Oleh : M.yusuf Putra Sinar
Tapango
Sore itu di sebuah halte bus
depan sebuah kampus, Rendy dan Tasya tampak gelisah.
“Tasya, kok ayah belum datang
juga, ya?”
“Tau nih, Kak, nggak biasanya
ayah telat kayak gini,”
“Padahal aku dah coba
hubungin handphonenya, tapi gak aktif,” ujar Rendy dengan wajah
cemas.
“Sms aja kali, Kak! Jaringan deh
kayaknya, soalnya kan lagi musim hujan.” Kata Tasya tak kalah cemasnya.
Tasya bahkan sesekali turun ke
jalan untuk memastikan kedatangan ayahnya sore itu. Selang beberapa menit
kemudian, dari kejauhan tampak mikrolet berwarna biru menuju ke arah mereka.
Rendy dan Tasya pun menghembuskan nafas lega. Keduanya saling melempar senyum.
Ketika mikrolet biru itu tiba di depan mereka, dengan sigap Tasya membuka pintu
depan dan segera naik. Sementara Rendy, seperti biasa duduk di belakang. Mereka
bertiga segera pulang menuju ke rumah mereka. Sore itu, senja berselimutkan
awan hitam. Tak lama kemudian hujan pun turun.
***
Malam itu, di ruang keluarga yang
sederhana, Rendy dan Tasya tampak murung. Sementara Pak Andrew mencoba untuk
bersikap tegar di depan kedua anaknya. Rendy dan Tasya akhirnya tahu ternyata
keterlambatan ayahnya menjemput mereka tadi sore, disebabkan ia harus berurusan
dengan preman. Alhasil handphone butut miliknya raib dibawa kabur sang preman.
“Ayah, kalo gitu pake handphone
aku aja dulu, Rendy kan gak penting-penting banget,” ujar Rendy.
“Ah, nggak usah, nanti kalau
teman-teman kamu telpon gimana?”
“Nggak apa-apa Ayah, kan aku bisa
pinjem punya Tasya nantinya,” ujar Rendy sambil melirik Tasya.
“Iya Ayah, nanti Kak Rendy pake
punya aku aja. Lagian kita kan satu kampus, jadi gampang, kan.” Ujar Tasya
dengan mata berbinar.
Meskipun jauh di lubuk hatinya ia
agak keberatan dengan usul Rendy. Tapi demi ayahnya dia akan rela berkorban.
Malam itu keceriaan tampak kembali di ruang keluarga itu. Teh hangat bersama
beberapa makanan ringan jadi saksi bisu kebahagiaan mereka. Sebuah keluarga
kecil sederhana yang selalu menghargai sebuah kebersamaan.
***
Minggu pagi, usai sholat subuh
berjamaah, Rendy dan Tasya segera bersiap-siap ke pasar pagi. Mereka akan
membeli jajanan pasar berupa kue-kue untuk selanjutnya dijual kembali di
sekitar taman tempat orang-orang berolah raga di pagi hari.
“Ayah, kami berangkat dulu, ya.
Oia nanti sebelum berangkat kerja jangan lupa sarapan, aku udah masakin nasi
dan lauknya” ujar Tasya sembari mencium tangan ayahnya di ikuti Rendy.
“Iya, kalian berdua hati-hati di
jalan. Rendy jaga adik kamu, ya,”
“Siap, Bos.” Kata Rendy
mengacungkan jempolnya.
Pak Andrew menatap punggung kedua
anaknya. Ada rasa iba bercampur haru menyelimuti hatinya. Kini kedua anaknya
tumbuh dewasa tanpa kasih sayang seorang ibu. Kecelakaan tragis yang merenggut
nyawa istrinya sepuluh tahun yang silam membuat ia harus membesarkan keduanya
sendiri.
Menjadi seorang ayah sekaligus
ibu bagi mereka. Beruntunglah kedua anaknya sangat berbakti pada orangtua.
Mereka pun sangat mengerti kondisi ayahnya sekarang. Keduanya tak pernah
menuntut sesuatu. Yang terpenting bagi Rendy dan Tasya mereka harus fokus pada
pendidikan dan membahagiakan ayahnya kelak.
Pak Andrew menarik nafas dan
menghembuskannya perlahan. Tepat saat bayangan Rendy dan Tasya hilang di
belokan pertigaan gang kecil rumahnya. Ia segera menuju ke meja makan, sarapan
dengan lahap dan bersiap kembali pada rutinitasnya sebagai sopir angkot.
Kerasnya hidup di kota Jakarta membuat Pak Andrew harus rela menjadi sopir
angkot. Pengurangan tenaga kerja di kantor lamanya beberapa tahun lalu, membuat
semua berubah.
Di usianya yang sudah tak muda
lagi, sulit bagi pak Andrew untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Apalagi ia hanya
bermodalkan ijazah SMA. Sementara kini, ia harus membiayai pendidikan kedua
anaknya Rendy dan Tasya yang saat ini sudah duduk di bangku kuliah.
Beruntunglah Rendy dan Tasya memiliki kecerdasan di atas rata-rata sehingga
mendapatkan beasiswa di kampusnya.
***
Pagi itu saat matahari mulai
bersinar dengan malu. Di sebuah taman, keramaian tampak di sana-sini.
Keceriaan tampak jelas di wajah-wajah mereka. Seperti biasa, minggu pagi adalah
hari yang dipergunakan oleh sebagian warga kota Jakarta untuk berolah raga. Ada
yang datang bersama teman-teman, pacar, maupun keluarga. Disalah satu sudut
taman, dipandu oleh seorang instruktur, ratusan pengunjung sedang mengikuti
senam aerobik. Sementara di sudut-sudut taman yang lain, ada yang sedang
bermain sepeda, berlari kecil ada pula yang hanya berjalan santai.
Di bawah sebuah pohon taman, tampak
dua orang anak muda yang sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Meskipun
mereka menggunakan pakaian olahraga, tapi mereka tidak sedang berolahraga,
melainkan sedang menawarkan kue dan minum kepada orang-orang yang melintasinya.
Mereka adalah Rendy dan Tasya. Di setiap hari minggu aktivitas ini dilakukannya
di taman ini sejak masuk kuliah.
“Kak, gak terasa ya, kita tuh
jualan di sini udah tiga tahun, lho,” Kata Tasya sembari melap keringat yang
sudah mulai mengaliri wajah cantiknya.
“Iya, ya, Dek. Itu tandanya
sebentar lagi kita akan lulus kuliah,”
“yoi, Kak. Aku pengeen banget
cepet lulus kuliah, terus kerja. Aku pengen buat ayah bahagia,”
“Makanya kita harus giat belajar,
aku pengen ayah di rumah aja setelah nanti kita semua udah kerja.” ujar Rendy
sembari merapihkan kue-kue yang sudah hampir habis.
“Iya, Kak. Oia, Kak, aku tuh
kasihan sama ayah, gimana kalo kita saranin supaya ayah menikah lagi. Biar ayah
tidak kesepian, menurut Kak Rendy gimana?”
“Aku sih maunya juga gitu, biar
ayah ada yang nemenin saat kita sedang tidak di rumah,”
“Kalo gitu, ntar malam kita ajak
ayah ngobrol soal ini ya.” Ujar Tasya dengan mata berbinar. Rendy tersenyum
lalu mengangguk tanda setuju.
***
Pak Andrew terdiam dengan tatapan
kosong. Sementara Rendy dan Tasya saling menggengam tangan. Raut wajah cantik
Tasya tampak pucat. Rendy pun tegang. Ruang keluarga mereka malam itu hening.
Seolah tak berpenghuni. Hanya suara cecak yang saling berkejaran di dinding
terdengar sesekali. Sementara dari pos ronda yang tak jauh dari rumah mereka,
lamat-lamat terdengar lagu mendayu-dayu.
“Kalian tahu, ide kalian ini
membuat ayah sedih. Tak pernah sedikit pun terpikir olehku untuk menikah lagi!”
Suara Pak Andrew terdengar berat.
“Maafin kami, Ayah. Bukan
bermaksud untuk menyinggung perasaan Ayah, kami hanya ingin melihat Ayah
bahagia,” ujar Tasya terbata-bata.
“Bahagia katamu? Tahukah kalian
anakku, tak ada kebahagian yang melebihi kebahagiaanku memiliki kalian semua.
Dan sampai kapan pun rasanya tak ada yang bisa menggantikan ibumu di hati ayah.
Meski kini dia sudah tak bersama kita di sini.”
“Ayah, aku rasa ibu di alam sana
akan ikut bahagia jika Ayah pun bahagia,” ujar Rendy.
Pak Andrew menarik nafas panjang
kemudian menghembuskannya perlahan.
“Anakku kalian berdua sudah
tumbuh dewasa, mungkin inilah saatnya kalian harus tahu sebuah rahasia besar
dalam keluarga kita.”
Pak Andrew bangkit dari kursi
lalu berjalan menuju kamarnya. Rendy dan Tasya saling memandang tak mengerti.
Tak lama kemudian Pak Andrew kembali dengan sebuah amplop besar di tangannya.
Perlahan Pak Andrew mengeluarkan isinya. Selembar kertas yang tampak usang dan
sudah dilaminating kini berada di tangannya. Kertas itu kemudian diletakkan di
meja sembari ia bangkit berdiri.
“Bacalah surat itu, setelahnya
kamu akan tahu segalanya, ayah tak kuasa melihat kesedihan kalian, aku mau ke
kamar,” ujar Pak Andrew.
Di sudut mata lelaki tua itu
tampak basah. Ia tak ingin terlihat lemah di depan kedua anaknya. Rendy dan
Tasya segera membaca surat itu. Kata demi kata yang tertulis di sana membuat
air mata keduanya tak terbendung lagi. Air mata mereka mengalir deras. Sangat
deras hingga mulut mereka terkunci.
Tak lama berselang Rendy dan
Tasya kini telah berada di dalam kamar ayahnya. Memeluk ayahnya dan bersujud
mohon maaf atas semua khilaf mereka. Tanpa kata, Pak Andrew mengelus rambut
kedua anaknya penuh kasih.
Beginilah isi surat itu :
ANDIN ISTRIKU
SAYANG ...
MAAF AKU MENULIS SURAT INI
INGIN AKU KATAKAN SEMUA INI
SAAT MALAM MENJEMPUT
NAMUN MULUTKU TAK MAMPU
MENGUCAPKANNYA
KAMU TAHU, KETIKA ENGKAU
SEDANG MERPETARUHKAN NYAWA SAAT MELAHIRKAN RENDY ANAK KITA, JIWAKU BERGETAR
HEBAT SAAT ITU. RAUT WAJAH CANTIKMU YANG TERBENTUK TAK BERATURAN MEMBUATKU TAHU
BETAPA SAKIT YANG KAU RASAKAN.
MELIHAT ITU, MATAKU TERASA
HANGAT DAN AIR MATA INI MEMBUNCAH INGIN KELUAR. AKU TIDAK BERSEDIH SAYANG,
ITU TANGIS BAHAGIA. DAN TAK AKAN ADA ALASAN APAPUN UNTUK TIDAK
MENCINTAIMU LEBIH DARI CINTAMU PADAKU.
AKU TAHU, PASTI KAMU SEDIH
KARENA TAK ADA DARI KELUARGA KITA SATUPUN YANG MENYAKSIKAN KELAHIRAN PUTRA
KITA. DEMI CINTAMU PADAKU KAU KORBANKAN KELUARGAMU DAN AGAMAMU UNTUKKU.
INIKAH CINTA SEJATI? AKU TAK
TAHU. YANG PASTI LEWAT SURAT INI , AKU BERSUMPAH TAK AKAN PERNAH ADA CINTA
MANUSIA YANG AKAN MENEMPATI SETIAP RUANG-RUANG HATIKU SELAIN CINTA UNTUKMU
SAYANGKU. HINGGA KITA DIPERTEMUKAN LAGI DI SURGA NANTI.
SEHARI SETELAH KELAHIRAN ANAK
PERTAMA KITA…
DARIKU ANDREW SUAMIMU,
Begitulah sepucuk surat yang
ditulis Pak Andrew untuk istrinya sehari setelah kelahiran Rendy.
Rendy dan Tasya kini mengerti
kedua orang tua mereka memiliki cinta yang begitu dalam. Cinta yang tak dapat
tergantikan oleh siapa pun. Dan atas nama cinta pula kini mereka berdua hadir
ke dunia dalam sebuah keluarga di sudut kota Jakarta. Sebuah keluarga kecil
yang hidup bahagia meski tanpa kasih sayang ibu.
THE END
BEKASI 19 MEI 2012...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar