Sabtu, 07 September 2013

BIBIR


Oleh: M.Yusuf Putra Sinar Tapango

CERMIN Besar di depannya memantulkan bayangan Rendy sore itu. Sejak tadi ia terus memerhatikan dirinya di depan cermin besar yang diletakkan di sudut kamarnya. Ia memerhatikan hampir seluruh lekuk tubuh telanjang dadanya. Terkadang ia menyungginkan senyum saat melihat kedua otot lengannya yang kekar. Dadanya yang bidang dan otot perutnya yang tak di hampiri lemak.

Namun senyumnya menciut saat melihat bibirnya. Bibirnya yang ranum kehitaman terkadang membuatnya kurang pede. Di dekatkannya wajahnya di cermin itu lagi. Matanya tajam melihat bibirnya. Memerhatikan dengan seksama bentuk dan lekuknya. Sesekali ia mencoba membentuknya dalam berbagai bentuk. Tetap saja ia tak puas. Ia selalu merasa bahwa bentuk bibirnya tak seindah bibir sahabatnya Erwin.

Dibukanya laci meja dan mengeluarkan cermin kecil. Lalu kembali ke depan cermin besar tadi. Memutar badan menyamping ke kanan. Perlahan ia menaruh cermin kecil tadi sejajar dengan bibir bersebelahan arah dengan cermin besar. Dan Segera dicampakkannya cermin kecil itu di atas kasurnya dengan dengusan kecewa.

Sabtu sore itu Rendy duduk di kursi sofa sebuah café mall menghadap ke jalan raya. Diseruputnya hot cappuchino sesekali melirik jam tangan. Jari-jarinya lincah bermain di keyboard laptop mininya. Status facebooknya sore itu: Aku sedang menunggu dia yang begitu mempesonaku karena bibirnya. Rendy sedang menunggu seseorang yang dikenalnya lewat jejaring sosial. Ditatap lekat seorang yang dikaguminya itu. Slide demi slide dibukanya perlahan. Tak henti-hentinya ia tersenyum, sesekali jarinya menyentuh lembut layar monitor tepat di bagian bibir gambar yang sedang dilihatnya.

Kemudian ia kembali membaca menu lain yang menjelaskan tentang bentuk-bentuk bibir dan sifat pemilik bibir dari bentuk A hingga Z. lagi-lagi ia tersenyum. Di bayangkannya seperti apa seorang yang akan menjumpainya sore ini. Handphonenya berdering. Sebuah nama yang ditunggu muncul di layar itu. Ternyata yang meneleponnya telah berdiri tak jauh darinya.

Ia pun segera berdiri. Menjabat tangannya dengan lembut lalu mempersilahkan duduk. Jantungnya berdegup kencang. Menghirup napas pelan, lalu dilepaskan untuk menguasai rasa groginya yang mendadak muncul tiba-tiba. Ia lalu duduk dan memerhatikan seseorang yang sejak tadi ditunggunya. Bahkan ia rela menunggu hampir 30 menit. Sesuatu yang sangat jarang, bahkan tak pernah dilakukan hampir di setiap dating pertamanya. Tapi untuk yang satu ini, terasa sangat spesial baginya.

Rendy menyeruput kembali hot cappuchino-nya. Sesekali matanya menatap tajam pada bentuk bibir yang begitu tampak sempurna di matanya. Ia menatap lekat hingga suara itu menyadarkannya.

“Hei..maaf ya, Ren, dah buat kamu menunggu lama.”

“Ooh nggak apa-apa kok, untuk seorang yang spesial seperti kamu, sepertinya bagiku ini bukanlah hal yang sulit, bukan?” ujar Rendy membuatnya tersenyum simpul. Bibirnya merekah merah.

“Aah, kamu berlebihan. Aku rasa kamu seperti seseorang yang sedang mengutip kalimat orang lain pada sebuah bacaan, hehe…” Rendy sedikit keki mendengarnya. Tapi hatinya mengagumi ketajaman pikirannya. Ia tersenyum. 1 point untuknya, karena sesuai dengan yang diharapkan Rendy. Makin membuatnya penasaran ingin menelanjangi semua tentangnya.

“Ehm, wah hebat, aku suka ketajaman pikiranmu. Tapi tidak ada salahnya aku mengutipnya, kan? Apalagi jika kalimat itu bisa membuat kamu tersenyum semanis ini.” Lagi dan lagi bibir itu terbentuk indah. Kini dengan tawa kecil menyertainya.

“Kalo boleh aku tebak, kamu suka baca bukunya Khalil Gibran? Atau jangan-jangan kalimat seperti ini sudah terekam di otakmu? Ibarat sebuah remot TV kamu tinggal pencet tombol maka gambar yang akan muncul sesuai dengan keinginanmu?”

Tanyanya semakin cerdas penuh selidik. Kaki Rendy di geser sedikit, lalu wajahnya condong ke depan membuat seorang yg dikaguminya itu semakin keki diperlakukan begitu. Hati Rendy berdesir, semakin girang, kadar keyakinannya bertambah 5 %. Lalu dengan tatapan tajam kini pada mata, ia memutar otak untuk berkelit.

“Ooh tentu tidak. Aku memang mengidolakan Khalil Gibran, tapi bukan berarti aku harus seperti dia. Apa di matamu kamu tidak melihat ada sesuatu yang berbeda pada diriku? Atau setidaknya boleh aku tahu kejujuranmu?

“Haa, kejujuran? Tentang apa? Bahkan kita baru bertatap muka lima belas menit,” ujarnya membuat Rendy mengernyitkan kening.

Kini ada gejolak di dalam dadanya. Dengan cekatan  jarinya menekan mouse lalu melirik sejenak tulisan di layar monitor itu. Adakah yang salah, Rendy membatin. Setidaknya, hampir tiga bulan lamanya ia begitu percaya dengan segala yang tertulis di situ. Bahkan 90% penelitiannya selama ini terbukti benar. Tiba-tiba ia ragu. Ia mendehem. Diseruputnya kembali hot cappuchino-nya.

“Maksud aku gini, kalo gak salah, berdasarkan feeling aku, kamu tuh orangnya mudah menilai seseorang hanya dalam waktu pertemuan yang singkat. Terus walaupun kita baru pertama kali ini ketemu, aku dah bisa tahu lewat Facebook, kamu itu seorang yang perhatian, dan jiwa sosial kamu juga tinggi.” Mata Rendy melirik kembali pada layar monitor laptop mininya, berharap kali ini apa yang dikatakanya tidak salah.

“Haaa, kamu ngacoh, ah! Hahaha..” Tiba-tiba ia terkekeh, ”Asal kamu tahu, aku sama sekali nggak seperti yang kamu pikir, aku susah banget lansung bisa menilai orang dalam sekali pertemuan. Bagiku, butuh proses untuk mengenal orang lain. Terus, kamu bilang aku perhatian? Nggak ah, bahkan mantan aku pernah bilang, aku itu orangnya cuek dan nggak perhatian banget. Apalagi kamu bilang berjiwa sosial? Kalo soal yang satu ini iya kali yah, tapi nggak deh,  soalnya kata temen-temenku aku tuh pelit banget!”

Lagi-lagi ia terkekeh. Rendy semakin bingung, wajahnya sedikit merona merah menahan malu. Tiba-tiba ia merasa sangat bodoh. Keyakinanya kini berubah menjadi tidak benar sama sekali. Ia lalu menatap lekat bentuk bibir itu, sejurus kemudian mengamati dengan seksama laptopnya, dipandanginya silih berganti. Membuat si pemilik bibir itu, merasa sedikit ada keanehan pada Rendy.

“Ehm..sama persis kok bentuknya,” ujar Rendy pelan seolah pada dirinya sendiri.

“Maksud kamu apa sih? Apa yang sama?”

“Ehm bentuk bibir kamu sama persis, tapi kok sifat yang seharusnya sama, kutemukan hanya 20% kebenarannya,” ujar Rendy, membuat rasa penasaran dan kebingungannya yang membuncah segera berdiri dan duduk di sebelah Rendy. Ia pun kini mengerti. Di raihnya segera mouse di tangan Rendy.

“Ooh, jadi ini maksud kamu! Jadi sejak tadi keanehan yang aku lihat, kamu seolah menatap lekat bibirku untuk mengetahui sifatku? Begini cara kamu menggoda wanita? Kampungan tahu gak? Dan lihat bentuk bibir ini, sama persis sama bentuk bibirmu, tapi semua sifat yang kamu tunjukkan padaku hanya satu yang benar. Kamu nggak pede! Selebihnya semua salah!”

“Maaf Cindy, aku tidak bermaksud seperti itu, dan…”

“Dan apa? Mau mengelak bahwa cara ini yang kamu pake untuk menggoda wanita incaran kamu? Asal kamu tahu yah, Ren, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Dan betapa bodohnya jika kamu percaya hal-hal yang hanya tulisan orang. Itu hanya akan membuatmu tidak bersyukur dan akan terus membandingkan kelebihan dan kekuranganmu. Dan aku yakin kamu pasti tidak pede dengan bentuk bibirmu, kan? Karena tulisan yang ada di situ, bibir dengan bentuk bibirmu adalah orang yang sering mengalami kegagalan."

"Cindy, sorry...Aku," Rendy tergagap.

"Jujur, aku kecewa dengan pertemuan ini, tadinya aku merasa kamu adalah cowok smart yang kubayangkan, ternyata tidak! Dan coba lihat papan iklan di seberang jalan itu, berapa banyak orang yang memiliki bibir sumbing. Masihkah kamu tidak bersyukur dengan bentuk bibirmu? Sorry rendy, aku pikir ini adalah pertemuan terakhir kita, thank you and good bye,” ujar Cindy berlalu pergi dengan wajah kesalnya. Tapi terlihat sangat cantik dengan bentuk bibir mungilnya itu.

Rendy hanya termangu diam. Ia tak mampu berucap sepatah kata pun, bahkan hingga Cindy pergi meninggalkannya. Ucapan Cindy barusan seolah membuatnya skak mat! Wajahnya merona merah lebih merah dari bekas  tamparan yang pernah dirasakannya. Ia menghela napas mencoba menenangkan diri. Dibacanya kembali artikel itu sekilas, ia hanya tersenyum kecut, mematikan laptopnya dan segera beranjak pergi.

Rendy tak menghiraukan tatapan para pelayan café yang melihat ia ditinggalkan begitu saja oleh Cindy. Ia ingin segera berlalu pulang dan kembali ke kamarnya. Ia berharap cermin besarnya nanti akan memantulkan bentuk bibirnya yang berbeda.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar