Valen
Oleh
M.yusuf putra sinar tapango
Aku menyeruput hot coffe untuk menghangatkan tubuh. Dingin. Malam ini hujan turun
begitu deras. Hanya switter yang tidak terlalu tebal membungkus tubuh kurusku.
Anna dan Glen tampak merapatkan diri di sudut halte. Mereka adalah sahabat yang
baru kukenal tiga bulan lalu. Ya, di sudut halte taman ini. Taman tempat kami
sering berkumpul. Bercanda ria. Tertawa lepas. Bernyanyi bersama seolah tanpa
beban.
Usiaku hari ini genap enam belas
tahun. Kedua temanku itu tidak pernah tahu. Seharusnya, ulang tahunku seperti
tahun-tahun kemarin. Tapi, ah, sudahlah. Aku tidak ingin menangis lagi. Toh,
percuma menangis. Tidak ada yang peduli dengan air mataku. Dan teman-temanku
itu, mereka seolah kehilangan rasa sedih. Ia akan mengolok-olokku jika aku
lemah. Seperti awal pertemuan kami, di taman ini.
“Hei…lo siapa? Kok nangis, sih?
Cemen banget, lo!” Seorang cewek yang berdandan seperti seorang cowok
menyapaku. Aku tetap tergugu, tak peduli siapa dia. Saat itu, aku hanya bisa menangisi
keadaanku.
“Sudah, jangan nangis, dunia ini tak
perlu kita tangisi. Nikmati, biarin ngalir begitu aja!” Timpal seorang cowok
teman si cewek tadi. Aku hanya berpaling kesal pada mereka. Siapa sih kalian? Ganggu aja! Aku hanya
membatin. Lidahku kelu.
“Kenalin, gue Anna. Ini temen gue,
namanya, Glen,” cewek yang berdandan seperti pria itu mengulurkan tangan
padaku.
“Valen, nama panjangku Valen Claudia
Alberto,” aku menyeka airmataku dan menerima uluran tangan Anna.
“Waaah…nama lo keren banget, kayak
artis aja,” cowok yang bernama Glen itu tertawa. Aku hanya tersenyum. Tidak
menimpalinya. Glen bertubuh jangkung, rambutnya ala anak punk. Beberapa tindik
memenuhi hampir semua daun telinganya. Iiih, sebenarnya aku takut berada
diantara mereka. Tapi, melihat mereka tampak ramah, aku jadi sedikit terhibur.
Selanjutnya, mereka berdua saling bersenda gurau. Terkadang terlontar kata-kata
tak senonoh yang tak biasa aku dengar di lingkunganku.
Akhirnya, aku menceritakan perihal
diriku. Apa yang membuatku menangis sejak tadi. Tapi, tidak semua kuceritakan. Ternyata
Anna peduli terhadapku. Ia pun menawariku untuk tinggal di kostannya. Begitulah
awal pertemuanku dengan Anna dan Glen. Tanpa terasa kehadiranku diantara mereka
sudah tiga bulan.
Hujan
mulai reda. Tiba-tiba aku kangen rumah. Kangen sama mama, papa. Ah, mereka lagi ngapain, ya? Apakah mereka
saat ini sedang memikirkanku? Tubuhku semakin kurus. Rambutku kubiarkan
tergerai panjang. Dan hidupku semakin berantakan. Makanku tak teratur lagi
seperti dulu. Tapi aku menikmati hidupku saat ini.
Sekolah
sudah kutinggalkan. Bagaimana masa
depanku nanti? Terkadang pikiran itu datang. Tapi, aku sudah tidak peduli.
Justru kedua sahabatku Anna dan Glenlah yang sering mengingatkanku. Seperti
waktu itu, ketika kami bertiga sedang menikmati
sore di sebuah jembatan. Mata kami memandangi jalan tol yang macet.
“Valen…”
“Ya…napa,
Glen?”
“Enak
kali, ya, jadi anak orang kaya seperti mereka. Ke mana-mana naik mobil, bisa
makan enak dan pastinya keluarga mereka bahagia,” ujar Glen. Kali ini Glen
tampak serius.
“Gue
juga kadang-kadang mikir kayak gitu kali, Glen! Tapi, mungkin jalan hidup lo
aja yang kurang beruntung, muka orang susah, hahaha…” Anna terkekeh menggoda
Glen.
“Gue?
Kita kaleee…” Glen ikut terkekeh. Aku hanya tersenyum. Mereka tidak tahu siapa
aku sebenarnya. Keluargaku dan dari mana asalku yang sebenarnya. Tidak semua orang kaya bahagia, Teman. Uang
bukanlah segalanya, batinku.
Sejujurnya
aku berasal dari keluarga yang sangat berkecukupan. Tinggal di sebuah perumahan
elit di kawasan Jakarta Selatan. Aku dua bersaudara. Kak Rendy sedang kuliah di
Italia. Di rumah hanya aku, papa, mama dan empat orang pembantu. Papaku
memiliki beberapa usaha showroom mobil yang besar. Ia termasuk pengusaha
sukses. Mamaku, juga perempuan yang sukses di bisnis kecantikannya. Spa dan
beberapa salon yang sudah tidak asing lagi di Indonesia. Tapi aku tidak bahagia
dengan semua itu.
***
Sore itu, di Barito aku memesan segelas kopi
hangat pada Pak Kus. Seorang bapak penjaja kopi keliling yang berjualan di
sekitar taman ini setiap hari. Pak Kus sering ngobrol setiap ketemu denganku.
Ia banyak bercerita tentang masa lalunya. Ternyata, ia juga punya anak
perempuan, katanya sih, seumuran denganku. Tapi sayang, anak perempuannya telah
meninggal beberapa tahun lalu. Pak Kus tidak punya biaya untuk berobat ke rumah
sakit saat anaknya sakit keras. Demam berdarah.
Sewaktu
mendengar penuturan Pak Kus, aku jadi sedih mendengarnya. Gimana kalo aku yang
berada di posisi anak Pak Kus. Tiba-tiba aku teringat papa dan mama. Aku
buru-buru duduk di halte. Menyeka air mataku yang hampir ke luar. Jujur aku
rindu rumah. Rindu papa dan mama. Tapi aku tidak bisa melupakan kejadian malam
itu.
“Kamu
egois! Hanya mementingkan dirimu saja!”
“Haaa?
Papa yang egois! Terlalu sibuk, meeting sana-sini. Ternyata Papa selingkuh dengan
wanita lain.”
“Mama
nggak boleh sembarang menuduh gitu, ya! Itu hanya tuduhan Mama aja, kan?
Sebenarnya Mama yang sudah tidak sayang lagi sama papa?!”
“Papa,
aku capek kayak gini terus! Mungkin sebaiknya kita cerai,”
“Haaa,
oke kalo itu memang maunya, Mama!”
Malam
itu sepulang hangout bersama
teman-temanku keceriaanku berubah jadi kesedihan. Papa dan mama tak tahu kalau
aku menyaksikan pertengkaran mereka. Dan seketika terhenti saat aku berlari ke
kamar dan menutup pintu kamarku dengan kencang. Malam itu mataku bengkak
gara-gara menangis sepanjang malam. Aku mengabaikan panggilan mama dan papa di
luar pintu kamarku.
Hal
itulah yang membuat aku sekarang berada di sini. Meninggalkan rumah pikirku
lebih baik. Biarkan saja mama dan papa sibuk mencariku. Biar mereka tahu aku
butuh kasih sayang mereka. Lagi-lagi kuhapus air mataku yang semakin deras.
“Yeaaaahhh!
Valen nangis lagi!” Aku tersentak kaget saat Anna sudah berdiri di sampingku.
Buru-buru kusembunyikan wajah di telapak tangan.
“Yeee…siapa
yang nangis coba! Mata gue kelilipan nih.”
“Yaelaaa,
gak apa-apa kali! Ngaku aje, sih! Kali ini gue gak bakal cengin lo, hehe…”
“Serius,
lo?”
“Iyeee,
gue serius. Napa lagi, sih?”
“Gue
kangen rumah.”
“Ehm…terus,
lo mau pulang ke rumah? Mau gue anterin?”
“Bukan,
bukan gitu maksud gue! Kangen aja.”
“Ya
udah, biar gak sedih mulu kita ke studio Glen aja, yuuuk.”
“Hayuuuk…”
Kami
berdua segera meninggalkan taman Barito menuju melawai. Menemui Glen yang sedang asyik latihan musik bersama
teman-temannya. Berjalan tergesa melalui jalan setapak taman. Lalu menaiki anak
tangga menuju ke atas pintu gerbang taman. Aku berjalan lebih dulu di depan
tanpa memperhatikan sekelilingku. Anna berteriak keras menyebut namaku.
Bruukkk!
Tubuhku
serasa melayang. Terbentur dan akhirnya semua gelap.
***
Mataku
mengerjap perlahan dan terbuka. Warna putih mendominasi pandangan mataku. Aku
merasakan perih di kepala. Aroma obat tercium di hidungku. Pasti aku di rumah
sakit, pikirku. Mata kubuka perlahan. Jam dinding di depanku menunjuk pada
angka 4 lewat 10 menit. Aku kaget. Papa dan mama sedang menggengam tanganku
sambil tertidur. Tiba-tiba aku menangis terisak. Aku yakin mama dan papa pasti tertidur saat menungguiku. Aku
kangen banget sama mereka. Tiba-tiba mama terbangun.
“Valen
anakku…Papa, bangun! Anak kita udah siuman,” seru mama sambil menggerakkan
tubuh papaku. Papa tersentak kaget dan
terbangun.
“Valen…maafin
papa sayang. Papa nggak mau kamu ninggalin kami lagi. Kamu harus cepat sembuh
dan sekolah lagi,” ujar papa dengan suara serak.
Papa
menangis. Aku tidak pernah melihat papa menangis. Air mataku tiba-tiba mengucur
deras di kedua pipi. Aku hanya terdiam. Mengapa kami dipertemukan dalam kondisi
seperti ini. Mengapa saat aku harus terbaring lemah mereka hadir. Kemana mereka
saat aku butuh kasih sayang mereka. Kemana mereka saat aku harus hidup di
jalanan. Dan ternyata aku mendapatkan arti sebuah keluarga dan sahabat di sana.
Ah, ke mana Anna. Aku teringat Anna. Ia mendorong tubuhku saat aku hampir
tertabrak mobil. Dan sekarang aku terbaring di sini.
“Anna…Anna
di mana?” Tanyaku
“Anna
temen kamu itu sudah...” jawab mama terbata-bata.
“Anna
kenapa, Pa? Mama, Anna di mana?”
“Sayang,
kamu harus ikhlas dan sabar, ya. Anna tertabrak mobil saat menyelamatkan kamu.
Nyawanya tidak tertolong lagi, Nak. Anna sudah di makamkan tadi siang. Dan kamu
baru siuman setelah pingsan sejak kemarin,” ujar Papa.
Aku
menjerit histeris. Papa dan mama lansung memelukku. Dadaku bergemuruh sakit.
Anna sahabat yang baru kukenal tiga bulan lalu. Ia yang seperti kakak bagiku.
Mengorbankan hidupnya untukku. Aku tidak bisa menahan laju air mataku. Anna
seperti malaikat bagiku. Ia dikirim oleh Tuhan untuk membuatku menjadi seorang
gadis yang tegar. Meski kutahu hidupnya tak seberuntung hidupku. Ia yang
membuatku bangkit dan harus menerima kenyataan hidup.
Ia
yang tak pernah berhenti untuk menasehatiku agar aku tidak pernah menyentuh
alkohol atau pun narkoba sebagai pelarianku. Dan ia yang selalu bilang bahwa
papa dan mama pasti sangat menyayangi dan resah akan kepergianku. Dan ia pun
tak pernah tahu siapa aku sebenarnya. Begitu banyak hal yang pernah kami lalui
bertiga bersama Glen. Banyak canda dan tawa. Ia mengorbankan hidupnya untuk
menyelamatkanku. Tuhan mengapa ia harus
pergi secepat itu? Mengapa terlalu cepat ia kau panggil, Tuhan?.
***
Aku
tergugu pada nisan yang aku taburi bunga. Nama Anna Handoyo terukir jelas di
nisan itu. Glen terdiam di sampingku. Ia pun tak dapat menahan laju air
matanya. Sementara papa dan mama memandangi kami dari kejauhan. Mama dan papa
telah berjanji padaku tak akan lagi ada kata perceraiaan diantara mereka. Aku
bahagia mendengar itu. Tapi aku menangis sedih karena Anna tak bisa melihat
kebahagiaanku kembali seperti dulu.
“Anna…maafin
gue, ya. Terima kasih atas semua kebaikan lo buat gue. Gue udah gak punya
kesempatan buat ngebales semuanya. Gue gak akan pernah bisa ngelupain
persahabatan kita semua. Gue sama Glen akan selalu datang untuk nemuin lo. Gue
tahu, lo pasti ngeliat kita di sini. Kita berdua sayang bangeet ama lo.”
“Iya
Anna…semoga lo tenang di sana, ya. Gue pasti selalu ngedoain lo. Maafin gue
kalo selama ini ada salah. Pokoknya maafin gue selalu jail ama, lo. Gue, Valen
kangen ama, lo.”
Aku
semakin tergugu mendegar penuturan Glen. Kami saling berpelukan. Matahari
semakin meninggi. Dengan berat hati kami meninggalkan tempat pemakaman Anna. Aku
masih tak kuasa menahan kesedihanku. Dalam perjalanan pulang aku hanya terdiam.
Begitu pun Glen yang duduk di sampingku. Papa menyetir mobil sesekali melirik
ke arah kami. Mama bersenda gurau bersama papa. Tangan mama menggengam erat
jemari papa. Aku tersenyum dalam kesedihanku. Aku merasakan cinta papa dan mama
yang masih dalam.
Hari
demi hari berlalu. Aku kembali ke rumah dan sekolah lagi. Sementara Glen
tinggal di rumahku. Ia setiap hari mengantarku ke sekolah sebelum menuju tempat
ia bekerja. Papa memberi modal pada Glen untuk membuka toko aksesoris di Blok M
Plaza. Ia pun menamai tokonya dengan nama Anna. Setiap sebulan sekali aku dan
Gleen mengunjugi makam Anna. Membersihkan dan menaburinya bunga. Dan aku
bersama Glen masih sering bersama menghabiskan sore di Taman Barito.
Meski
terkadang ada kesedihan saat teringat Anna tapi kami yakin ia sudah bahagia di
sana. Dan aku kini bahagia bisa berkumpul kembali bersama papa dan mama. Mereka
pun selalu memiliki waktu bersamaku saat aku membutuhkannya. Dan ada Glen
menambah suasana rumah menjadi ramai. Terima kasih Tuhan atas semua pelajaran
hidup yang kau berikan di usiaku yang masih remaja ini.
THE
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar