(M.Yusuf Sinar Tapango)
Ruang
keluarga itu terasa panas sekali. Ada pertengkaran hebat di sana. Di sudut
ruangan keluarga di atas sofa, Ibunya Rendy menangkupkan telapak tangan ke
wajahnya. Sementara dua orang pria yang berbeda usia telah sekitar dua puluh
menit melanjutkan pertikaian tanpa jeda. Rendy dan ayahnya sedang ribut
besar.
“Ayah
egois! Tidak pernah mau mengerti
perasaan aku,” Rendy bersuara keras.
“Apa
katamu? Seharusnya kamu sadar apa yang ayah lakukan untukmu ini adalah yang
terbaik!”
“Terbaik?
Itu menurut Ayah, kan? Tidak bagi Rendy.”
Rendy
tanpa diliputi rasa berdosa ikut menaikkan oktaf suaranya. Ia akan terus
membantah jika ia dipaksa untuk mengikuti kemauan ayahnya. Dengan kemarahan
yang masih tersisa Rendy menyeret kakinya ke luar pintu pagar. Rendy tak
menghiraukan teriakan ibunya dari dalam rumah. Ia berjalan menyusuri malam yang
masih menyisakan rintik hujan.
Januari
kali ini hampir setiap hari turun hujan. Rendy terus berjalan membelah gelapnya
malam. Lalu menyetop taxi yang kebetulan lewat saat ia berada di pertigaan
jalan. Ia tidak tahu akan ke mana ia pergi melampiaskan amarahnya malam itu.
***
Rendy
menyulut rokok putih di bibirnya yang tampak pucat kedinginan. Lalu ia
mengembuskan perlahan gumpalan asap putih lewat kedua lubang hidungnya. Dadanya
bergemuruh sesak. Wajahnya terlihat pias, meski pantulan cahaya lampu aneka
warna bergantian menyorotnya tanpa sengaja. Dalam sebuah club di bilangan
Kemang, ia terduduk sendiri. Mencoba memaknai hidupnya lewat hingar bingar
dunia malam.
Telah
dua jam Rendy terduduk di situ. Dan entah berapa wanita yang coba mendekatinya
menawarkan diri untuk duduk bersama. Sekedar untuk berbagi rasa. Atau hanya
saling menatap, lalu sesekali melempar senyum nakal yang tak digubrisnya. Rendy
memang bukan datang untuk mencari wanita malam. Ia hanya datang menikmati
malam. Ingin memanjakan lidahnya dengan mencecapi rasa bir. Atau memanjakan
badannya menari di lantai.
“Hei..
ngedance floor yuuk…” suara seseorang membuatnya berpaling. Rendy menatap
wanita cantik di sebelahnya. Ia masih tak bergeming. Sesekali tangannya
diangkat ke atas dan menggerakkan badannya mengikuti alunan musik yang menghentak.
“Lo
sendiri? Kenalin, nama gue Grace,” ia menyebutkan namanya dengan suara keras di
telinga Rendy. Tanpa basa-basi ia mengulurkan tangan meraih rokok yang ada di
hadapan Rendy. Mengambil sebatang dan menyulut ke bibirnya. Rendy menoleh pada
Grace. Wanita ini urakan sekali, pikirnya.
“Gue
Rendy…” Grace tertawa kecil. Agak sinis
tertangkap oleh mata Rendy yang sudah mulai meredup akibat alkohol. Rendy tetap
kaku. Ia seolah asing dalam keramaian itu. Dan ia tak ingin kesenangannya
terusik oleh siapa pun. Termasuk wanita cantik bernama Grace yang sedari tadi
menatapnya liar.
DJ
Charles mengajak clubbers malam itu
berpesta. Sesekali ia menyapa semua pengunjung dengan gayanya yang memukau.
Jerit histeris para gadis-gadis ABG pemujanya lansung memenuhi setiap sudut
ruangan. Dan hampir semua pengunjung menari meliukkan badan mengikuti alunan
musik. Para pemuja dunia malam berkumpul. Berbaur dengan para setan-setan yang
menjelma menjadi apa pun malam itu.
Dan
entah kapan dimulainya. Rendy sedang menari bersama Grace di dance floor. Ia menggerakkan badan
mengikuti irama musik. Sementara Grace membenamkan diri dalam pelukan Rendy
yang sudah terbuai oleh bisikan setan. Ia telah lupa pada niat awalnya malam
ini. Tak ingin diusik atau terusik oleh wanita mana pun.
Namun
kehadiran Grace dengan sikapnya yang urakan. Aroma parfumnya yang menghadirkan
hasrat. Serta kecantikan Grace yang hampir sempurna di mata Rendy. Membuat ia
tak mampu menolak saat jemari Grace yang begitu halus menuntunnya ke dance floor.
“Gimana
Rendy, lo seneng gak malam ini?”
“Iya
gue seneng Grace, lo cantik banget.”
“Lo
juga ganteng banget, gue suka sama lo,” ujar Grace menggoda Rendy.
Rendy
tak menanggapi. Ia hanya tertawa antara sadar dan tidak. Dalam pengaruh alkohol
semua wajah pengunjung malam itu tampak samar. Tapi wajah Grace tetap terlihat
sangat memukaunya. Cucuran keringat di wajah putih Grace membuat tangan Rendy
sigap mengelap dengan jarinya. Malam itu, Rendy seolah menjadikan Grace adalah
kekasihnya yang harus dimanja dan selalu dilindungi.
Panggilan
sayang dan kemanjaan Grace membuat Rendy benar-benar lupa segalanya malam itu. Selang
beberapa jam kemudian Rendy telah berada pada sebuah kamar deluxe. Membenamkan
diri di atas kasur yang begitu empuk. Dan ia pun lupa segalanya. Malam itu ia menikmati
malamnya bersama Grace.
***
Rendy
mengucek matanya yang masih lelah. Tubuhnya terasa lemas. Ia berusaha membuka
mata. Memerhatikan seluruh ruangan. Ia pun segera terbangun. Mendapati dirinya
dalam sebuah kamar hotel membuatnya panik sekali. Ia bertelanjang dada. Tapi
celana jeansnya masih melekat. Lalu ia mencoba mengingat apa yang terjadi padanya.
Grace, ia teringat gadis semalam yang bersamanya di sebuah club. Kemana gadis
itu? Batin Rendy. Ia segera beranjak dari kasur. Kepalanya masih terasa pusing.
Ia sadar semalam mabuk berat.
Rendy
melangkah ke wastafel. Membasuh mukanya. Ia masih tak percaya apa yang sedang
terjadi. Lalu kembali ia teringat Grace. Tersadarkan oleh sesuatu yang pernah
menimpa temannya. Ia merogoh saku celana panjangnya. Rendy panik. Ia mencari di
atas meja. Tidak ada. Setiap sudut dan di atas kasur pun tak ada, nihil. Dompet
dan handphone raib. Sial! Umpatnya.
Grace sudah menipunya. Semua miliknya sudah dibawa kabur gadis itu.
Bahkan
arloji pemberian kekasihnya sebagai kado ultahnya pun sudah tidak berada di
pergelangan tangannya. Rendy mengepalkan tangan. Ia kalut. Wajahnya semakin
tampak pias. Menyesal hanya itu yang kini ada di benaknya. Seharusnya semalam
ia tak perlu melampiaskan kemarahannya
dengan clubbing. Tempat yang ia belum pernah datangi sebelumnya. Ini adalah
yang pertama dan terakhir, batinnya. Namun yang tak kalah paniknya bagaimana ia
menjelaskan pada ke dua orangtuanya.
Dan
bagaimana ia harus pulang tanpa uang. Harus menghubungi siapa? Ia hanya
menghapal telepon ayah, ibu dan rumahnya. Tapi mana mungkin ia akan menelpon dan
memberitahukan keadaanya. Rendy menghela nafas berat. Lalu ia teringat baju
kemeja yang masih tergeletak di bawah kursi. Di rogohnya saku itu. Dan ia pun
sedikit bisa tersenyum, uang 20 ribuan masih ada di situ. Dengan langkah gontai
ia segera ke luar kamar hotel.
Kini
yang ada di benaknya hanyalah penyesalan. Kenikmatan sesaat sebagai pelampiasan
atas kemarahnnya pada orangtuanya berbuah penyesalan belaka. After clubbing hanya menyisakan
kepalanya yang pusing, seluruh badannya terasa remuk, dan uang bahkan
handphonenya pun raib. Tapi semua telah terjadi. Rendy berjanji pada diri
sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dan akan pulang ke rumah
segera meminta maaf pada ayah dan ibunya.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar