Sabtu, 29 Desember 2012

Valen


 Valen  
Oleh M.yusuf putra sinar tapango

            Aku menyeruput hot coffe untuk menghangatkan tubuh. Dingin. Malam ini hujan turun begitu deras. Hanya switter yang tidak terlalu tebal membungkus tubuh kurusku. Anna dan Glen tampak merapatkan diri di sudut halte. Mereka adalah sahabat yang baru kukenal tiga bulan lalu. Ya, di sudut halte taman ini. Taman tempat kami sering berkumpul. Bercanda ria. Tertawa lepas. Bernyanyi bersama seolah tanpa beban.
            Usiaku hari ini genap enam belas tahun. Kedua temanku itu tidak pernah tahu. Seharusnya, ulang tahunku seperti tahun-tahun kemarin. Tapi, ah, sudahlah. Aku tidak ingin menangis lagi. Toh, percuma menangis. Tidak ada yang peduli dengan air mataku. Dan teman-temanku itu, mereka seolah kehilangan rasa sedih. Ia akan mengolok-olokku jika aku lemah. Seperti awal pertemuan kami, di taman ini.
            “Hei…lo siapa? Kok nangis, sih? Cemen banget, lo!” Seorang cewek yang berdandan seperti seorang cowok menyapaku. Aku tetap tergugu, tak peduli siapa dia. Saat itu, aku hanya bisa menangisi keadaanku.
            “Sudah, jangan nangis, dunia ini tak perlu kita tangisi. Nikmati, biarin ngalir begitu aja!” Timpal seorang cowok teman si cewek tadi. Aku hanya berpaling kesal pada mereka. Siapa sih kalian? Ganggu aja! Aku hanya membatin. Lidahku kelu.
            “Kenalin, gue Anna. Ini temen gue, namanya, Glen,” cewek yang berdandan seperti pria itu mengulurkan tangan padaku.
            “Valen, nama panjangku Valen Claudia Alberto,” aku menyeka airmataku dan menerima uluran tangan Anna.
            “Waaah…nama lo keren banget, kayak artis aja,” cowok yang bernama Glen itu tertawa. Aku hanya tersenyum. Tidak menimpalinya. Glen bertubuh jangkung, rambutnya ala anak punk. Beberapa tindik memenuhi hampir semua daun telinganya. Iiih, sebenarnya aku takut berada diantara mereka. Tapi, melihat mereka tampak ramah, aku jadi sedikit terhibur. Selanjutnya, mereka berdua saling bersenda gurau. Terkadang terlontar kata-kata tak senonoh yang tak biasa aku dengar di lingkunganku.
            Akhirnya, aku menceritakan perihal diriku. Apa yang membuatku menangis sejak tadi. Tapi, tidak semua kuceritakan. Ternyata Anna peduli terhadapku. Ia pun menawariku untuk tinggal di kostannya. Begitulah awal pertemuanku dengan Anna dan Glen. Tanpa terasa kehadiranku diantara mereka sudah tiga bulan.
Hujan mulai reda. Tiba-tiba aku kangen rumah. Kangen sama mama, papa. Ah, mereka lagi ngapain, ya? Apakah mereka saat ini sedang memikirkanku? Tubuhku semakin kurus. Rambutku kubiarkan tergerai panjang. Dan hidupku semakin berantakan. Makanku tak teratur lagi seperti dulu. Tapi aku menikmati hidupku saat ini.
Sekolah sudah kutinggalkan. Bagaimana masa depanku nanti? Terkadang pikiran itu datang. Tapi, aku sudah tidak peduli. Justru kedua sahabatku Anna dan Glenlah yang sering mengingatkanku. Seperti waktu itu, ketika  kami bertiga sedang menikmati sore di sebuah jembatan. Mata kami memandangi jalan tol yang macet.
“Valen…”
“Ya…napa, Glen?”
“Enak kali, ya, jadi anak orang kaya seperti mereka. Ke mana-mana naik mobil, bisa makan enak dan pastinya keluarga mereka bahagia,” ujar Glen. Kali ini Glen tampak serius.
“Gue juga kadang-kadang mikir kayak gitu kali, Glen! Tapi, mungkin jalan hidup lo aja yang kurang beruntung, muka orang susah, hahaha…” Anna terkekeh menggoda Glen.
“Gue? Kita kaleee…” Glen ikut terkekeh. Aku hanya tersenyum. Mereka tidak tahu siapa aku sebenarnya. Keluargaku dan dari mana asalku yang sebenarnya. Tidak semua orang kaya bahagia, Teman. Uang bukanlah segalanya, batinku.
Sejujurnya aku berasal dari keluarga yang sangat berkecukupan. Tinggal di sebuah perumahan elit di kawasan Jakarta Selatan. Aku dua bersaudara. Kak Rendy sedang kuliah di Italia. Di rumah hanya aku, papa, mama dan empat orang pembantu. Papaku memiliki beberapa usaha showroom mobil yang besar. Ia termasuk pengusaha sukses. Mamaku, juga perempuan yang sukses di bisnis kecantikannya. Spa dan beberapa salon yang sudah tidak asing lagi di Indonesia. Tapi aku tidak bahagia dengan semua itu.
***
 Sore itu, di Barito aku memesan segelas kopi hangat pada Pak Kus. Seorang bapak penjaja kopi keliling yang berjualan di sekitar taman ini setiap hari. Pak Kus sering ngobrol setiap ketemu denganku. Ia banyak bercerita tentang masa lalunya. Ternyata, ia juga punya anak perempuan, katanya sih, seumuran denganku. Tapi sayang, anak perempuannya telah meninggal beberapa tahun lalu. Pak Kus tidak punya biaya untuk berobat ke rumah sakit saat anaknya sakit keras. Demam berdarah.
Sewaktu mendengar penuturan Pak Kus, aku jadi sedih mendengarnya. Gimana kalo aku yang berada di posisi anak Pak Kus. Tiba-tiba aku teringat papa dan mama. Aku buru-buru duduk di halte. Menyeka air mataku yang hampir ke luar. Jujur aku rindu rumah. Rindu papa dan mama. Tapi aku tidak bisa melupakan kejadian malam itu.
“Kamu egois! Hanya mementingkan dirimu saja!”
“Haaa? Papa yang egois! Terlalu sibuk, meeting sana-sini. Ternyata Papa selingkuh dengan wanita lain.”
“Mama nggak boleh sembarang menuduh gitu, ya! Itu hanya tuduhan Mama aja, kan? Sebenarnya Mama yang sudah tidak sayang lagi sama papa?!”
“Papa, aku capek kayak gini terus! Mungkin sebaiknya kita cerai,”
“Haaa, oke kalo itu memang maunya, Mama!”
Malam itu sepulang hangout bersama teman-temanku keceriaanku berubah jadi kesedihan. Papa dan mama tak tahu kalau aku menyaksikan pertengkaran mereka. Dan seketika terhenti saat aku berlari ke kamar dan menutup pintu kamarku dengan kencang. Malam itu mataku bengkak gara-gara menangis sepanjang malam. Aku mengabaikan panggilan mama dan papa di luar pintu kamarku.
Hal itulah yang membuat aku sekarang berada di sini. Meninggalkan rumah pikirku lebih baik. Biarkan saja mama dan papa sibuk mencariku. Biar mereka tahu aku butuh kasih sayang mereka. Lagi-lagi kuhapus air mataku yang semakin deras.
“Yeaaaahhh! Valen nangis lagi!” Aku tersentak kaget saat Anna sudah berdiri di sampingku. Buru-buru kusembunyikan wajah di telapak tangan.
“Yeee…siapa yang nangis coba! Mata gue kelilipan nih.”
“Yaelaaa, gak apa-apa kali! Ngaku aje, sih! Kali ini gue gak bakal cengin lo, hehe…”
“Serius, lo?”
“Iyeee, gue serius. Napa lagi, sih?”
“Gue kangen rumah.”
“Ehm…terus, lo mau pulang ke rumah? Mau gue anterin?”
“Bukan, bukan gitu maksud gue! Kangen aja.”
“Ya udah, biar gak sedih mulu kita ke studio Glen aja, yuuuk.”
“Hayuuuk…”
Kami berdua segera meninggalkan taman Barito menuju melawai. Menemui  Glen yang sedang asyik latihan musik bersama teman-temannya. Berjalan tergesa melalui jalan setapak taman. Lalu menaiki anak tangga menuju ke atas pintu gerbang taman. Aku berjalan lebih dulu di depan tanpa memperhatikan sekelilingku. Anna berteriak keras menyebut namaku.
Bruukkk!
Tubuhku serasa melayang. Terbentur dan akhirnya semua gelap.
***
Mataku mengerjap perlahan dan terbuka. Warna putih mendominasi pandangan mataku. Aku merasakan perih di kepala. Aroma obat tercium di hidungku. Pasti aku di rumah sakit, pikirku. Mata kubuka perlahan. Jam dinding di depanku menunjuk pada angka 4 lewat 10 menit. Aku kaget. Papa dan mama sedang menggengam tanganku sambil tertidur. Tiba-tiba aku menangis terisak. Aku yakin mama dan  papa pasti tertidur saat menungguiku. Aku kangen banget sama mereka. Tiba-tiba mama terbangun.
“Valen anakku…Papa, bangun! Anak kita udah siuman,” seru mama sambil menggerakkan tubuh papaku. Papa tersentak kaget dan  terbangun.
“Valen…maafin papa sayang. Papa nggak mau kamu ninggalin kami lagi. Kamu harus cepat sembuh dan sekolah lagi,” ujar papa dengan suara serak.
Papa menangis. Aku tidak pernah melihat papa menangis. Air mataku tiba-tiba mengucur deras di kedua pipi. Aku hanya terdiam. Mengapa kami dipertemukan dalam kondisi seperti ini. Mengapa saat aku harus terbaring lemah mereka hadir. Kemana mereka saat aku butuh kasih sayang mereka. Kemana mereka saat aku harus hidup di jalanan. Dan ternyata aku mendapatkan arti sebuah keluarga dan sahabat di sana. Ah, ke mana Anna. Aku teringat Anna. Ia mendorong tubuhku saat aku hampir tertabrak mobil. Dan sekarang aku terbaring di sini.
“Anna…Anna di mana?” Tanyaku
“Anna temen kamu itu sudah...” jawab mama terbata-bata.
“Anna kenapa, Pa? Mama, Anna di mana?”
“Sayang, kamu harus ikhlas dan sabar, ya. Anna tertabrak mobil saat menyelamatkan kamu. Nyawanya tidak tertolong lagi, Nak. Anna sudah di makamkan tadi siang. Dan kamu baru siuman setelah pingsan sejak kemarin,” ujar Papa.
Aku menjerit histeris. Papa dan mama lansung memelukku. Dadaku bergemuruh sakit. Anna sahabat yang baru kukenal tiga bulan lalu. Ia yang seperti kakak bagiku. Mengorbankan hidupnya untukku. Aku tidak bisa menahan laju air mataku. Anna seperti malaikat bagiku. Ia dikirim oleh Tuhan untuk membuatku menjadi seorang gadis yang tegar. Meski kutahu hidupnya tak seberuntung hidupku. Ia yang membuatku bangkit dan harus menerima kenyataan hidup.
Ia yang tak pernah berhenti untuk menasehatiku agar aku tidak pernah menyentuh alkohol atau pun narkoba sebagai pelarianku. Dan ia yang selalu bilang bahwa papa dan mama pasti sangat menyayangi dan resah akan kepergianku. Dan ia pun tak pernah tahu siapa aku sebenarnya. Begitu banyak hal yang pernah kami lalui bertiga bersama Glen. Banyak canda dan tawa. Ia mengorbankan hidupnya untuk menyelamatkanku. Tuhan mengapa ia harus pergi secepat itu? Mengapa terlalu cepat ia kau panggil, Tuhan?.
***
Aku tergugu pada nisan yang aku taburi bunga. Nama Anna Handoyo terukir jelas di nisan itu. Glen terdiam di sampingku. Ia pun tak dapat menahan laju air matanya. Sementara papa dan mama memandangi kami dari kejauhan. Mama dan papa telah berjanji padaku tak akan lagi ada kata perceraiaan diantara mereka. Aku bahagia mendengar itu. Tapi aku menangis sedih karena Anna tak bisa melihat kebahagiaanku kembali seperti dulu.
“Anna…maafin gue, ya. Terima kasih atas semua kebaikan lo buat gue. Gue udah gak punya kesempatan buat ngebales semuanya. Gue gak akan pernah bisa ngelupain persahabatan kita semua. Gue sama Glen akan selalu datang untuk nemuin lo. Gue tahu, lo pasti ngeliat kita di sini. Kita berdua sayang bangeet ama lo.”
“Iya Anna…semoga lo tenang di sana, ya. Gue pasti selalu ngedoain lo. Maafin gue kalo selama ini ada salah. Pokoknya maafin gue selalu jail ama, lo. Gue, Valen kangen ama, lo.”
Aku semakin tergugu mendegar penuturan Glen. Kami saling berpelukan. Matahari semakin meninggi. Dengan berat hati kami meninggalkan tempat pemakaman Anna. Aku masih tak kuasa menahan kesedihanku. Dalam perjalanan pulang aku hanya terdiam. Begitu pun Glen yang duduk di sampingku. Papa menyetir mobil sesekali melirik ke arah kami. Mama bersenda gurau bersama papa. Tangan mama menggengam erat jemari papa. Aku tersenyum dalam kesedihanku. Aku merasakan cinta papa dan mama yang masih dalam.
Hari demi hari berlalu. Aku kembali ke rumah dan sekolah lagi. Sementara Glen tinggal di rumahku. Ia setiap hari mengantarku ke sekolah sebelum menuju tempat ia bekerja. Papa memberi modal pada Glen untuk membuka toko aksesoris di Blok M Plaza. Ia pun menamai tokonya dengan nama Anna. Setiap sebulan sekali aku dan Gleen mengunjugi makam Anna. Membersihkan dan menaburinya bunga. Dan aku bersama Glen masih sering bersama menghabiskan sore di Taman Barito.
Meski terkadang ada kesedihan saat teringat Anna tapi kami yakin ia sudah bahagia di sana. Dan aku kini bahagia bisa berkumpul kembali bersama papa dan mama. Mereka pun selalu memiliki waktu bersamaku saat aku membutuhkannya. Dan ada Glen menambah suasana rumah menjadi ramai. Terima kasih Tuhan atas semua pelajaran hidup yang kau berikan di usiaku yang masih remaja ini.




THE END







Jumat, 18 Mei 2012

SEBUAH KELUARGA DI SUDUT KOTA JAKARTA


Oleh : M.yusuf Putra Sinar Tapango


Sore itu di sebuah halte bus depan sebuah kampus, Rendy dan Tasya tampak gelisah.

“Tasya, kok ayah belum datang juga, ya?”

“Tau nih, Kak, nggak biasanya ayah telat kayak gini,”

“Padahal aku dah coba hubungin handphonenya, tapi gak aktif,” ujar Rendy dengan wajah cemas.

“Sms aja kali, Kak! Jaringan deh kayaknya, soalnya kan lagi musim hujan.” Kata Tasya tak kalah cemasnya.

Tasya bahkan sesekali turun ke jalan untuk memastikan kedatangan ayahnya sore itu. Selang beberapa menit kemudian, dari kejauhan tampak mikrolet berwarna biru menuju ke arah mereka. Rendy dan Tasya pun menghembuskan nafas lega. Keduanya saling melempar senyum. Ketika mikrolet biru itu tiba di depan mereka, dengan sigap Tasya membuka pintu depan dan segera naik. Sementara Rendy, seperti biasa duduk di belakang. Mereka bertiga segera pulang menuju ke rumah mereka. Sore itu, senja berselimutkan awan hitam. Tak lama kemudian hujan pun turun.

***
Malam itu, di ruang keluarga yang sederhana, Rendy dan Tasya tampak murung. Sementara Pak Andrew mencoba untuk bersikap tegar di depan kedua anaknya. Rendy dan Tasya akhirnya tahu ternyata keterlambatan ayahnya menjemput mereka tadi sore, disebabkan ia harus berurusan dengan preman. Alhasil handphone butut miliknya raib dibawa kabur sang preman.

“Ayah, kalo gitu pake handphone aku aja dulu, Rendy kan gak penting-penting banget,” ujar Rendy.

“Ah, nggak usah, nanti kalau teman-teman kamu telpon gimana?”

“Nggak apa-apa Ayah, kan aku bisa pinjem punya Tasya nantinya,” ujar Rendy sambil melirik Tasya.

“Iya Ayah, nanti Kak Rendy pake punya aku aja. Lagian kita kan satu kampus, jadi gampang, kan.” Ujar Tasya dengan mata berbinar.

Meskipun jauh di lubuk hatinya ia agak keberatan dengan usul Rendy. Tapi demi ayahnya dia akan rela berkorban. Malam itu keceriaan tampak kembali di ruang keluarga itu. Teh hangat bersama beberapa makanan ringan jadi saksi bisu kebahagiaan mereka. Sebuah keluarga kecil sederhana yang selalu menghargai sebuah kebersamaan.

***
Minggu pagi, usai sholat subuh berjamaah, Rendy dan Tasya segera bersiap-siap ke pasar pagi. Mereka akan membeli jajanan pasar berupa kue-kue untuk selanjutnya dijual kembali di sekitar taman tempat orang-orang berolah raga di pagi hari.

“Ayah, kami berangkat dulu, ya. Oia nanti sebelum berangkat kerja jangan lupa sarapan, aku udah masakin nasi dan lauknya” ujar Tasya sembari mencium tangan ayahnya di ikuti Rendy.

“Iya, kalian berdua hati-hati di jalan. Rendy jaga adik kamu, ya,”

“Siap, Bos.” Kata Rendy mengacungkan jempolnya.

Pak Andrew menatap punggung kedua anaknya. Ada rasa iba bercampur haru menyelimuti hatinya. Kini kedua anaknya tumbuh dewasa tanpa kasih sayang seorang ibu. Kecelakaan tragis yang merenggut nyawa istrinya sepuluh tahun yang silam membuat ia harus membesarkan keduanya sendiri.

Menjadi seorang ayah sekaligus ibu bagi mereka. Beruntunglah kedua anaknya sangat berbakti pada orangtua. Mereka pun sangat mengerti kondisi ayahnya sekarang. Keduanya tak pernah menuntut sesuatu. Yang terpenting bagi Rendy dan Tasya mereka harus fokus pada pendidikan dan membahagiakan ayahnya kelak.

Pak Andrew menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Tepat saat bayangan Rendy dan Tasya hilang di belokan pertigaan gang kecil rumahnya. Ia segera menuju ke meja makan, sarapan dengan lahap dan bersiap kembali pada rutinitasnya sebagai sopir angkot. Kerasnya hidup di kota Jakarta membuat Pak Andrew harus rela menjadi sopir angkot. Pengurangan tenaga kerja di kantor lamanya beberapa tahun lalu, membuat semua berubah.

Di usianya yang sudah tak muda lagi, sulit bagi pak Andrew untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Apalagi ia hanya bermodalkan ijazah SMA. Sementara kini, ia harus membiayai pendidikan kedua anaknya Rendy dan Tasya yang saat ini sudah duduk di bangku kuliah. Beruntunglah Rendy dan Tasya memiliki kecerdasan di atas rata-rata sehingga mendapatkan beasiswa di kampusnya.

***
Pagi itu saat matahari mulai bersinar dengan malu.  Di sebuah taman, keramaian tampak di sana-sini. Keceriaan tampak jelas di wajah-wajah mereka. Seperti biasa, minggu pagi adalah hari yang dipergunakan oleh sebagian warga kota Jakarta untuk berolah raga. Ada yang datang bersama teman-teman, pacar, maupun keluarga. Disalah satu sudut taman, dipandu oleh seorang instruktur, ratusan pengunjung sedang mengikuti senam aerobik. Sementara di sudut-sudut taman yang lain, ada yang sedang bermain sepeda, berlari kecil ada pula yang hanya berjalan santai.

Di bawah sebuah pohon taman, tampak dua orang anak muda yang sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Meskipun mereka menggunakan pakaian olahraga, tapi mereka tidak sedang berolahraga, melainkan sedang menawarkan kue dan minum kepada orang-orang yang melintasinya. Mereka adalah Rendy dan Tasya. Di setiap hari minggu aktivitas ini dilakukannya di taman ini sejak masuk kuliah.

“Kak, gak terasa ya, kita tuh jualan di sini udah tiga tahun, lho,” Kata Tasya sembari melap keringat yang sudah mulai mengaliri wajah cantiknya.

“Iya, ya, Dek. Itu tandanya sebentar lagi kita akan lulus kuliah,”

“yoi, Kak. Aku pengeen banget cepet lulus kuliah, terus kerja. Aku pengen buat ayah bahagia,”

“Makanya kita harus giat belajar, aku pengen ayah di rumah aja setelah nanti kita semua udah kerja.” ujar Rendy sembari merapihkan kue-kue yang sudah hampir habis.

“Iya, Kak. Oia, Kak, aku tuh kasihan sama ayah, gimana kalo kita saranin supaya ayah menikah lagi. Biar ayah tidak kesepian, menurut Kak Rendy gimana?”

“Aku sih maunya juga gitu, biar ayah ada yang nemenin saat kita sedang tidak di rumah,”

“Kalo gitu, ntar malam kita ajak ayah ngobrol soal ini ya.” Ujar Tasya dengan mata berbinar. Rendy tersenyum lalu mengangguk tanda setuju.

***

Pak Andrew terdiam dengan tatapan kosong. Sementara Rendy dan Tasya saling menggengam tangan. Raut wajah cantik Tasya tampak pucat. Rendy pun tegang. Ruang keluarga mereka malam itu hening. Seolah tak berpenghuni. Hanya suara cecak yang saling berkejaran di dinding terdengar sesekali. Sementara dari pos ronda yang tak jauh dari rumah mereka, lamat-lamat terdengar lagu mendayu-dayu.

“Kalian tahu, ide kalian ini membuat ayah sedih. Tak pernah sedikit pun terpikir olehku untuk menikah lagi!” Suara Pak Andrew terdengar berat.

“Maafin kami, Ayah. Bukan bermaksud untuk menyinggung perasaan Ayah, kami hanya ingin melihat Ayah bahagia,” ujar Tasya terbata-bata.

“Bahagia katamu? Tahukah kalian anakku, tak ada kebahagian yang melebihi kebahagiaanku memiliki kalian semua. Dan sampai kapan pun rasanya tak ada yang bisa menggantikan ibumu di hati ayah. Meski kini dia sudah tak bersama kita di sini.”

“Ayah, aku rasa ibu di alam sana akan ikut bahagia jika Ayah pun bahagia,” ujar Rendy.
Pak Andrew menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan.

“Anakku kalian berdua sudah tumbuh dewasa, mungkin inilah saatnya kalian harus tahu sebuah rahasia besar dalam keluarga kita.”  

Pak Andrew bangkit dari kursi lalu berjalan menuju kamarnya. Rendy dan Tasya saling memandang tak mengerti. Tak lama kemudian Pak Andrew kembali dengan sebuah amplop besar di tangannya. Perlahan Pak Andrew mengeluarkan isinya. Selembar kertas yang tampak usang dan sudah dilaminating kini berada di tangannya. Kertas itu kemudian diletakkan di meja sembari ia bangkit berdiri.

“Bacalah surat itu, setelahnya kamu akan tahu segalanya, ayah tak kuasa melihat kesedihan kalian, aku mau ke kamar,” ujar Pak Andrew.

Di sudut mata lelaki tua itu tampak basah. Ia tak ingin terlihat lemah di depan kedua anaknya. Rendy dan Tasya segera membaca surat itu. Kata demi kata yang tertulis di sana membuat air mata keduanya tak terbendung lagi. Air mata mereka mengalir deras. Sangat deras hingga mulut mereka terkunci.

Tak lama berselang Rendy dan Tasya kini telah berada di dalam kamar ayahnya. Memeluk ayahnya dan bersujud mohon maaf atas semua khilaf mereka. Tanpa kata, Pak Andrew mengelus rambut kedua anaknya penuh kasih.

Beginilah isi surat itu :

ANDIN ISTRIKU

SAYANG ...
MAAF AKU MENULIS SURAT INI
INGIN AKU KATAKAN SEMUA INI SAAT MALAM MENJEMPUT
NAMUN MULUTKU TAK MAMPU MENGUCAPKANNYA

KAMU TAHU, KETIKA ENGKAU SEDANG MERPETARUHKAN NYAWA SAAT MELAHIRKAN RENDY ANAK KITA, JIWAKU BERGETAR HEBAT SAAT ITU. RAUT WAJAH CANTIKMU YANG TERBENTUK TAK BERATURAN MEMBUATKU TAHU BETAPA SAKIT YANG KAU RASAKAN.

MELIHAT ITU, MATAKU TERASA HANGAT DAN AIR MATA INI MEMBUNCAH INGIN KELUAR. AKU TIDAK BERSEDIH SAYANG,  ITU TANGIS BAHAGIA. DAN TAK AKAN ADA ALASAN APAPUN UNTUK TIDAK MENCINTAIMU LEBIH DARI CINTAMU PADAKU.

AKU TAHU, PASTI KAMU SEDIH KARENA TAK ADA DARI KELUARGA KITA SATUPUN YANG MENYAKSIKAN KELAHIRAN PUTRA KITA. DEMI CINTAMU PADAKU KAU KORBANKAN KELUARGAMU DAN AGAMAMU UNTUKKU.

INIKAH CINTA SEJATI? AKU TAK TAHU. YANG PASTI LEWAT SURAT INI , AKU BERSUMPAH TAK AKAN PERNAH ADA CINTA MANUSIA YANG AKAN MENEMPATI SETIAP RUANG-RUANG HATIKU SELAIN CINTA UNTUKMU SAYANGKU. HINGGA KITA DIPERTEMUKAN LAGI DI SURGA NANTI.


SEHARI SETELAH KELAHIRAN ANAK PERTAMA KITA…


DARIKU ANDREW SUAMIMU,


Begitulah sepucuk surat yang ditulis Pak Andrew untuk istrinya sehari setelah kelahiran Rendy.
Rendy dan Tasya kini mengerti kedua orang tua mereka memiliki cinta yang begitu dalam. Cinta yang tak dapat tergantikan oleh siapa pun. Dan atas nama cinta pula kini mereka berdua hadir ke dunia dalam sebuah keluarga di sudut kota Jakarta. Sebuah keluarga kecil yang hidup bahagia meski tanpa kasih sayang ibu.


                                                                                  THE END


BEKASI 19 MEI 2012...

Rabu, 08 Februari 2012

BIOLAKU DAN LAGU INDAH UNTUK NENEK





Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango

SELESAI meeting proyek bersama, aku mengajak Yani sahabatku  menuju lantai atas gedung kantorku. Kuajak Yani berdiri di tepi gedung. Angin yang berhembus kencang di atas gedung sore itu mempermainkan rambut kami. Namun kami menikmatinya. Sambil bersenda gurau seperti biasa, kami terdiam memandangi jembatan layang tepat di seberang gedung kantor ini. Kuambil biolaku lalu memainkan sebuah lagu kenangan kami. Pikiranku melayang jauh mengenang masa lalu.
***
Siang itu aku berangkat sekolah seperti biasa. Tiba-tiba kulihat seorang nenek yang sedang kebingungan, sepertinya ingin menyeberang jalan. Aku kemudian menghampirinya.
“Nek mau kemana? Sini biar saya  bantu nyebrang.”
“Eh iya cu’, tolong pegang tangan nenek. Nenek mau pulang kerumah tapi lupa jalannya kemana.” Aku memegang erat tangan si nenek. Kuperkirakan usianya sekitar 60an. Badannya tinggi, berkulit putih. Tiba di seberang jalan ia hanya terdiam, membuatku bingung.
”Nek, sekarang mau kemana?”
”Ndak tau cu’ nenek mau pulang kerumah tapi lupa.”
”Nenek benar-benar lupa alamat rumahnya di mana? Atau paling tidak daerah mana?”
”Ndak tau cu’..nenek tadi kesasar. Maaf nenek jadi merepotkan. Kamu mau kemana?”
”Nenek nggak ngerepotin kok. Saya mau sekolah nek, deket dari sini .”
”Ooh...yah sudah sekolah dulu sana, ndak usah ngurusin nenek. Biar nenek di sini aja dulu di bawah jembatan layang ini”. Kata si nenek  dengan suara berat berdialek jawa.

Aku pun dengan berat hati pamit dan meninggalkannya.  Langkah demi langkah menuju sekolah, hatiku gundah. Wajah nenek itu bermain di kepalaku. Aku berhenti, dan menoleh kembali ke arah jembatan. Lalu berlari kembali ke sana. Kulihat nenek tadi bersandar di dinding jembatan sembari mencoba memejamkan matanya. Aku menghampirinya.

”Nek, kita ketempat saya aja yah. Nanti nenek istirahat di sana dulu. Kalau udah inget rumahnya, baru saya anterin pulang.” Kataku.
Tanpa kata nenek itu mengangguk. Aku tersenyum dan mengajaknya ke tempat tinggalku. Tiba di depan gubuk mungil yang kubuat dari kardus-kardus bekas itu nenek berhenti sejenak.
”Kamu tinggal di sini? Sama siapa?”
”Iya nek, saya sendiri tapi banyak juga yang tinggal di sini, mereka yang senasib denganku. Kataku sambil menunjuk semua gubuk yang terbuat dari kardus bekas dan papan yang terlihat bolong di sana-sini.

Aku kemudian mengajak nenek masuk. Ruangan yang kubuat dari kardus-kardus bekas itu berukuruan 4x4. Aku menata rapih ruangan itu. Ada lemari kecil untuk buku yang kubuat sendiri dari kayu bekas yang kutemukan di pinggir jalan. Sementara baju-baju kutempatkan di dalam kardus. Ada kasur kecil di dalamnya, pemberian seorang teman yang waktu itu mau berpindah tempat. Kubersihkan segera kasur kumal itu dan mempersilahkan nenek untuk rebahan di sana.

”Nek, istirahat di sini dulu. Tunggu sebentar ya.” Aku ke luar menuju pedagang asongan membeli sebotol minuman dan sebungkus roti.
”Nek ini minuman dan rotinya, saya mau sekolah dulu. Disini nenek aman kok, saya udah bilang sama temen-temen sekitar sini tolong jagain nenek.”
”Iya cu’...terima kasih, nama kamu siapa? Kamu sekolahnya yang rajin, supaya pintar biar  nanti jadi orang hebat.”
”Amin... makasih yah nek doanya. Nama saya Rendy,  berangkat dulu ya, Nek. Assalamu alaikum..”
”Walaikum salam..” Aku segera berlalu. Karena takut telat, aku setengah berlari menuju sekolah yang berjarak 500 meter dari gubuk kecilku.
***
Sore itu sepulang jam sekolah, aku kembali setengah berlari menuju jembatan. Aku khawatir pada nenek yang baru aku kenal tadi. Berharap semoga ia sudah mengingat rumahnya dan segera mengantarnya pulang.

”Assalamu alaikum.., nenek sudah bangun? Kok melamun?” Sapaku padanya saat melihat nenek seperti sedang mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.
”Walaikum salam, Rendy sudah pulang sekolah? Ini nenek lagi nyari-nyari KTP di tas nenek, nah ini dia...”
”Mana Nek, coba saya lihat.”

Aku kemudian membaca alamat KTP yang tertulis di situ. Namanya Widuri. Tapi aku sedikit kaget karena alamat yang tertulis di situ Jawa Timur. Kulihat fotonya, memang wajah nenek persis sama yang ada di KTP.

”Nek, ini benar KTPnya? rumah nenek jauh banget, Jawa Timur, ini Jakarta, Nek. Bagaimana caranya kok tiba-tiba nenek bisa sampai di sini?” Tanyaku resah, mana mungkin aku bisa mengantar nenek pulang ke rumahnya.
”Iya nenek juga lupa..” Ujar nenek lirih. Ada kesedihan terpancar jelas dari raut mukanya.
”Ya udah, pokoknya nenek di sini dulu aja. Besok kita pikirin lagi ya.” Kataku sambil tersenyum.

Aku kasihan sama nenek Widuri, pastilah keluarganya sekarang sedang kebingungan mencarinya. Kunyalakan lentera, meski tidak begitu terang tapi cukup untuk menerangi ruangan. Aku pamit pada nenek untuk membelikannya makan malam. Kurogoh saku celanaku untuk mencari sisa-sisa receh hasil mengamen pagi tadi. Syukurlah, masih ada enam ribu lima ratus rupiah. Setidaknya aku bisa membeli sebungkus nasi uduk seharga lima ribu untuk nenek dan sisanya kubelikan roti untukku.
***
Aku terbangun ketika mendengar ada suara yang memanggil namaku dari luar. Aku tahu, itu suara Yani sahabatku. Ternyata aku tertidur pulas setelah menngobrol lama sama nenek semalam. Kulirik nenek Widuri yang masih tampak pulas. Aku menghela nafas dan iba melihatnya. Tiba-tiba aku seperti sangat dekat dengannya. Aku ke luar perlahan menemui Yani.

”Rendy, kok lo tumben baru bangun jam segini?” Tanya Yani sambil menepuk pundakku.
Sorry gue ketiduran, semalem abies ngobrol panjang lebar ma Nenek Widuri”  Ujarku sambil mengusap mataku yang masih agak ngantuk.
”Nenek Widuri?” Tanya Yani bingung.
”Eh iya, tar gue ceritain. Sini liat!” Aku menarik tangan Yani dan menyibak pintu gubuk kardusku. Ia agak terkejut melihat seorang nenek yang tertidur pulas.
”Rendy siapa nenek itu? kok bisa ada di sini?” Tanya Yani lagi.

Akhirnya kuceritakan padanya tentang nenek Widuri. Ia hanya manggut-manggut mendengar ceritaku, ia pun merasa prihatin pada si nenek. Aku lalu meminjam uang Yani untuk membeli sarapan buat nenek. Setelah sarapan buat nenek aku taruh, lalu kutulis pesan pada selembar kertas dan kuletakkan di samping kasur. Kami berdua bergegas menuju ke halte untuk menunaikan tugas kami pagi itu. Yah..tugas seorang pengamen jalanan yang harus berjuang keras demi hidup dan sebuah cita-cita.

Ketika bus jurusan Pulo Gadung – Blok M berhenti, kami dengan sigap melompat dan berdesakan dengan para penumpang yang memang padat setiap harinya. Dalam kepadatan penumpang bus pagi itu, suara biolaku mengalun merdu. Sementara suara Yani tak kalah hebatnya mengikuti irama biolaku. Suara Yani memang bagus, ia pun mampu menguasai nada-nada yang tinggi.

Lagu-lagu Rossa yang di lantunkannya menghipnotis semua penumpang yang ada. Entah karena mereka memuji kecantikan Yani atau suaranya yang memang bagus. Tapi kuakui jika sahabatku yang satu ini memiliki keduanya. Entahlah pagi itu aku begitu bersemangat memainkan biolaku. Mungkin dari hati kecilku berharap agar dapat uang receh lebih, karena kini ada nenek Widuri bersamaku.

Kami berduet menyanyikan lagu dari Bunga Citra Lestari feat Christian Bautista yang berjudul TETAPLAH DI HATIKU;

kekasihku sayangku ku ingin kau tahu
hati ini kan selalu menantikan cintamu
kaulah yang pertama yang memberi arti cinta
tuk selamanya tetap di hatiku
ingin memelukmu mendekap hangat cintamu
tuk selamanya tetaplah di hatiku…..

Suara biolaku mengalun indah, kupejamkan mata agar aku terbawa emosi saat memainkan nada-nadanya. Kami saling melempar senyum saat menyanyikan lagu ini. Tak terduga setelah kami selesai bernyanyi, hampir seluruh penumpang bus pagi itu memberikan tepuk tangan untuk kami. Setelah ucapan terima kasih dan seperti biasa kulakukan tugasku. Kuambil plastik permen dari saku celana dan menyodorkan kepada penumpang bus dari depan hingga ke belakang.

Aku dan Yani sangat senang hari itu. Sambil berlari kecil, kami saling kejar-kejaran menuju kolong jembatan. Tak lupa aku membeli makanan untuk Nenek Widuri. Tiba di depan gubuk kecilku, terlihat pintunya sedikit terbuka . Aku melongo ke dalam dan kulihat nenek sedang membetulkan sesuatu. Melihat kedatanganku bersama Yani, ia tersenyum. Aku lalu mengenalkan Yani pada nenek Widuri. Kulihat ada sebuah lentera mungil yang tergantung di tiang kayu.

”Nek, itu punya siapa?” Tanyaku heran
”Tadi ada orang yang lewat sini terus ngasih lentera ini ke nenek,”
”Oh ya, baik sekali orang itu nek. Alhamdulillah...horeee,  aku bisa belajar dengan lentera yang terang.” Kataku girang.

Nenek dan Yani ikut tersenyum senang melihatku. Kami bertiga lalu menyantap makanan yang aku beli di warteg tadi. Sambil bersenda gurau, banyak hal yang kami bicarakan siang itu. Seolah melupakan tentang asal usul Nenek Widuri yang masih misterius. Yani segera pamit pulang ke rumah ketika ada telepon dari Ayahnya. Nenek memperhatikan aku yang sedang mengemasi buku-buku yang akan kubawa  ke sekolah.

”Rendy, kamu setiap hari ngamen sama teman kamu Yani tadi?”
”Iya nek, Yani itu baik. Suaranya juga bagus. Dia selalu menemaniku ngamen. Aku bisa sekolah berkat orang tua Yani, Nek.”
”Oh ya, kok bisa?” Tanya nenek padaku.

Aku lalu menceritakan awal pertemuanku dengan Yani saat meninggalkan panti asuhan. Alis nenek terangkat, sesekali menghela nafas yang berat. Ia seperti menyelami kisahku. Kulihat semburat kesedihan di wajahnya yang menyisakan kecantikan di masa muda. Nenek Widuri sepertinya dari kalangan orang kaya, raut wajahnya memancarkan itu. Pakaian yang di kenakannya pun sepertinya mahal.

Tapi itu tidak penting lagi bagiku. Yang pasti nenek Widuri sekarang bersamaku dan aku senang bersamanya. Nenek Widuri pun bukan nenek biasa. Ia jenius dan berwawasan luas. Malam sebelumnya ketika aku mengerjakan PR-ku, ia malah banyak mengajariku. Aku hanya tersenyum, makin bingung dibuatnya. Dalam hati kecilku terus bertanya siapa dia.
Mendengar semua penuturan tentang pertemuanku dengan Yani,  hingga bisa sekolah, dan menjalani hari-hariku di kolong jembatan, membuatnya menitikkan air mata. Aku  tersenyum dan menyeka air matanya.

”Nek, kenapa menangis. Maaf ya, saya jadi membuat nenek sedih. Tapi ini memang jalan hidup saya, Nek. Saya bahagia kok. Apalagi sekarang ada Nenek Widuri di sini, jadi saya tidak kesepian.”
           
Ia semakin tidak bisa membendung air matanya lalu memelukku. Aku jadi terharu. Telah lama sekali tidak merasakan pelukan seperti ini. Ia mengusap-usap rambutku. Air mataku mengalir perlahan tapi segera kubuang jauh-jauh rasa sedih ini. Biar bagaimanapun aku tidak boleh cengeng. Aku lalu pamit untuk berangkat sekolah siang itu. Sambil menenteng tas bututku, aku bersiul menuju sekolah.

Saat melewati teman-teman sesama pengamen yang sedang berkumpul dan melepas lelah, salah satu temanku Erwin menyapa. Ia lalu mengatakan padaku tadi ada orang yang datang ke sini. Ia pun mengatakan kalo orang itu berbincang bersama nenek Widuri. Aku jadi teringat lentera kecil pemberian orang pada nenek. Mungkin orang itu yang dimaksud nenek, pikirku. Aku lalu pamit pada teman-teman pengamenku itu.

Pagi itu aku menunggu Yani di halte sambil sesekali memainkan biola. Entah mengapa perasaanku tidak enak. Tidak biasanya ia telat seperti ini. Dari kejauhan kulihat Erwin berlari menuju ke arahku. Nafasnya yang masih memburu berdiri tepat di depanku. Dengan nafas yang masih terengah-engah, ia mengatakan kalau Yani sedang di ganggu oleh sekumpulan anak-anak sekolah di seberang jalan.

Tanpa pikir panjang aku lansung berlari ke arah yang dimaksud Erwin. Kulihat Yani yang sedang berusaha menghindari ke empat anak-anak berandal itu. Aku lansung meneriaki mereka. Terlibatlah perkelahian diantara kami. Perkelahian yang tidak berimbang 1 lawan 4. Aku jadi babak belur di buatnya. Darah segar mengalir di hidung membuatku meringis kesakitan. Yani berteriak menangis, histeris ketakutan.

Aku tetap berusaha mempertahankan diri, saat aku meraih lengan baju salah satu diantara mereka kugigit telinganya. Anak itu menjerit-jerit kesakitan. Ketiga temannya lalu menarikku dan memukuli, tapi aku tetap melawan meski babak belur. Aku terjatuh. Saat terjatuh kemudian mereka menendangiku. Beruntunglah saat terdesak seperti itu, sekumpulan teman-teman pengamenku mulai berdatangan sambil membawa alat di tangan masing-masing.

Melihat itu ke empat anak-anak itu lansung kabur. Erwin dan sebagian teman-temanku mengejar mereka dan entahlah apa yang terjadi setelahnya. Yang kutahu aku tidak sadarkan diri dan mendapati diriku sudah berada di gubuk kecilku. Kulirik Nenek Widuri. Wajahnya terlihat begitu sedih melihat keadaanku. Lalu ada Yani di sebelah nenek yang masih menangis sesegukan. Aku baru kali ini melihat Yani menangis. Selama ini yang kulihat adalah senyumannya.

Aku masih merasakan sakit di bagian hidungku. Aku lalu berusaha bangkit tapi segera di cegah nenek dan menyuruhku untuk tetap berbaring. Tapi aku bilang kalau aku baik-baik saja dan tersenyum. Aku tidak boleh lemah di depan mereka. Aku tetap Rendy seorang bocah yang tegar dalam menghadapi perjalanan hidupnya. Bagiku ini adalah hal yang biasa bagi remaja seusiaku.

”Yani, lo nggak usah nangis. Gue nggak apa-apa kok, yang penting lo nggak di jahatin sama anak-anak itu.”
“Iya Ren, makasih lo dah nolongin gue. Ini yang kedua kalinya lo nyelamatin hidup gue. Entah gimana lagi caranya gue bales budi ke lo.” Ujar Yani yang masih terisak.
“Alah…lebay ah! Males deh gue dengernya. Udahlah kan gue sahabat lo, itu wajar. Nah sekarang gue bisa sekolah itu juga karena lo.” Kataku sambil menepuk lengannya.

Nenek Widuri yang melihat eratnya tali persahabatan kami,  tersenyum bahagia. Nenek meledek, Yani akhirnya tertawa dan akupun ikut tertawa meski masih menahan rasa sakit di wajahku. Aku menyuruh Yani pulang dan kami tidak jadi ngamen hari itu. Erwin dan teman-temanku kemudian muncul dan mengatakan kalau ke empat anak tadi telah di beri pelajaran oleh mereka dan berjanji tidak akan pernah lagi mengganggu Yani.
Aku berterima kasih kepada mereka, Nenek Widuri yang sudah kenal dengan mereka pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Hari itu kuputuskan untuk tidak berangkat sekolah, kukatakan pada Yani agar meminta ijin pada guru buatku.


***
Hari demi hari berlalu. Tak terasa Nenek Widuri telah tinggal bersamaku selama satu minggu lamanya. Tak ada tanda-tanda bahwa ia mengingat dari mana ia berasal dan bagaimana ia bisa sampai di Jakarta. Maka aku pun tak pernah membahasnya lagi. Aku senang tinggal bersama dengannya. Aku seperti memiliki keluarga kecil yang bisa memberiku petuah-petuah. Meski usiaku baru 16 tahun, beratnya hidup yang telah kulalui membuatku menjadi anak remaja yang kuat dan berpikiran lebih dewasa.

Semakin hari aku sangat dekat dengan nenek Widuri. Ia juga pandai bernyanyi, di sela-sela waktu kami bersama, kumainkan biolaku mengiringinya bernyanyi. Lagu andalannya dari kelompok musik The Beatles yang berjudul hei jude..saat bernyanyi kulihat nenek seperti mengenang masa lalunya. Aku terkadang meledeknya dan nenek suka tersipu dan menghardikku.

”Husss...jangan bertanya seperti itu! Anak seusia kamu sebaiknya nggak usah mikirin soal cinta-cintaan. Sekolah yang rajin biar jadi orang hebat.” Ujar nenek sembari mengingatkanku. Kalimatnya terakhir itu yang selalu membuatku penuh semangat. Jadi orang hebat. Hebat itu seperti apa ya, tanyaku dalam hati. Aku hanya tersenyum dan mengangguk tanda setuju dengan ucapannya.
***

Siang itu di sekolah, aku dan Yani duduk berdua saat jam istirahat. Tempat favorit di kala santai yaitu kami duduk di bawah pohon besar yang terletak di taman sekolah. Taman ini besar. Sekolahnya juga besar dan tentunya untuk bisa masuk sekolah di sini biayanya pasti mahal. Aku bersyukur bisa sekolah di tempat ini. Semua berkat orang tua Yani. Orang tua Yani adalah pengusaha yang terkenal sekaligus pemilik sekolah ini.

Ia anak bungsu dari kedua bersaudara. Kakak laki-lakinya tinggal dan kuliah di Amerika. Kesibukan orang tuanya membuat Yani merasa kurang kasih sayang. Hingga suatu hari di pagi itu ia meninggalkan rumahnya sebagai tanda protes pada kedua orang tuanya. Saat itulah ketika berjalan, ia melamun dan sedang menangis. Ia tidak menyadari ada sepeda motor yang melaju kencang menuju ke arahnya. Aku yang berada di sekitar itu, dengan sigap segera menarik dan mendorongnya hingga terjatuh.

Aku kemudian mengajaknya duduk di taman, ia menceritakan persoalan keluarganya. Aku pun menceritakan kisah hidupku, berharap agar ia lebih tegar dariku, karena ternyata di dunia ini masih ada yang lebih susah dibanding hidupnya. Akhirnya ia kubujuk dan mengajaknya untuk pulang kerumahnya. Orang tuanya sangat senang dan berterima kasih padaku. Orang tua Yani menawariku untuk tinggal di rumahnya, tapi aku menolaknya secara halus.

            Sebagai rasa terima kasihnya itulah aku kemudian diberi beasiswa untuk sekolah di sini. Aku masuk kelas 1 sementara Yani telah kelas 2. Seharusnya aku juga kelas 2,  tetapi setelah meninggalkan panti asuhan sejak lulus SMP, selama satu tahun aku menghabiskan waktu di kolong jembatan itu bersama teman-teman yang senasib denganku. Setelah kejadian itu kedua orang tua Yani pun semakin perhatian padanya.

Persahabatanku dengan Yani semakin erat sehingga ia dengan senang hati mau menemaniku ngamen hampir setiap paginya, orangtuanya pun tidak melarang. Bahkan pernah suatu hari kedua orangtuanya secara diam-diam mengikuti kami dan menaiki bus jurusan Pulo Gadung-Blok M hanya untuk memastikan kegiatan ngamenku bersama Yani.

Semilir angin di bawah pohon tempat aku dan Yani sedang beristirahat memberi kesejukan. Sesejuk hatiku kini yang di kelilingi orang yang sayang padaku, termasuk nenek Widuri, meski aku sesungguhnya hidup sebatang kara. Aku lalu teringat nenek Widuri. Kutepuk pundak Yani yang kelihatan sedang memikirkan sesuatu.

”Eh, Yani.. lo tahu nggak, nenek Widuri dua hari lagi berulang tahun!.”
”Haa, lo tahu dari mana?”
”Waktu itu gue sempet ngeliat KTPnya.”
”Terus...lo mau ngasih hadiah apa sama nenek?”
”Ehm..,waktu itu gue pernah nanya, Nenek Widuri mau makan apa?. Terus ia jawab pengen makan pizza. Tapi gue mana bisa beliinnya, pizza itu mahal kan?” Tanyaku pada Yani. Ia tertawa meledekku.
”Eh..iya iya lo nggak usah ngeledek! gue ngerti, mana pernah gue makan pizza, liat bentuknya aja kan belom pernah. Nah lo kaya, pasti sering makan pizza!” Kataku sedikit sewot.
”Eehh...huuus, sorry fren.. gue nggak masksud gitu kok! Gini aja kita kan masih ada waktu nih, kita ngamen  ngumpulin duit yang banyak, terus beliin pizza untuk nenek sebagai hadiah ultahnya. Menurut lo gimana?”
”Waaah boleh juga tuh ide lo! Terus kita buatin lagu untuk Nenek Widuri yuuk, sebagai kado ultahnya. Pasti ia senang.” Ujarku dengan mata berbinar.

 Kami lalu menyusun rencana untuk hadiah ulang tahun Nenek Widuri. Jam ngamen kami tambah, untunglah ultah nenek hari senin, jadi hari minggunya kami punya banyak waktu untuk ngamen.
***
Senin pagi itu aku dan Yani memutuskan untuk tidak ngamen. Kami berlatih bersama menyanyikan lagu untuk nenek. Lagu yang kami ciptakan itu kami beri judul; WAJAHMU SEPERTI PURNAMA. Sore sepulang sekolah, aku dan Yani ke Mall untuk membeli pizza. Syukurlah uang hasil ngamen kami kemarin cukup untuk membeli pizza, lalu kami bungkus kado.  Kami juga membeli kue ukuran mini yang kami beri lilin. Karena aku lupa berapa usia yang tertulis di KTP Nenek Widuri, maka kami putuskan untuk menaruh hanya satu lilin di atasnya.

            Seperti yang telah kami rencanakan, teman-teman pengamenku pun aku libatkan. Tepat jam 7 malam aku kemudian berdiri di depan gubuk kecilku. Dari luar kupanggil nama nenek Widuri. Ia menyahutiku dari dalam, kuyakin ia khawatir padaku karena baru pulang jam segini. Karena aku tak masuk, ia pun menyibak pintu dan melongo ke luar. Saat itulah aku memainkan biolaku dan di sambut suara gitar teman-temanku yang bermunculan satu persatu.

Nenek Widuri seperti kaget melihat tingkah kami, ia tersenyum sumringah dan ke luar. Yani muncul sambil bernyanyi,  lalu menarik tangan Nenek Widuri ke tengah-tengah kami. Suara biola dan gitar teman-temanku menyatu mengalunkan nada-nada yang indah. Erwin kemudian muncul membawa kue mungil yang telah kami beri lilin tadi. Melihat itu barulah Nenek Widuri menyadari bahwa kami memberi surprise ulang tahun untuknya. Air matanya mengalir terharu. Suara musik berhenti sejenak, kami kemudian menyuruh nenek untuk meniup lilinnya.

”Nek..Selamat ulang tahun ya,” Ujarku dan Yani hampir bersamaan. Kami berdua memeluknya. Ia pun memeluk kami sangat erat. Ia berterima kasih, tersenyum dan mengelus-elus rambut kami berdua. Aku mengatakan kalo kami berdua menciptakan lagu untuknya. Kugesek biolaku dan kumainkan nada-nadanya. Teman-temanku pun segera memainkan gitarnya termasuk Erwin yang hanya memiliki gitar mungil yang sudah tua.

Musik mengalun merdu, Yani pun bernyanyi sambil memegang erat tangan Nenek Widuri. Mendengar lagu kami seketika bulir-bulir air matanya menetes perlahan menghiasi senyumnya yang mengembang. Aku tahu ia sangat terharu. Seketika kolong jembatan itu seolah berubah menjadi pentas kecil yang mengharukan. Aku sangat senang malam itu. Kulihat wajah nenek Widuri  memancarkan kebahagiaan. Mungkin perayaan kecil ini tak akan pernah di lupakannya. Malam itu berlalu dengan indah.
***
Aku kaget dan segera terbangun saat Yani menggerakkan tubuhku. Aku lalu bangkit. Biasanya Nenek Widurilah yang membangunkan aku jika ketiduran. Aku heran mengapa ia tak ada, aku pun mencari-carinya.

”Nenek Widuri mana?” Tanyaku heran pada Yani.
”Gue baru datang, dan nggak ngeliat nenek!”. Aku segera berdiri dan mencari-carinya.
Kutanyakan pada teman-teman sekitar gubukku tapi jawaban mereka tidak ada yang melihatnya. Aku kemudian mengajak Yani mencarinya. Perasaanku kalut tidak karuan. Kami akhirnya mencari–cari Nenek Widuri bersama semua teman-teman yang ikut membantuku. Hampir semua tempat yang kami datangi tak ada yang mengetahui ciri-ciri nenek yang kami sebutkan. Aku semakin kalut, Yani pun begitu.

Hingga sore harinya kami tetap tak bisa menemukannya. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke kolong jembatan. Siapa tahu ia kembali ke sana, pikirku. Tapi tetap saja nihil. Nenek Widuri seolah hilang entah ke mana. Aku terduduk lesu, tiba-tiba mataku tertuju pada secarik kertas yang terselip pada lentera yang masih menyala. Sewaktu bangun tadi pagi aku lupa memadamkannya.  Bergegas kuambil kertas itu.

Ternyata itu surat dari Nenek Widuri. Entah kapan ia menyelipkannya. Ia mengucapkan terima kasih atas kebersamaan kami selama ini. Nenek pamit pulang, dan katanya lagi tidak usah mencari nenek. Suratnya begitu singkat. Membaca itu seketika aku menangis, dan meneriakkan namanya. Yani memelukku dan berusaha menenangkanku ia pun menangis.

Meski kebersamaan kami singkat, tapi aku begitu merasa kehilangannya. Namun yang menjadi pertanyaanku ia pulang ke mana? Bukannya ia lupa harus pulang ke mana? Atau apakah ia telah mengingat kemana harus pulang? Tapi mengapa ia pergi begitu saja!?. Pertanyaan-pertanyaan ini mengisi rongga hatiku. Aku begitu sedih dibuatnya. Malam itu aku begitu merasa kesepian, tidak ada lagi suara nenek yang terkadang bernyanyi dengan biolaku. Tak ada lagi tawa-tawa kecilnya yang menemaniku saat belajar.

Kini aku meratapi kesendirianku. Andai saja Nenek Widuri tidak pernah hadir bersamaku di gubuk ini, pastilah aku tidak akan sesedih ini. Aku pun berdo’a agar tidak terjadi apa-apa dengannya dan semoga ia bisa berkumpul bersama keluarganya kembali. Akhirnya aku tinggal sendiri lagi, sepi, hanya berteman lentera baru dan biolaku. Malam itu akupun terlelap dengan kesedihan yang masih bersamaku.
***
Tiga hari telah berlalu. Nenek Widuri benar-benar telah pergi meninggalkanku. Aku tetap melakukan aktivitasku seperti biasa. Ketika aku sedang berjalan menyusuri trotoar saat berangkat sekolah, tiba-tiba ada sebuah mobil  berhenti tepat di sampingku. Dua orang yang berbadan tegap menyuruhku untuk segera masuk ke dalam mobil. Aku menolak dan ingin segera kabur. Tapi mereka segera menangkapku dan memaksaku masuk ke dalam mobil.

Aku berteriak, minta tolong. Aku sangat ketakutan. Tapi ke empat orang yang ada di atas mobil tersenyum padaku dan memperlakukanku dengan baik. Mereka mengatakan padaku bahwa mereka tidak akan berbuat kasar jika aku menurut apa kata mereka. Aku lalu bertanya mau dibawah ke mana, dan apa kesalahanku. Mereka tidak menjawab tapi hanya tersenyum. Aku semakin ketakutan, namun aku sadar tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti apa kata mereka.

Mobil yang membawaku kemudian masuk ke dalam rumah yang begitu besar dan mewah. Halaman rumahnya luas. Entahlah ini kawasan mana, yang pasti kutahu kalau ini masih Jakarta. Ke empat orang tadi segera turun dan menyuruhku untuk mengikuti mereka. Aku hanya menurut saja. Pintu terbuka dan kulihat seorang nenek berdiri menghadap kami. Seolah tak percaya aku menatap lekat-lekat padanya.
Ia tersenyum padaku. Aku pun lansung mengenali senyuman itu. Ia adalah Nenek Widuri, aku tak lagi menghiraukan kebingunganku. Setengah berlari aku memeluknya. Aku menangis melepas kerinduanku padanya. Ia pun memelukku.

”Nenek Widuri, kenapa di sini? Nenek tidak kenapa-kenapa?”Tanyaku masih menghawatirkannya. Ke empat orang yang menculik aku tadi hanya tersenyum-senyum mendengar pertanyaanku.
”Nenek baik-baik saja kan, seperti kamu lihat. Selamat datang di rumah nenek, ayo masuk.” Aku makin bingung.

Nenek kemudian menuntunku masuk ke dalam rumah. Megah sekali rumah itu. Lalu kulihat Yani menghampiriku sambil tersenyum sumringah. Kedua orang tua Yani pun ada di situ. Aku semakin bingung di buatnya. Selain kedua orang tua Yani, ada sepasang suami istri juga yang belakangan ku ketahui itu adalah anak tunggal nenek dan menantunya. Namanya Ardi Setyawan dan Istrinya bernama Tasya Andini. Mereka semua sangat ramah menyambutku.

Kami kemudian berkumpul di ruang keluarga. Akhirnya nenek bercerita padaku bahwa sebenarnya nenek tidaklah kesasar. Semua ini memang telah di rencanakan oleh keluarga Nenek Widuri dan orang tua Yani, tapi tanpa sepengetahuan Yani tentunya. Ayah Yani dan Om Ardi ternyata bersahabat dari kecil dan jadi rekan bisnisnya. Sejak menikah 20 tahun yang lalu Om Ardi tidak juga di karuniai anak namun mereka juga tidak ingin mengadopsi anak karena masih berharap agar ia dapat memiliki anak dari rahim istrinya sendiri.

Hingga akhirnya ayahnya Yani kemudian menceritakan padanya perihal diriku. Entah mengapa Nenek Widuri dan Om Ardi beserta istrinya tertarik dan ingin mengadopsiku. Tapi karena usiaku yang telah remaja, mereka tahu ikatan bathin antara anak dan orang tua pasti tidak akan sama rasanya jika mereka mengadopsiku sejak bayi.  Sehingga nenek Widuri memiliki ide untuk membangun ikatan bathin dengan cara tinggal bersamaku.

Ternyata di luar dugaan, meski hanya beberapa hari bersamaku ia memang merasa bahagia, ia seperti melihatku adalah cucunya yang benar-benar telah hidup lama bersamanya. Dan katanya lagi, Nenek Widuri sayang padaku. Satu hal yang tidak akan pernah dilupakan dalam hidupnya, adalah bagaimana aku memberikan kejutan, kado istimewah di ulang tahunnya. Ia kemudian mengelus-elus rambutku dan menarik nafas yang panjang.

”Rendy, mulai sekarang nenek mau kamu tinggal bersama kami disini ya. Nenek harap kamu nggak menolak, mau kan?” Tanya Nenek Widuri sambil menatapku penuh kasih. Aku masih seolah tak percaya dengan semua ini. Aku menoleh pada Yani dan kedua orang tuanya, mereka tersenyum dan mengisyaratkan agar aku tidak menolak. Aku lalu menoleh pada Om Ardi dan istrinya mereka mendekatiku dan meraih tanganku, kulihat di mata mereka pun memiliki harapan yang sama.
Tiba-tiba air mataku perlahan jatuh, aku seolah menemukan keluarga yang tak pernah kutemukan sejak kecil.
”Iya nek, Rendy mau..” Aku seketika lansung memeluk Nenek Widuri. Begitupun ia memelukku, termasuk Om Ardi dan istrinya yang akhirnya aku panggil ayah dan ibu.

Seketika ruangan besar itu penuh keharuan. Sejak saat itu aku tinggal bersama keluarga itu. Mereka sangat mengasihiku. Setamat SMU aku segera menyusul Yani yang lebih dulu kuliah di Amerika, hingga menyelesaikan S2 di jurusan bisnis. Yani yang lebih dulu lulus tetap menemaniku di Amerika hingga akupun menyelesaikan S2. Selama setahun Yani membantu kakak laki-lakinya mengurus bisnis orang tuanya di Amerika.

 Setelah aku lulus kami pun pulang ke Indonesia dengan bangga membawa gelar magister kami dengan nilai cumlaude. Lagi-lagi  nenek Widuri bersama ayah dan ibu selalu bangga padaku. Kami merayakan kebahagian itu dengan mengadakan syukuran kecil-kecilan, dan tak lupa aku mengundang semua sahabat-sahabat sesama pengamenku dulu yang masih sering berhubungan denganku, termasuk Erwin yang telah memiliki sebuah cafe kecil-kecilan atas bantuan modal dari Nenek Widuri.

Ayah Ardi kemudian mempercayakan kepemimpinan semua perusahaan kepadaku. Kujalani hari-hariku kini menjadi seorang direktur prusahaan ternama di Jakarta. Sesuai permintaanku dulu sewaktu masih kuliah di Amerika, ayah mengabulkan permintaanku agar membangun kantor baru tepat di seberang jalan kolong jembatan, di mana aku dulu pernah mengukir kenangan bersama Nenek Widuri disana.

Aku juga membangun sebuah yayasan sosial yang kuberi nama yayasan Widuri, itu kuperuntukkan untuk anak-anak jalanan yang tetap harus sekolah. Yani pun kemudian menjadi parnert bisnisku, karena ia pun telah di percaya untuk memimpin perusahaan ayahnya. Hampir setiap hari kami meeting bersama, persahabatan kami pun tetap terjalin sejak remaja hingga sekarang.

Pernah suatu hari kedua keluarga kami, mencandaiku dan Yani. Mereka mengatakan jika kami berdua kelihatan cocok, kenapa kalian tidak pacaran dan menikah saja. Saat itu kami saling berpandangan dan tertawa, malah kami lansung saling tonjokan. Kami mengatakan pada mereka bahwa persahabatan ini tidak ingin kami nodai dengan perasaan cinta, biarkan kami bersahabat hingga ajal menjemput. Mereka pun mengerti dan ikut tertawa bersama kami. Hingga akhirnya kami menikah dengan pilihan hati  masing-masing.

”Pak Rendy, ada telepon dari pak Ardi.” Ujar salah satu karyawanku yang segera membuyarkan lamunanku ke masa silam. Aku dan Yani segera bangkit. Menghirup nafas dalam-dalam menatap kolong jembatan yang kini telah menjadi bersih. Tak ada lagi gubuk kardus seperti dulu. Kami saling memandang dan tersenyum. Sambil bersenda gurau seperti biasa, kami kembali ke ruang meeting.
                       

                                                            THE END