Kamis, 28 November 2013

THIS LOVE IS REAL


Oleh : M.yusuf  Putra Sinar  Tapango

Siang itu, di kantin salah satu universitas swasta Jakarta. Waktu menunjukkan pukul 11.50 siang. Erwin tersenyum girang melihat inbox di handphonenya. Bahkan ia nyaris teriak histeris. Kedua sahabatnya Ardi dan Seno berpaling padanya.
“Sob, napa lo? Girang amat sih?”  Tanya Seno dengan mimik datarnya.
“Pokoknya gue seneng banget, malam ini akan jadi malam terindah buat gue, Sob,” ujar Erwin dengan mata berbinar. Ardi penasaran. Ia tahu, tak ada yang membuat Erwin seperti itu selain soal cewek.
“Gue tau banget nih! Pasti roman-romannya cewek, iya kan?” Tanya Ardi.
Perfect! sebagai temen, lo emang paling ngerti dah tentang gue!” Erwin terkekeh.
Seno dan Ardi hanya ikut tertawa. Mereka tahu, sahabatnya yang satu ini adalah cowok playboy kelas kucing jalanan. Tahu, kan, sifat kucing jalanan itu? suka mencuri-curi makanan di meja makan. Nah, seperti itulah Erwin, ia pun suka mencuri-curi nomor handphone cewek dari hanpdhone temannya.
“Entah siapa lagi korban lo kali ini! Insyaf, Sob!” Seno menepuk bahu Erwin sambil tertawa.
“Bukan korban, Sob! Lo jangan salah, this love is real,” ujar Erwin berlalu pamit ke toilet. Seno dan Ardi hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
***
Pukul 7 malam, Erwin mematut dirinya di depan cermin. Wajah tampannya terlihat cerah. Dengan menggunakan kemeja biru berkerah putih, membuat ia tampak sempurna. Celana jeans hitam dipadukannya agar ia tampak elegan. Potongan rambut pendek botak membuatnya semakin tampak macho. Berhidung mancung dan perut yang sedikit buncit membuatnya bangga. Ia selalu menganggap bahwa inilah style cowok metropolitan.
Tiba-tiba handphone Erwin berbunyi. Dengan sigap diraihnya handphone yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Sebuah nomor  muncul di layar itu. Ia pun tersenyum.
“Hallo…Mas Erwin, ya?” Erwin tampak kaget mendengar suara di balik sana.
“Iiiya, iya, aku Erwin, ini siapa?” Tanya Erwin agak ragu.
“Iya, Mas. Ini aku, masa lupa sama nomor handphoneku? Mas, nanti ketemu lansung di Weekend Café aja, ya. Gak usah jemput, nanti aku naik taxi dari rumah. Oke ya, Mas.”
Klik!
Erwin tak sempat menjawab. Untuk beberapa detik ia termangu. Sejak perkenalannya sehari yang lalu via sms, cewek itu tak memperbolehkan Erwin menelponnya. Bahkan ia tak mau memberi tahu namanya. Erwin pun semakin penasaran dibuatnya. Suara dibalik telepon barusan membuat ia ragu. Serak, berat, tidak lembut layaknya suara cewek biasa yang selama ini ia kenal. Bener gak sih dia cewek cantik mirip model itu? Erwin membatin.
Setidaknya, seperti itu yang tertangkap di telinganya. Waktu itu, Erwin menguping perbincangan Seno dan Ardi. Ia tak peduli lagi. Erwin semakin penasaran.  Ia kembali mematut dirinya di depan cermin. Diraihnya sebotol Bulgari Blue Pour Homme di tangannya. Dengan gerakan menyilang, aroma parfum yang sangat  maskulin itu kini membaur dengan wangi tubuhnya.
Tak lama kemudian, Erwin telah melaju bersama Honda Jazz terbarunya. Jalan tol malam itu tampak ramai. Lagu Someone Like You mengalun merdu dari sound system-nya. Sesekali ia ikut bernyanyi. Sementara bibirnya tampak tersenyum. Ia teringat Ardi dan Seno. Erwin merasa menjadi pemenang lagi. Cewek yang menjadi pembahasan diam-diam kedua sahabatnya itu, kini akan bertekuk lutut padanya.
***
Pukul 8.15 malam, mobil Erwin memasuki halaman parkir Weekend Café.  Malam itu pengunjung tidak begitu ramai. Ia menarik napas lega. Berharap kursi sofa yang terletak di sudut café ini masih kosong. Salah satu posisi tempat duduk yang sangat ia sukai. Alasannya jelas, ada kaca mini yang bisa memantulkan wajahnya. Erwin memang termasuk pria yang narsis. Perfectionis tapi licik.
Setibanya di dalam café, matanya tajam memperhatikan seluruh pengunjung. Ia segera menelpon cewek yang akan di temuinya itu. Ups, tidak aktif. Ia menghela napas. Mencoba menguasai emosinya. Berusaha tetap tenang. Erwin segera duduk di  sofa yang terletak di sudut. Segera memesan Weekend Coffe kesukaannya.
Di mana cewek itu? Handphonenya nggak aktif lagi! Batin Erwin. Kemudian ia mengirim pesan singkat, memberitahukan di mana posisi duduknya. Ia memutar matanya memperhatikan seluruh isi ruangan. Terutama pengunjungnya. Malam itu, suasananya tidak terlalu ramai. Hanya beberapa  pasangan muda-mudi yang sedang asyik bercengkarama di meja masing-masing. Sebuah lilin di dalam gelas kaca ukuran mini menghiasi semua meja yang ada.
Pada setiap sudut ruangan, tergantung lampu lampion mungil dengan sinar redup. Di sebelah lampu, bunga mawar aneka warna menghiasinya. Arsitektur café ini menjadikannya salah satu café yang sangat romantis.
Erwin mengeluarkan sebungkus rokok putih dari saku celananya. Menyalakan sebatang  lalu menyulutkan ke bibirnya. Sedetik kemudian lingkaran-lingkaran asap tak beraturan telah dihembuskan dari bibir dan kedua lubang hidungnya. Hatinya masih kalut. Ia tampak gelisah. Diseruputnya segelas Weekend Coffe yang telah terhidang di depannya.
Siluet senyum terkembang di bibir itu. Rasa coffe itu begitu terasa lezat. Ia tak menyadari seseorang telah berdiri di depannya.
“Maaf, Mas Erwin, kan? Sorry telat, sudah lama nunggu ya, Mas?”
“He,e..i iya, kamu?” Erwin tampak kaget dan segera berdiri. Wajahnya tampak pias.
“Kenalkan, aku Sisi, Mas. Boleh duduk?”
Erwin yang masih tampak kaget. Ia segera mempersilahkan cewek yang bernama Sisi itu duduk. Wajahnya seperti tertekuk. Shock. Dadanya bergemuruh kencang. Ia lansung teringat Seno dan Ardi. Ditatapnya lekat-lekat perempuan yang ada di depannya. “Mimpikah dia?” Erwin membatin.
“Mas Erwin kok diem aja? Aku nggak nyangka lho, Mas, ternyata ganteng banget,” Sisi terlihat agresif menggoda.
“Oia, Mbak Sisi beneran seorang model sebuah majalah?” Tanya Erwin cepat. Sisi terkekeh.
“Ah, Mas Erwin, bisa aja. Model apaan? Aku ini baru tiga bulan di Jakarta. Aku kerja di toko baju, Mas,” ujar Sisi tersipu malu. Wajahnya merona merah. Geer tepatnya.
Erwin menghela napas panjang. Kaca di belakang Sisi memantulkan wajahnya yang terlihat murung. Ia seolah masih tak percaya apa yang terjadi padanya. Sisi, perempuan yang di bayangkannya terlihat 180 derajat berbeda. Sisi berperawakan besar, rambutnya dicat kuning dan berombak tak karuan.
Usianya pun terlihat jauh lebih tua darinya. Bergincu merah menyala, dan wajahnya yang biasa saja. Sama sekali bukan tipe wanita pujaan Erwin. “Mana mungkin dia seorang model? Siaaaal, gue tertipu!” Erwin membatin.
Dalam pergulatan batinnya yang semakin berkecamuk. Wajahnya pucat pasi saat dua pasangan muda memasuki café. Erwin sangat mengenali mereka. Seno dan Ardi bersama pacar masing-masing telah berdiri tak jauh darinya. Erwin tak bisa mengelak saat Seno melihatnya. Erwin pun salah tingkah.
“Woy, Sob! Lo ternyata di sini juga. Waaah, ini cewek baru lo, Sob?”  Tanya Seno pada Erwin dengan senyum menggoda.
Ardi dan Seno saling melempar senyum. Erwin semakin tak berdaya. Reputasinya sebagai cowok dengan deretan perempuan cantik yang pernah ditaklukkannya kini terasa hancur.
“Bukan, Mas! Maksud aku, belum jadi pacar! Kenalin, aku Sisi,” dengan pede-nya Sisi memperkenalkan diri. Seno dan Ardi di ikuti pasangan masing-masing menerima uluran tangan Sisi. Sementara Erwin semakin kelimpungan oleh sikap Sisi. Wajah Erwin terlihat memerah.
“Oh, ya, kalo gitu kalian silahkan di lanjutin aja ngedatenya. Seno kita cari meja dulu, yuuuk,” Ardi segera mengajak Seno. Ia tak tahan lagi melihat ekspresri wajah Erwin yang semakin salah tingkah.
Baru beberapa langkah, Erwin segera menyusul teman-temannya. Menarik tangan Seno menjauh. Seno yang diperlakukan seperti itu oleh Erwin hanya menurut. Ia segera mengecek handphone Seno. Tangan jahilnya segera mencari sebuah nama di sana. Dan ia pun lemas. Nomor handphone model sexy yang tertulis di sana beda satu angka terakhir dengan nomor handphone Sisi. Ups, jadi ternyata dia salah orang.” Sial,” gerutunya.
“Makanye, Sob! Jangan suka iseng tuh tangan, lo! Akhirnya kena karma, kan? Tapi seperti kata lo, this love is real! Seno terkekeh. Erwin menelan ludah kegetirannya,
Erwin tak mampu berkata-kata lagi. Ia ingin segera meninggalkan café itu. Dengan alas an urusan mendadak ia segera pamit pada Sisi. Dan melambaikan tangan pada teman-temannya dengan senyum kecut. Ia tak peduli lagi pada tatapan cibiran mereka. Ia ingin segera pulang. Cepat tidur. Berharap kejadian malam ini adalah mimpi buruk yang tak akan pernah terjadi lagi di hari esok.


                                                            The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar