AKU berteriak histeris hingga suara di tenggorokanku
hampir habis dan berubah serak. Terduduk lesu menekuri lantai yang membiaskan
wajah piasku. Entah berapa lama aku terdiam seperti ini dalam kering air
mataku. Aku tahu derap langkah kaki yang saling memburu antara pengunjung rumah
sakit, suster dan dokter telah beribu-ribu langkah melintasiku. Aku terbius
pada puncak penyesalan.
Kini lampu-lampu yang baru semalam menghipnotisku dalam kesenangan
surga dunia, berubah menjadi lampu amarah yang datang silih berganti
menampar-nampar wajahku.
Mendongak ke atas tanpa kata saat ibu mertuaku memberi
isyarat bangkit. Wajahnya murung. Matanya sembab. Ia memberitahuku kalau istri
dan putriku Keysa sudah bisa aku temui. Segera kuberlari ke ruang UGD tanpa
kata. Tergesa kubuka pintu. Kudapati istri dan putriku dalam balutan perban
hampir di seluruh bagian atas tubuhnya. Kutatap mereka dalam derai air mata
penyesalanku. Masih terngiang malam sebelumnya.
“Pa, besok pulangnya cepet, ya. Nggak usah lembur.
Keysa pengen diajak ke Ancol, tuh! Katanya pengen memandangi bulan
purnama di sana,” ujar istriku.
“Iya Papa, Keysa pengen ke pantai. Pasti melihat bulan
purnama dari pantai indah bentuknya. Iya kan, Ma?” Keysa menimpali dengan suara
manjanya.
Padahal di mana pun melihatnya, bulan itu tetap sama aja
bentuknya, gumamku dalam hati. Aku acuh, tak bersemangat mendengarnya.
“Duuuh.. Ma, Keysa sayang, kalau cuman lihat bulan, di balkon
lantai dua rumah kita juga bisa kok. Sama aja, kan?”
“Bedaaa Papa… kalo dari pantai katanya lebih besaaar,” ujar Keysa
manja, ia memeluk lenganku.
“Sudahlah, papa sibuk, besok perginya sama mama aja. Kalo
urusan dah selesai nanti papa nyusul,” ujarku sambil melirik istriku.
“Enggak ah, Keysa pengen Papa ikut nemenin!” ujar Keysa
semakin manja.
“Sudah, Sayang, Papa kan sibuk, ntar sama
Mama aja perginya. Kalo Papa ntar nyusul ya!” ujar istriku
sambil melirikku dengan tatapan protesnya. Kubalas menatapnya dengan senyum
datar.
“Ya udah, waktunya bobo. Sini peluk Papa dulu,” Keysa
memelukku sangat erat malam itu. Aku tahu ada semburat kecewa dalam tatapan
bening matanya.
Aku masih terpaku memandangi silih berganti istri dan
putriku. Terduduk pada kursi yang berada di antara dua ranjang, sambil menggengam
erat tangan mereka. Sesekali kulirik layar monitor pada grafik dalam garis yang
memburu turun naik. Air mataku kering. Rasa bersalah dan penyesalan
bertubi-tubi menghampiri membuatku semakin tersudut.
Kuakui dalam beberapa bulan terakhir kebersamaanku dalam
keluarga begitu sedikit. Alasan klasik yang terlontar di mulutku selalu sibuk,
lembur dan lembur. Pertengkaran demi pertengkaran pun kerap terjadi bahkan
menjadi tontonan live bagi putriku Keysa yang baru ber-usia 7
tahun. “Bodoh! Pecundang! laki-laki tak bertanggung jawab!” Umpatan
demi umpatan yang berasal dalam diriku sendiri tak dapat kubendung.
Semakin erat kugenggam tangan mereka. “Ini semua salah
mereka! Mereka yang membuatku larut dalam lembah hitam ini!” Gerutuku,
mengingat teman-teman kantorku. “Tidaak! Bukan mereka! Tapi kamu Rendy!
Kamu yang telah kehilangan keimananmu! Kamu yang salah!” Hardikku kembali
pada diri sendiri. Pergulatan batinku membawaku pada kejadian-kejadian yang
kulalui.
Alunan musik keras menghentak, membuatku semakin bersemangat
menggerakkan tubuhku. Aroma alkohol yang tercium dari mulut teman-teman
kantorku, bagai aroma wangi bunga kesturi. Semua terasa menghipnotisku dalam
kesenanganku malam itu. Dalam kerjapan mataku yang menyipit karena pengaruh
alkohol, kusaksikan kecantikan dan kemolekan tubuh seksi Sisi dan Lely.
Tubuh mereka meliuk-liuk menghadirkan hasrat menggebu-gebu.
Andrew dan Anton pun berada diantara mereka. Kami semua adalah teman kantor.
Merekalah yang mengenalkanku pada dunia malam. Menjerumuskanku dalam kesenangan
sesaat ini. Selalu dengan alasan lembur dan meeting pada istri dan putriku Keysa.
“Gimana Rendy, lo seneng kan malam ini?
kayak gini nih, menikmati hidup Sob! Work hard play hard..”
bisik Sisi di telingaku penuh manja.
“Iya gue seneng bangeet! Lo semua emang top bangeet
dah!” ujarku bergoyang mengikuti irama house musik. Suara DJ Heru
semakin menambah sorak ramai seluruh pengunjung club malam itu. Bahkan
sesekali aku memperagakan keahlian nge-dance-ku. Saat seperti ini aku
seolah lupa, bahwa aku telah memiliki istri dan seorang putri yang selalu
menunggu kepulanganku dengan setia.
Kebiasaan yang kulakukan bersama teman-teman kantorku ini
telah berlangsung hampir tiga bulan. Di setiap menjelang weekend,
tepatnya jumat malam. Malam di mana aku melupakan keinginan putriku untuk hanya
menemaninya melihat bulan purnama bersamaku. Malam di mana terjadinya
kecelakaan tragis saat istriku dan Keysa menuju ke pantai Ancol tanpaku. Mereka
lelah menungguku tak kunjung pulang.
Bahkan dengan sengaja ku non aktifkan handphoneku.
Rengekan Keysa memaksa istriku untuk mengantarkannya meski saat itu sudah jam
10 malam. Tepat di mana aku sedang menikmati kesenanganku dalam dentuman musik
bersama mereka teman-temanku. Aku kembali menelan air ludah yang terasa pahit
mengingat semuanya. Hingga tak terasa aku terlelap di sisi ranjang Keysa dalam
kondisi tetap menggengam tangannya.
Kurasakan sebuah sentuhan menjambat rambutku. Aku tersentak
kaget dan terbangun. Kulihat istriku menatapku tetap dengan tatapan mesranya.
Hatiku pilu. Segera kucium keningnya dan memeluknya.
“Pa, maafin Mama. Semalam tidak berkonsentrasi menyetir mobil,”
ujarnya.
Yah
Allah, aku semakin merasa bersalah. Dalam kondisi seperti ini pun istriku masih
menyalahkan dirinya sendiri.
“Mama maafin papa. Ini semua karena papa. Aku janji tidak
akan pernah lagi menyia-nyiakan kalian,” kataku menggengam tangannya.
“Pa, kondisi Keysa bagaimana?” tanya istriku melirik Keysa di
ranjang sebelah. Kulihat air matanya meleleh.
“Keysa belum siuman, Ma.” dengan nada terbata-bata aku
menjawabnya. Air mataku kembali ikut meleleh.
Tiga hari telah berlalu. Putriku Kesya belum juga siuman.
Benturan keras di kepalanya membuatnya hampir geger otak. Bahkan kemungkinan
bisa menyebabkan kebutaan. Begitulah penjelasan Dokter Arman dan membuatku shock. Sementara istriku Rara kondisinya
sudah agak membaik. Hanya luka retak pada lengan kiri dan ada luka gores di
keningnya akibat sayatan kaca depan mobil yang pecah. Namun ia masih terlihat
trauma atas kejadian itu. Ia pun harus tetap menjalani perawatan hingga sembuh
total.
Kantorku telah memberiku cuti selama sebulan. Silih berganti teman-teman kantorku
datang memberi simpati. Termasuk Sisi, Lely, Anton dan Andrew. Mereka sangat
menyesali kejadian ini. Aku pun tak menyalahkan mereka, mereka adalah anak-anak
muda yang masih belum berkeluarga, tidak sepertiku. Akulah laki-laki yang tak
tahu diri. Hari-hariku kuhabiskan di rumah sakit menemani mereka berdua.
Kulantunkan
ayat-ayat suci Al-Quran setiap harinya. Dalam keheningan malam kubersujud tobat
meminta pengampunan-Nya. Dalam do’aku hanyalah kesembuhan mereka yang
kuharapkan.
“Papa, lihat tangan Keysa bergerak!” pekik Rara istriku saat
aku sedang menyuapi sarapan paginya.
“Iya Ma, suster…suster cepat ke sini!” teriakku. Suster
segera datang di susul Dokter Arman yang lansung memeriksanya. Kulihat mata Keysa
mulai terbuka. Aku tersenyum girang menatap istriku. Keysa memanggil-manggil
kata papa dan mama.
“Iya sayang, papa sama mama di sini.” ujarku mengenggam
tangannya. Aku tak kuasa dan segera memeluknya.
“Mama juga di sini, Sayang.” ujar istriku sambil berlinangan
air mata.
“Mama ini di mana? Kok aku tidak lihat bulan purnama? Kok
gelap? Mati lampu ya, Ma?” Tanya putriku Keysa terbata-bata.
Mendengar itu seolah duniaku berputar. Seluruh tubuhku
seperti lungai tak berdaya. Keringat dingin menjalari seluruh tubuhku. Hatiku
pilu. Begitu pun istriku, ia begitu terpukul mendengar pertanyaan Keysa. Air
matanya mengalir deras. Dokter Arman segera menenangkanku, dan menyuruhku
bersabar serta ikhlas menerima kenyataan ini. Anakku mengalami kebutaan.
“Papa.. Keysa mau lihat bulan. Papa juga ikut ya. Aku tadi
mimpi bertemu bidadari cantik, ia mengajakku pergi ke bulan. Tapi Papa marah
dan melarangku pergi,” kata-kata Keysa dengan nada lirih seolah menahan rasa
sakit. Aku semakin tak kuasa menahan rasa penyesalan yang berbuah air mata.
“Iya, sayang! Papa pasti ikut. Nanti kalau lampu sudah nyala
kita lihat bulan lagi ya,” hiburku seraya menahan kegetiran yang kurasakan di
dada. Meski kusadari, kini Purnama gelap di mata Keysa.
“Papa, janji, ya? Mama, juga janji!” pintanya penuh harap.
“Iya
sayang kami janji.” ujar kami hampir bersamaan.
Hari demi hari berlalu. Bulan demi bulan berganti. Putriku Keysa
menjalani hari-harinya tanpa dapat memandang bulan. enam bulan kemudian Keysa
bisa melihat kembali setelah menjalani operasi mata. Sejak saat itu, aku tidak
pernah menyia-nyiakan mereka lagi, sesibuk apa pun. Mereka adalah segalanya
bagiku. Kuciptakan dan kubuat setiap moment menjadi indah dalam hari-hari dan kebersamaan
kami.
Aku menyadari bahwa hari esok hanyalah misteri. Aku semakin
mencintai dan menyayangi istri dan putriku Keysa, tak ingin lagi ada penyesalan
yang terjadi padaku. Semoga kebahagiaan ini terus tercipta hingga akhir
hayatku. Begitulah do’a dan harapanku.
THE END