan sahabat. Untuk kali ini Milano menyuruh ayah dan ibunya untuk duduk manis menonton saja. Sambil menggengam tangan istrinya ia menatapnya penuh cinta. Lalu berpaling menatap kedua anaknya Milano dan Keyla yang sedang asyik bercengkrama dengan para tamu. Pak Kukuh menyeruput kopi di depannya. Sambil tersenyum angannya terbang tinggi. Ia kembali menghadirkan kenangan di masa lalunya. 
            Dua puluh dua tahun yang lalu.  Hari itu Pak Kukuh sedang berada di kamar persalinan. Wajahnya tampak sangat tegang. Apalagi saat ia menyaksikan dengan jelas ketegangan di wajah cantik istrinya. Pak Kukuh menggenggam erat tangan istrinya. Sesekali ia membisikkan kata I love you di telinganya. Memberi ketenangan pada istrinya agar tetap tegar dan kuat. Ya, hari itu adalah hari yang paling dinantikan. Kelahiran anak pertamanya yang menurut dokter ahli kandungannya adalah anak laki-laki.
            Pak Kukuh pun sudah mempersiapkan nama buat anak pertamanya. Milano sebuah nama yang telah dipilih atas kesepakatan bersama istrinya. Akhirnya suara tangisan bayi laki-laki itu pun memenuhi ruangan. Semua tersenyum bahagia. Air mata bahagia tampak terlihat di sudut mata istri Pak Kukuh. Dokter Amanda yang menangani persalinan segera mengucapkan selamat kepada mereka berdua. Setelah penantian mereka selama lima tahun seorang bayi laki-laki yang lucu kini hadir di antara mereka. Kebahagian dan rasa syukur menjalari dada Pak Kukuh hari itu. Ia pun mengumandangkan suara adzan di telinga anknya dengan takzim.
            Hari demi hari berganti. Tahun demi tahun berganti. Milano tumbuh menjadi anak yang cerdas. Di usia tiga tahun Pak Kukuh menemukan bakat Milano. Ternyata putranya sangat menyukai bola. Ia pun suka menemani ayahnya menonton tayangan bola di televisi. Milano bahkan terlihat sangat senang dan sering tertawa saat melihat tayangan itu. Begitu pula saat ia di beri mainan. Milano tak akan mau menerima pemberian seperti mobil-mobilan, robot-robotan apalagi boneka. Tapi jika ia diberi bola maka ia akan terlihat girang sekali.
            Waktu pun begitu cepat berlalu. Usia Milano menginjak lima tahun ketika adik perempuannya lahir. Ia diberi nama Keyla. Maka lengkap sudah kebahagian keluarga kecil itu. Keseharian Milano tak ubahnya seperti anak kecil lainnya. Ia sangat aktif dan cerdas. Apalagi soal pengetahuannya tentang bola. Tak seperti anak lainnya yang suka meonton kartun. Pada ayah dan ibunya ia sering meminta untuk di belikan DVD tentang pertandingan bola. Seperti hari itu.
            “Ayah nanti beliin aku DVD pertandingan sepak bola liga eropa, ya.” ujar Milano ketika Pak Kukuh sedang terlihat bersiap ke kantor pagi itu. Pak Kukuh bekerja di Trans 7. Pagi itu ia akan meliput pertandingan bola di senayan.
            “Iya, tapi ayah pulangnya agak malam nggak apa-apa, kan?”
            “Nggak apa-apa, Ayah. Yang penting jangan lupa bawa, DVDnya!”
            “Oke, seep!” ujar pak Kukuh mengacungkan jempol pada Milano yang sedang terlihat  mempersiapkan buku sekolahnya. Milano saat itu sudah bersekolah di TK yang dekat dari tempat tinggalnya. Milano terlihat mandiri sejak kecil, ia bahkan tak ingin di antar jemput oleh Ibunya ke sekolah. Ia lebih memilih berjalan kaki bersama teman-temannya pergi ke sekolah.

***
Sore menjelang petang itu, Pak Kukuh akan menemui teman-temannya. Pak Kukuh memiliki sahabat-sahabat yang tergabung dalam satu komunitas. RSJ17 begitulah mereka menyebut komunitasnya. Di taman Barito sepulang jam kantor satu persatu teman-teman mereka bermunculan. Derai tawa mereka memenuhi taman itu. Kerap mereka meluangkan waktu sejenak untuk saling silaturahmi. Biasanya, aktivitas yang paling sering dilakukan adalah futsal.
Pak Kukuh bercerita pada teman-temannya tentang anaknya Milano yang sangat menyukai bola. Berbagai tanggapan pun muncul dari mereka.
“Itu biasa kali Bro, namanya juga anak cowok. Kalo anak lo suka maenan boneka, itu lo kudu hati-hati,” ujar Heru  disertai candaan teman-temannya yang lain.
“Heru dulu kecilnya cita-citanye jadi model cover boy! Nah pas gedenya kagak pede jadi dia ganti cita-cita jadi hacker, haha…” ujar Utha yang jahil di sambut tertawa lepas dari semua teman-temannya.
“Mending anak lo di masukin sekolah bola aja, kali aja memang bakat dia di situ, Bro.” ujar Voltus dengan mimik wajah yang selalu penuh senyum. Semua setuju dengan ide Voltus.
“Sekolah bola bukannya mahal, Sob?” ujar Pak Kukuh ragu.
“Ya coba dulu aje, Bang. Pasti ada jalan ke luarnya,” ujar Yesca pasti.
Sejak pertemuan malam itu, Kukuh terus kepikiran tentang sekolah bola. Ia mulai mencari tahu tentang sekolah bola yang ada di Jakarta. Lewat informasi dari teman atau pun searching di internet. Ia juga mendiskusikan masalah ini pada istrinya. Awalnya istrinya tidak terlalu setuju dengan niat Pak Kukuh. Karena ia lebih menginginkan anaknya kelak memilih karir sebagai Dokter atau sebagai karyawan Bank seperti ibunya.
Tetapi Pak Kukuh tetap meyakinkan istrinya. Melihat bakat yang ada pada anaknya istrinya pun luluh dan menyetujui Milano di masukkan ke sekolah bola yang sudah terkenal. Sekolah bola yang dipilih Pak Kukuh tidak tanggung-tanggung. Sekolah itu sudah banyak menelurkan pemain-pemain berbakat yang sekarang sudah banyak menjadi Timnas Indonesia. Bagi Pak Kukuh yang bekerja di stasiun TV tidak sulit baginya untuk mencari informasi dan koneksi.
***
Waktu pun begitu cepat berlalu. Milano yang semakin tumbuh besar dan tinggi menunjukkan bakat yang sangat luar biasa. Di usianya yang ke-17 tahun, ia memiliki tinggi 172 cm. Ia pun terpilih menjadi pemain muda yang direkrut oleh Persija. Permainannya sangat menakjubkan. Dengan tubuh yang proporsional ia dipercaya sebagai striker meskipun masih duduk sebagai cadangan. Usia yang masih muda dan ganteng membuat Milano sangat digandrungi oleh lawan jenisnya.
Sebagai anak yang baru tumbuh remaja, ia pun memiliki hasrat layaknya anak remaja pada umumnya. Inilah awal kegagalan pertamanya yang membuat Pak Kukuh sangat geram.
“Maafin aku, Ayah,” ujar Milano dengan wajah yang tertunduk dalam menatap pada lantai rumahnya. Ia tak sanggup melihat tatapan tajam ayahnya.
“Aku sangat kecewa sama kamu, Milano! Gara-gara kamu pacaran dan terlambat latihan kamu kena skorsing dan tidak boleh ikut bertanding di liga musim ini. Kamu benar-benar tidak disiplin!”
Pak Kukuh sangat geram sore itu. Ia sebenarnya mengerti urusan anak muda. Hanya saja ia tidak ingin anaknya Milano gagal hanya karena urusan cintanya. Ia terlanjur memiliki impian besar melihat putranya berlaga di rumput hijau sebagai pemain inti. Ibunya Milano duduk di sampingnya sambil memeluk dan mengelus rambut Milano. Sementara Keyla memeluk ayahnya agar bersabar dan bisa menahan emosinya. Milano terdiam, hanya air mata yang terlihat mulai menetes di pipinya.
Dan sejak saat itu Milano bertekad tak akan pernah lagi mengecewakan ayahnya. Ia akan membuktikan pada ayahnya dan membuat keluarganya bangga suatu hari nanti. Begitulah tekad yang bergemuruh di dada Milano. Tangannya keras mencengkram kaos bola yang tepat di gambar burung garuda. Dan ia menghadirkan keyakinan di dadanya dan berjanji akan menjadi pemain sepak bola yang dibanggakan Indonesia.
Waktu pun terus bergulir. Milano membuktikan dirinya sebagai pemain sepak bola yang membanggakan. Prestasi luar bisa dan penghargaan sebagai pemain terbaik liga Indonesia di sandangnya. Nama Milano semakin berkibar. Ia pun menjadi Timnas muda sebagai striker terbaik. Banyak klub yang mengincarnya dengan tawaran yang tinggi. Tapi ia bukan pemain yang sombong dan hanya mementingkan materi saja. Sifatnya yang rendah hati dan taat beragama membuatnya tumbuh menjadi pria begitu di idolakan.
Hingga akhirnya puncak prestasi yang diraih Milano dan membanggakan keluarga, bahkan Indonesia, adalah saat dirinya terpilih menjadi pemain di klub Eropa. Milano dipercaya sabagai striker andalan. Di awal musim liga pertamanya di Eropa Milano mampu merebut hati para penonton dengan gol-gol spektakulernya. Ia semakin mendunia. Membanggakan Indonesia yang semakin dikenal di dunia, dan membanggakan rakyat Indonesia yang memiliki seorang Milano.
Milano membanggakan keluarganya yang senantiasa berdoa dan meluangkan waktu melihat pertandingan-pertandingan sepak bolanya. Tak dapat dipungkiri bahwa Pak Kukuh sering menitikkan air mata kebahagiaan saat melihat Milano di televisi. Sebagai ayah ia sudah merasa melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya.
“Ayah…kok melamun aja, sih! Hayuuuk bergabung dengan tamu yang lain. Tuh sahabat-sahabat Ayah juga pada datang, tuh,” ujar Keyla putrinya membuyarkan lamunan masa lalunya.
Pak Kukuh mengucek matanya yang hampir menangis. Ia tersenyum lalu bangkit bersama istrinya. Menghampiri para tamu yang sudah memenuhi ruang tamunya malam itu. Para sahabat-sahabatnya dari RSJ 17 pun hadir bersama keluarga mereka. Pak Kukuh tak henti-hentinya tersenyum kepada semua yang hadir. Di wajahnya yang sudah mulai dihinggapi keriput ia masih menampakkan seorang yang gagah.
“Selamat ulang tahun Ayah…” ujar Milano menarik tangan ayahnya untuk meniup lilin di tengah kue ulang tahun berukuruan jumbo. Dan ruangan itu pun penuh dengan sorak dan tepuk tangan. Ia lalu memotong kue dan diletakkan di atas piring kecil. Pak Kukuh menghampiri istrinya.
I love you sayang…terima kasih kamu sudah menjadi istriku yang sempurna hingga di usiaku yang sudah senja ini,” ujar Pak Kukuh disertai tepuk tangan meriah. Terlihat ada tetesan air mata di sudut mata Milano dan Keyla.
I love you too, Mas…selamat ulang tahun buatmu. Semoga aku selalu bisa menjadi istri terbaik dan Ibu yang baik buat anak-anak kita,” ujar Ibunya Milano sambil mengecup pipi Pak Kukuh.
Satu persatu tamu yang hadir maju ke depan menyalami pak Kukuh. Ruangan keluarga itu terasa sejuk sekali. Ada banyak cinta di sana. Cinta pada keluarga, cinta pada sahabat menyatu dengan malam yang semakin larut. Dan malam itu pun menjadi saksi bisu tentang sebuah cerita yang tak akan pernah aku lupakan. Siapakah aku di sini? Aku ada diantara mereka, sebagai sahabat yang ikut bangga memiliki sahabat yang dikaruniai anak bernama Milano.

THE END