Sabtu, 07 September 2013

PURNAMA GELAP DI MATA KEYSA





Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango

AKU berteriak histeris hingga suara di  tenggorokanku hampir habis dan berubah serak. Terduduk lesu menekuri lantai yang membiaskan wajah piasku. Entah berapa lama aku terdiam seperti ini dalam kering air mataku. Aku tahu derap langkah kaki yang saling memburu antara pengunjung rumah sakit, suster dan dokter telah beribu-ribu langkah melintasiku. Aku terbius pada puncak penyesalan.
Kini lampu-lampu yang baru semalam menghipnotisku dalam kesenangan surga dunia, berubah menjadi lampu amarah yang datang silih berganti menampar-nampar wajahku.
Mendongak ke atas tanpa kata saat ibu mertuaku memberi isyarat bangkit. Wajahnya murung. Matanya sembab. Ia memberitahuku kalau istri dan putriku Keysa sudah bisa aku temui. Segera kuberlari ke ruang UGD tanpa kata. Tergesa kubuka pintu. Kudapati istri dan putriku dalam balutan perban hampir di seluruh bagian atas tubuhnya. Kutatap mereka dalam derai air mata penyesalanku. Masih terngiang malam sebelumnya.
“Pa, besok pulangnya cepet, ya. Nggak usah lembur. Keysa pengen diajak ke Ancol, tuh! Katanya pengen memandangi bulan purnama di sana,” ujar istriku.
“Iya Papa, Keysa pengen ke pantai. Pasti melihat bulan purnama dari pantai indah bentuknya. Iya kan, Ma?” Keysa menimpali dengan suara manjanya.
Padahal di mana pun melihatnya, bulan itu tetap sama aja bentuknya, gumamku dalam hati. Aku acuh, tak bersemangat mendengarnya.
“Duuuh.. Ma, Keysa sayang, kalau cuman lihat bulan, di balkon lantai dua rumah kita juga bisa kok. Sama aja, kan?”
“Bedaaa Papa… kalo dari pantai katanya lebih besaaar,” ujar Keysa manja, ia memeluk lenganku.
“Sudahlah, papa sibuk, besok perginya sama mama aja. Kalo urusan dah selesai nanti papa nyusul,” ujarku sambil melirik istriku.
“Enggak ah, Keysa pengen Papa ikut nemenin!” ujar Keysa semakin manja.
“Sudah, Sayang, Papa kan sibuk, ntar sama Mama aja perginya. Kalo Papa ntar nyusul ya!” ujar istriku sambil melirikku dengan tatapan protesnya. Kubalas menatapnya dengan senyum datar.
“Ya udah, waktunya bobo. Sini peluk Papa dulu,” Keysa memelukku sangat erat malam itu. Aku tahu ada semburat kecewa dalam tatapan bening matanya.
Aku masih terpaku memandangi silih berganti istri dan putriku. Terduduk pada kursi yang berada di antara dua ranjang, sambil menggengam erat tangan mereka. Sesekali kulirik layar monitor pada grafik dalam garis yang memburu turun naik. Air mataku kering. Rasa bersalah dan penyesalan bertubi-tubi menghampiri membuatku semakin tersudut.
Kuakui dalam beberapa bulan terakhir kebersamaanku dalam keluarga begitu sedikit. Alasan klasik yang terlontar di mulutku selalu sibuk, lembur dan lembur. Pertengkaran demi pertengkaran pun kerap terjadi bahkan menjadi tontonan live  bagi putriku Keysa yang baru ber-usia 7 tahun. “Bodoh! Pecundang! laki-laki tak bertanggung jawab!” Umpatan demi umpatan yang berasal dalam diriku sendiri tak dapat kubendung.
Semakin erat kugenggam tangan mereka. “Ini semua salah mereka! Mereka yang membuatku larut dalam lembah hitam ini!” Gerutuku, mengingat teman-teman kantorku. “Tidaak! Bukan mereka! Tapi kamu Rendy! Kamu yang telah kehilangan keimananmu! Kamu yang salah!” Hardikku kembali pada diri sendiri. Pergulatan batinku membawaku pada kejadian-kejadian yang kulalui.
Alunan musik keras menghentak, membuatku semakin bersemangat menggerakkan tubuhku. Aroma alkohol yang tercium dari mulut teman-teman kantorku, bagai aroma wangi bunga kesturi. Semua terasa menghipnotisku dalam kesenanganku malam itu. Dalam kerjapan mataku yang menyipit karena pengaruh alkohol, kusaksikan kecantikan dan kemolekan tubuh seksi Sisi dan Lely.
Tubuh mereka meliuk-liuk menghadirkan hasrat menggebu-gebu. Andrew dan Anton pun berada diantara mereka. Kami semua adalah teman kantor. Merekalah yang mengenalkanku pada dunia malam. Menjerumuskanku dalam kesenangan sesaat ini. Selalu dengan alasan lembur dan meeting pada istri dan putriku Keysa.
“Gimana Rendy, lo seneng kan malam ini? kayak gini nih, menikmati hidup Sob! Work hard play hard..” bisik Sisi di telingaku penuh manja.
“Iya gue seneng bangeet! Lo semua emang top bangeet dah!”  ujarku bergoyang mengikuti irama  house musik. Suara DJ Heru semakin menambah sorak ramai seluruh pengunjung club malam itu. Bahkan sesekali aku memperagakan keahlian nge-dance-ku. Saat seperti ini aku seolah lupa, bahwa aku telah memiliki istri dan seorang putri yang selalu menunggu kepulanganku dengan setia.
Kebiasaan yang kulakukan bersama teman-teman kantorku ini telah berlangsung hampir tiga bulan. Di setiap menjelang weekend,  tepatnya jumat malam. Malam di mana aku melupakan keinginan putriku untuk hanya menemaninya melihat bulan purnama bersamaku. Malam di mana terjadinya kecelakaan tragis saat istriku dan Keysa menuju ke pantai Ancol tanpaku. Mereka lelah menungguku tak kunjung pulang.
Bahkan dengan sengaja ku non aktifkan handphoneku. Rengekan Keysa memaksa istriku untuk mengantarkannya meski saat itu sudah jam 10 malam. Tepat di mana aku sedang menikmati kesenanganku dalam dentuman musik bersama mereka teman-temanku. Aku kembali menelan air ludah yang terasa pahit mengingat semuanya. Hingga tak terasa aku terlelap di sisi ranjang Keysa dalam kondisi tetap menggengam tangannya.
Kurasakan sebuah sentuhan menjambat rambutku. Aku tersentak kaget dan terbangun. Kulihat istriku menatapku tetap dengan tatapan mesranya. Hatiku pilu. Segera kucium keningnya dan memeluknya.
“Pa, maafin Mama. Semalam tidak berkonsentrasi menyetir mobil,” ujarnya.
Yah Allah, aku semakin merasa bersalah. Dalam kondisi seperti ini pun istriku masih menyalahkan dirinya sendiri.
“Mama maafin papa. Ini semua karena papa. Aku janji tidak akan pernah lagi menyia-nyiakan kalian,” kataku menggengam tangannya.
“Pa, kondisi Keysa bagaimana?” tanya istriku melirik Keysa di ranjang sebelah. Kulihat air matanya meleleh.
“Keysa belum siuman, Ma.” dengan nada terbata-bata aku menjawabnya. Air mataku kembali ikut meleleh.
Tiga hari telah berlalu. Putriku Kesya belum juga siuman. Benturan keras di kepalanya membuatnya hampir geger otak. Bahkan kemungkinan bisa menyebabkan kebutaan. Begitulah penjelasan Dokter Arman dan membuatku shock. Sementara istriku Rara kondisinya sudah agak membaik. Hanya luka retak pada lengan kiri dan ada luka gores di keningnya akibat sayatan kaca depan mobil yang pecah. Namun ia masih terlihat trauma atas kejadian itu. Ia pun harus tetap menjalani perawatan hingga sembuh total.
Kantorku telah memberiku cuti selama  sebulan. Silih berganti teman-teman kantorku datang memberi simpati. Termasuk Sisi, Lely, Anton dan Andrew. Mereka sangat menyesali kejadian ini. Aku pun tak menyalahkan mereka, mereka adalah anak-anak muda yang masih belum berkeluarga, tidak sepertiku. Akulah laki-laki yang tak tahu diri. Hari-hariku kuhabiskan di rumah sakit menemani mereka berdua.
Kulantunkan ayat-ayat suci Al-Quran setiap harinya. Dalam keheningan malam kubersujud tobat meminta pengampunan-Nya. Dalam do’aku hanyalah kesembuhan mereka yang kuharapkan.
“Papa, lihat tangan Keysa bergerak!” pekik Rara istriku saat aku sedang menyuapi sarapan paginya.
“Iya Ma, suster…suster cepat ke sini!” teriakku. Suster segera datang di susul Dokter Arman yang lansung memeriksanya. Kulihat mata Keysa mulai terbuka. Aku tersenyum girang menatap istriku. Keysa memanggil-manggil kata papa dan mama.
“Iya sayang, papa sama mama di sini.” ujarku mengenggam tangannya. Aku tak kuasa dan segera memeluknya.
“Mama juga di sini, Sayang.” ujar istriku sambil berlinangan air mata.
“Mama ini di mana? Kok aku tidak lihat bulan purnama? Kok gelap? Mati lampu ya, Ma?” Tanya putriku Keysa terbata-bata.
Mendengar itu seolah duniaku berputar. Seluruh tubuhku seperti lungai tak berdaya. Keringat dingin menjalari seluruh tubuhku. Hatiku pilu. Begitu pun istriku, ia begitu terpukul mendengar pertanyaan Keysa. Air matanya mengalir deras. Dokter Arman segera menenangkanku, dan menyuruhku bersabar serta ikhlas menerima kenyataan ini. Anakku mengalami kebutaan.
“Papa.. Keysa mau lihat bulan. Papa juga ikut ya. Aku tadi mimpi bertemu bidadari cantik, ia mengajakku pergi ke bulan. Tapi Papa marah dan melarangku pergi,” kata-kata Keysa dengan nada lirih seolah menahan rasa sakit. Aku semakin tak kuasa menahan rasa penyesalan yang berbuah air mata.
“Iya, sayang! Papa pasti ikut. Nanti kalau lampu sudah nyala kita lihat bulan lagi ya,” hiburku seraya menahan kegetiran yang kurasakan di dada. Meski kusadari, kini Purnama gelap di mata Keysa.
“Papa, janji, ya? Mama, juga janji!” pintanya penuh harap.
“Iya sayang kami janji.” ujar kami hampir bersamaan.
Hari demi hari berlalu. Bulan demi bulan berganti. Putriku Keysa menjalani hari-harinya tanpa dapat memandang bulan. enam bulan kemudian Keysa bisa melihat kembali setelah menjalani operasi mata. Sejak saat itu, aku tidak pernah menyia-nyiakan mereka lagi, sesibuk apa pun. Mereka adalah segalanya bagiku. Kuciptakan dan kubuat setiap moment menjadi indah dalam hari-hari dan kebersamaan kami.
Aku menyadari bahwa hari esok hanyalah misteri. Aku semakin mencintai dan menyayangi istri dan putriku Keysa, tak ingin lagi ada penyesalan yang terjadi padaku. Semoga kebahagiaan ini terus tercipta hingga akhir hayatku. Begitulah do’a dan harapanku.


THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar