Oleh : M.yusuf Putra Sinar
Tapango
Siang
itu, di kantin salah satu universitas swasta Jakarta. Waktu menunjukkan pukul
11.50 siang. Erwin tersenyum girang melihat inbox di handphonenya. Bahkan ia nyaris teriak histeris. Kedua sahabatnya
Ardi dan Seno berpaling padanya.
“Sob,
napa lo? Girang amat sih?” Tanya Seno
dengan mimik datarnya.
“Pokoknya
gue seneng banget, malam ini akan jadi malam terindah buat gue, Sob,” ujar
Erwin dengan mata berbinar. Ardi penasaran. Ia tahu, tak ada yang membuat Erwin
seperti itu selain soal cewek.
“Gue
tau banget nih! Pasti roman-romannya cewek, iya kan?” Tanya Ardi.
“Perfect! sebagai temen, lo emang paling
ngerti dah tentang gue!” Erwin terkekeh.
Seno
dan Ardi hanya ikut tertawa. Mereka tahu, sahabatnya yang satu ini adalah cowok
playboy kelas kucing jalanan. Tahu,
kan, sifat kucing jalanan itu? suka mencuri-curi makanan di meja makan. Nah, seperti
itulah Erwin, ia pun suka mencuri-curi nomor handphone cewek dari hanpdhone
temannya.
“Entah
siapa lagi korban lo kali ini! Insyaf, Sob!” Seno menepuk bahu Erwin sambil
tertawa.
“Bukan
korban, Sob! Lo jangan salah, this love
is real,” ujar Erwin berlalu pamit ke toilet. Seno dan Ardi hanya
geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
***
Pukul
7 malam, Erwin mematut dirinya di depan cermin. Wajah tampannya terlihat cerah.
Dengan menggunakan kemeja biru berkerah putih, membuat ia tampak sempurna.
Celana jeans hitam dipadukannya agar ia tampak elegan. Potongan rambut pendek botak membuatnya semakin tampak
macho. Berhidung mancung dan perut yang sedikit buncit membuatnya bangga. Ia
selalu menganggap bahwa inilah style
cowok metropolitan.
Tiba-tiba
handphone Erwin berbunyi. Dengan
sigap diraihnya handphone yang
tergeletak di atas tempat tidurnya. Sebuah nomor muncul di layar itu. Ia pun tersenyum.
“Hallo…Mas
Erwin, ya?” Erwin tampak kaget mendengar suara di balik sana.
“Iiiya,
iya, aku Erwin, ini siapa?” Tanya Erwin agak ragu.
“Iya,
Mas. Ini aku, masa lupa sama nomor handphoneku?
Mas, nanti ketemu lansung di Weekend Café
aja, ya. Gak usah jemput, nanti aku naik taxi dari rumah. Oke ya, Mas.”
Klik!
Erwin
tak sempat menjawab. Untuk beberapa detik ia termangu. Sejak perkenalannya
sehari yang lalu via sms, cewek itu tak memperbolehkan Erwin menelponnya. Bahkan
ia tak mau memberi tahu namanya. Erwin pun semakin penasaran dibuatnya. Suara
dibalik telepon barusan membuat ia ragu. Serak, berat, tidak lembut layaknya suara
cewek biasa yang selama ini ia kenal. Bener
gak sih dia cewek cantik mirip model itu? Erwin membatin.
Setidaknya,
seperti itu yang tertangkap di telinganya. Waktu itu, Erwin menguping perbincangan
Seno dan Ardi. Ia tak peduli lagi. Erwin semakin penasaran. Ia kembali mematut dirinya di depan cermin.
Diraihnya sebotol Bulgari Blue Pour Homme
di tangannya. Dengan gerakan menyilang, aroma parfum yang sangat maskulin itu kini membaur dengan wangi
tubuhnya.
Tak
lama kemudian, Erwin telah melaju bersama Honda
Jazz terbarunya. Jalan tol malam itu tampak ramai. Lagu Someone Like You mengalun merdu dari sound system-nya. Sesekali ia ikut
bernyanyi. Sementara bibirnya tampak tersenyum. Ia teringat Ardi dan Seno.
Erwin merasa menjadi pemenang lagi. Cewek yang menjadi pembahasan diam-diam
kedua sahabatnya itu, kini akan bertekuk lutut padanya.
***
Pukul
8.15 malam, mobil Erwin memasuki halaman parkir Weekend Café. Malam itu
pengunjung tidak begitu ramai. Ia menarik napas lega. Berharap kursi sofa yang
terletak di sudut café ini masih
kosong. Salah satu posisi tempat duduk yang sangat ia sukai. Alasannya jelas,
ada kaca mini yang bisa memantulkan wajahnya. Erwin memang termasuk pria yang
narsis. Perfectionis tapi licik.
Setibanya
di dalam café, matanya tajam
memperhatikan seluruh pengunjung. Ia segera menelpon cewek yang akan di
temuinya itu. Ups, tidak aktif. Ia menghela napas. Mencoba menguasai emosinya.
Berusaha tetap tenang. Erwin segera duduk di
sofa yang terletak di sudut. Segera memesan Weekend Coffe kesukaannya.
Di mana cewek itu?
Handphonenya nggak aktif lagi! Batin
Erwin. Kemudian ia mengirim pesan singkat, memberitahukan di mana posisi
duduknya. Ia memutar matanya memperhatikan seluruh isi ruangan. Terutama
pengunjungnya. Malam itu, suasananya tidak terlalu ramai. Hanya beberapa pasangan muda-mudi yang sedang asyik bercengkarama
di meja masing-masing. Sebuah lilin di dalam gelas kaca ukuran mini menghiasi
semua meja yang ada.
Pada
setiap sudut ruangan, tergantung lampu lampion mungil dengan sinar redup. Di sebelah
lampu, bunga mawar aneka warna menghiasinya. Arsitektur café ini menjadikannya salah satu café yang sangat romantis.
Erwin
mengeluarkan sebungkus rokok putih dari saku celananya. Menyalakan sebatang lalu menyulutkan ke bibirnya. Sedetik kemudian
lingkaran-lingkaran asap tak beraturan telah dihembuskan dari bibir dan kedua
lubang hidungnya. Hatinya masih kalut. Ia tampak gelisah. Diseruputnya segelas Weekend Coffe yang telah terhidang di
depannya.
Siluet
senyum terkembang di bibir itu. Rasa coffe
itu begitu terasa lezat. Ia tak menyadari seseorang telah berdiri di depannya.
“Maaf,
Mas Erwin, kan? Sorry telat, sudah
lama nunggu ya, Mas?”
“He,e..i
iya, kamu?” Erwin tampak kaget dan segera berdiri. Wajahnya tampak pias.
“Kenalkan,
aku Sisi, Mas. Boleh duduk?”
Erwin
yang masih tampak kaget. Ia segera mempersilahkan cewek yang bernama Sisi itu
duduk. Wajahnya seperti tertekuk. Shock.
Dadanya bergemuruh kencang. Ia lansung teringat Seno dan Ardi. Ditatapnya
lekat-lekat perempuan yang ada di depannya. “Mimpikah dia?” Erwin membatin.
“Mas
Erwin kok diem aja? Aku nggak nyangka lho, Mas, ternyata ganteng banget,” Sisi
terlihat agresif menggoda.
“Oia,
Mbak Sisi beneran seorang model sebuah majalah?” Tanya Erwin cepat. Sisi
terkekeh.
“Ah,
Mas Erwin, bisa aja. Model apaan? Aku ini baru tiga bulan di Jakarta. Aku kerja
di toko baju, Mas,” ujar Sisi tersipu malu. Wajahnya merona merah. Geer tepatnya.
Erwin
menghela napas panjang. Kaca di belakang Sisi memantulkan wajahnya yang
terlihat murung. Ia seolah masih tak percaya apa yang terjadi padanya. Sisi,
perempuan yang di bayangkannya terlihat 180 derajat berbeda. Sisi berperawakan
besar, rambutnya dicat kuning dan berombak tak karuan.
Usianya
pun terlihat jauh lebih tua darinya. Bergincu merah menyala, dan wajahnya yang
biasa saja. Sama sekali bukan tipe wanita pujaan Erwin. “Mana mungkin dia seorang model? Siaaaal, gue tertipu!” Erwin
membatin.
Dalam
pergulatan batinnya yang semakin berkecamuk. Wajahnya pucat pasi saat dua
pasangan muda memasuki café. Erwin
sangat mengenali mereka. Seno dan Ardi bersama pacar masing-masing telah
berdiri tak jauh darinya. Erwin tak bisa mengelak saat Seno melihatnya. Erwin pun
salah tingkah.
“Woy,
Sob! Lo ternyata di sini juga. Waaah, ini cewek baru lo, Sob?” Tanya Seno pada Erwin dengan senyum menggoda.
Ardi
dan Seno saling melempar senyum. Erwin semakin tak berdaya. Reputasinya sebagai
cowok dengan deretan perempuan cantik yang pernah ditaklukkannya kini terasa
hancur.
“Bukan,
Mas! Maksud aku, belum jadi pacar! Kenalin, aku Sisi,” dengan pede-nya Sisi memperkenalkan diri. Seno
dan Ardi di ikuti pasangan masing-masing menerima uluran tangan Sisi. Sementara
Erwin semakin kelimpungan oleh sikap Sisi. Wajah Erwin terlihat memerah.
“Oh,
ya, kalo gitu kalian silahkan di lanjutin aja ngedatenya. Seno kita cari meja
dulu, yuuuk,” Ardi segera mengajak Seno. Ia tak tahan lagi melihat ekspresri
wajah Erwin yang semakin salah tingkah.
Baru
beberapa langkah, Erwin segera menyusul teman-temannya. Menarik tangan Seno
menjauh. Seno yang diperlakukan seperti itu oleh Erwin hanya menurut. Ia segera
mengecek handphone Seno. Tangan
jahilnya segera mencari sebuah nama di sana. Dan ia pun lemas. Nomor handphone model sexy yang tertulis di
sana beda satu angka terakhir dengan nomor handphone
Sisi. Ups, jadi ternyata dia salah orang.” Sial,”
gerutunya.
“Makanye,
Sob! Jangan suka iseng tuh tangan, lo! Akhirnya kena karma, kan? Tapi seperti
kata lo, this love is real!” Seno terkekeh. Erwin menelan ludah
kegetirannya,
Erwin
tak mampu berkata-kata lagi. Ia ingin segera meninggalkan café itu. Dengan alas an urusan mendadak ia segera pamit pada Sisi.
Dan melambaikan tangan pada teman-temannya dengan senyum kecut. Ia tak peduli
lagi pada tatapan cibiran mereka. Ia ingin segera pulang. Cepat tidur. Berharap
kejadian malam ini adalah mimpi buruk yang tak akan pernah terjadi lagi di hari
esok.
The End