Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango
SELESAI meeting proyek bersama, aku mengajak Yani sahabatku menuju lantai atas gedung kantorku. Kuajak Yani
berdiri di tepi gedung. Angin yang berhembus kencang di atas gedung sore itu
mempermainkan rambut kami. Namun kami menikmatinya. Sambil bersenda gurau
seperti biasa, kami terdiam memandangi jembatan layang tepat di seberang gedung
kantor ini. Kuambil biolaku lalu memainkan sebuah lagu kenangan kami. Pikiranku
melayang jauh mengenang masa lalu.
***
Siang
itu aku berangkat sekolah seperti biasa. Tiba-tiba kulihat seorang nenek yang
sedang kebingungan, sepertinya ingin menyeberang jalan. Aku kemudian
menghampirinya.
“Nek
mau kemana? Sini biar saya bantu
nyebrang.”
“Eh
iya cu’, tolong pegang tangan nenek. Nenek mau pulang kerumah tapi lupa
jalannya kemana.” Aku memegang erat tangan si nenek. Kuperkirakan usianya
sekitar 60an. Badannya tinggi, berkulit putih. Tiba di seberang jalan ia hanya
terdiam, membuatku bingung.
”Nek,
sekarang mau kemana?”
”Ndak
tau cu’ nenek mau pulang kerumah tapi lupa.”
”Nenek
benar-benar lupa alamat rumahnya di mana? Atau paling tidak daerah mana?”
”Ndak
tau cu’..nenek tadi kesasar. Maaf nenek jadi merepotkan. Kamu mau kemana?”
”Nenek
nggak ngerepotin kok. Saya mau sekolah nek, deket dari sini .”
”Ooh...yah
sudah sekolah dulu sana, ndak usah ngurusin nenek. Biar nenek di sini aja dulu
di bawah jembatan layang ini”. Kata si nenek dengan suara berat berdialek jawa.
Aku
pun dengan berat hati pamit dan meninggalkannya. Langkah demi langkah menuju sekolah, hatiku
gundah. Wajah nenek itu bermain di kepalaku. Aku berhenti, dan menoleh kembali
ke arah jembatan. Lalu berlari kembali ke sana. Kulihat nenek tadi bersandar di
dinding jembatan sembari mencoba memejamkan matanya. Aku menghampirinya.
”Nek,
kita ketempat saya aja yah. Nanti nenek istirahat di sana dulu. Kalau udah
inget rumahnya, baru saya anterin pulang.” Kataku.
Tanpa kata nenek
itu mengangguk. Aku tersenyum dan mengajaknya ke tempat tinggalku. Tiba di
depan gubuk mungil yang kubuat dari kardus-kardus bekas itu nenek berhenti
sejenak.
”Kamu
tinggal di sini? Sama siapa?”
”Iya
nek, saya sendiri tapi banyak juga yang tinggal di sini, mereka yang senasib
denganku. Kataku sambil menunjuk semua gubuk yang terbuat dari kardus bekas dan
papan yang terlihat bolong di sana-sini.
Aku
kemudian mengajak nenek masuk. Ruangan yang kubuat dari kardus-kardus bekas itu
berukuruan 4x4. Aku menata rapih ruangan itu. Ada lemari kecil untuk buku yang
kubuat sendiri dari kayu bekas yang kutemukan di pinggir jalan. Sementara
baju-baju kutempatkan di dalam kardus. Ada kasur kecil di dalamnya, pemberian
seorang teman yang waktu itu mau berpindah tempat. Kubersihkan segera kasur
kumal itu dan mempersilahkan nenek untuk rebahan di sana.
”Nek,
istirahat di sini dulu. Tunggu sebentar ya.” Aku ke luar menuju pedagang
asongan membeli sebotol minuman dan sebungkus roti.
”Nek
ini minuman dan rotinya, saya mau sekolah dulu. Disini nenek aman kok, saya udah
bilang sama temen-temen sekitar sini tolong jagain nenek.”
”Iya
cu’...terima kasih, nama kamu siapa? Kamu sekolahnya yang rajin, supaya pintar
biar nanti jadi orang hebat.”
”Amin...
makasih yah nek doanya. Nama saya Rendy, berangkat dulu ya, Nek. Assalamu alaikum..”
”Walaikum
salam..” Aku segera berlalu. Karena takut telat, aku setengah berlari menuju
sekolah yang berjarak 500 meter dari gubuk kecilku.
***
Sore
itu sepulang jam sekolah, aku kembali setengah berlari menuju jembatan. Aku
khawatir pada nenek yang baru aku kenal tadi. Berharap semoga ia sudah
mengingat rumahnya dan segera mengantarnya pulang.
”Assalamu
alaikum.., nenek sudah bangun? Kok melamun?” Sapaku padanya saat melihat nenek
seperti sedang mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.
”Walaikum
salam, Rendy sudah pulang sekolah? Ini nenek lagi nyari-nyari KTP di tas nenek,
nah ini dia...”
”Mana Nek, coba saya lihat.”
Aku kemudian membaca alamat KTP yang tertulis di situ. Namanya Widuri.
Tapi aku sedikit kaget karena alamat yang tertulis di situ Jawa Timur. Kulihat
fotonya, memang wajah nenek persis sama yang ada di KTP.
”Nek, ini benar KTPnya? rumah nenek jauh banget, Jawa Timur, ini
Jakarta, Nek. Bagaimana caranya kok tiba-tiba nenek bisa sampai di sini?”
Tanyaku resah, mana mungkin aku bisa mengantar nenek pulang ke rumahnya.
”Iya
nenek juga lupa..” Ujar nenek lirih. Ada kesedihan terpancar jelas dari raut
mukanya.
”Ya
udah, pokoknya nenek di sini dulu aja. Besok kita pikirin lagi ya.” Kataku
sambil tersenyum.
Aku
kasihan sama nenek Widuri, pastilah keluarganya sekarang sedang kebingungan
mencarinya. Kunyalakan lentera, meski tidak begitu terang tapi cukup untuk menerangi
ruangan. Aku pamit pada nenek untuk membelikannya makan malam. Kurogoh saku
celanaku untuk mencari sisa-sisa receh hasil mengamen pagi tadi. Syukurlah,
masih ada enam ribu lima ratus rupiah. Setidaknya aku bisa membeli sebungkus
nasi uduk seharga lima ribu untuk nenek dan sisanya kubelikan roti untukku.
***
Aku
terbangun ketika mendengar ada suara yang memanggil namaku dari luar. Aku tahu,
itu suara Yani sahabatku. Ternyata aku tertidur pulas setelah menngobrol lama
sama nenek semalam. Kulirik nenek Widuri yang masih tampak pulas. Aku menghela
nafas dan iba melihatnya. Tiba-tiba aku seperti sangat dekat dengannya. Aku ke luar
perlahan menemui Yani.
”Rendy,
kok lo tumben baru bangun jam segini?” Tanya Yani sambil menepuk pundakku.
”Sorry gue ketiduran, semalem abies
ngobrol panjang lebar ma Nenek Widuri” Ujarku
sambil mengusap mataku yang masih agak ngantuk.
”Nenek
Widuri?” Tanya Yani bingung.
”Eh
iya, tar gue ceritain. Sini liat!” Aku menarik tangan Yani dan menyibak pintu
gubuk kardusku. Ia agak terkejut melihat seorang nenek yang tertidur pulas.
”Rendy
siapa nenek itu? kok bisa ada di sini?” Tanya Yani lagi.
Akhirnya
kuceritakan padanya tentang nenek Widuri. Ia hanya manggut-manggut mendengar
ceritaku, ia pun merasa prihatin pada si nenek. Aku lalu meminjam uang Yani
untuk membeli sarapan buat nenek. Setelah sarapan buat nenek aku taruh, lalu
kutulis pesan pada selembar kertas dan kuletakkan di samping kasur. Kami berdua
bergegas menuju ke halte untuk menunaikan tugas kami pagi itu. Yah..tugas
seorang pengamen jalanan yang harus berjuang keras demi hidup dan sebuah
cita-cita.
Ketika
bus jurusan Pulo Gadung – Blok M berhenti, kami dengan sigap melompat dan
berdesakan dengan para penumpang yang memang padat setiap harinya. Dalam
kepadatan penumpang bus pagi itu, suara biolaku mengalun merdu. Sementara suara
Yani tak kalah hebatnya mengikuti irama biolaku. Suara Yani memang bagus, ia
pun mampu menguasai nada-nada yang tinggi.
Lagu-lagu
Rossa yang di lantunkannya menghipnotis semua penumpang yang ada. Entah karena
mereka memuji kecantikan Yani atau suaranya yang memang bagus. Tapi kuakui jika
sahabatku yang satu ini memiliki keduanya. Entahlah pagi itu aku begitu
bersemangat memainkan biolaku. Mungkin dari hati kecilku berharap agar dapat
uang receh lebih, karena kini ada nenek Widuri bersamaku.
Kami
berduet menyanyikan lagu dari Bunga Citra Lestari feat Christian Bautista yang
berjudul TETAPLAH DI HATIKU;
kekasihku sayangku ku ingin kau tahu
hati ini kan selalu menantikan cintamu
kaulah yang pertama yang memberi arti cinta
tuk selamanya tetap di hatiku
ingin memelukmu mendekap hangat cintamu
tuk selamanya tetaplah di hatiku…..
Suara
biolaku mengalun indah, kupejamkan mata agar aku terbawa emosi saat memainkan
nada-nadanya. Kami saling melempar senyum saat menyanyikan lagu ini. Tak
terduga setelah kami selesai bernyanyi, hampir seluruh penumpang bus pagi itu
memberikan tepuk tangan untuk kami. Setelah ucapan terima kasih dan seperti
biasa kulakukan tugasku. Kuambil plastik permen dari saku celana dan
menyodorkan kepada penumpang bus dari depan hingga ke belakang.
Aku
dan Yani sangat senang hari itu. Sambil berlari kecil, kami saling kejar-kejaran
menuju kolong jembatan. Tak lupa aku membeli makanan untuk Nenek Widuri. Tiba
di depan gubuk kecilku, terlihat pintunya sedikit terbuka . Aku melongo ke dalam
dan kulihat nenek sedang membetulkan sesuatu. Melihat kedatanganku bersama
Yani, ia tersenyum. Aku lalu mengenalkan Yani pada nenek Widuri. Kulihat ada
sebuah lentera mungil yang tergantung di tiang kayu.
”Nek,
itu punya siapa?” Tanyaku heran
”Tadi
ada orang yang lewat sini terus ngasih lentera ini ke nenek,”
”Oh
ya, baik sekali orang itu nek. Alhamdulillah...horeee, aku bisa belajar dengan lentera yang terang.”
Kataku girang.
Nenek
dan Yani ikut tersenyum senang melihatku. Kami bertiga lalu menyantap makanan
yang aku beli di warteg tadi. Sambil bersenda gurau, banyak hal yang kami
bicarakan siang itu. Seolah melupakan tentang asal usul Nenek Widuri yang masih
misterius. Yani segera pamit pulang ke rumah ketika ada telepon dari Ayahnya.
Nenek memperhatikan aku yang sedang mengemasi buku-buku yang akan kubawa ke sekolah.
”Rendy,
kamu setiap hari ngamen sama teman kamu Yani tadi?”
”Iya
nek, Yani itu baik. Suaranya juga bagus. Dia selalu menemaniku ngamen. Aku bisa
sekolah berkat orang tua Yani, Nek.”
”Oh
ya, kok bisa?” Tanya nenek padaku.
Aku
lalu menceritakan awal pertemuanku dengan Yani saat meninggalkan panti asuhan.
Alis nenek terangkat, sesekali menghela nafas yang berat. Ia seperti menyelami
kisahku. Kulihat semburat kesedihan di wajahnya yang menyisakan kecantikan di
masa muda. Nenek Widuri sepertinya dari kalangan orang kaya, raut wajahnya
memancarkan itu. Pakaian yang di kenakannya pun sepertinya mahal.
Tapi
itu tidak penting lagi bagiku. Yang pasti nenek Widuri sekarang bersamaku dan
aku senang bersamanya. Nenek Widuri pun bukan nenek biasa. Ia jenius dan
berwawasan luas. Malam sebelumnya ketika aku mengerjakan PR-ku, ia malah banyak
mengajariku. Aku hanya tersenyum, makin bingung dibuatnya. Dalam hati kecilku
terus bertanya siapa dia.
Mendengar
semua penuturan tentang pertemuanku dengan Yani, hingga bisa sekolah, dan menjalani hari-hariku
di kolong jembatan, membuatnya menitikkan air mata. Aku tersenyum dan menyeka air matanya.
”Nek,
kenapa menangis. Maaf ya, saya jadi membuat nenek sedih. Tapi ini memang jalan
hidup saya, Nek. Saya bahagia kok. Apalagi sekarang ada Nenek Widuri di sini,
jadi saya tidak kesepian.”
Ia
semakin tidak bisa membendung air matanya lalu memelukku. Aku jadi terharu.
Telah lama sekali tidak merasakan pelukan seperti ini. Ia mengusap-usap
rambutku. Air mataku mengalir perlahan tapi segera kubuang jauh-jauh rasa sedih
ini. Biar bagaimanapun aku tidak boleh cengeng. Aku lalu pamit untuk berangkat
sekolah siang itu. Sambil menenteng tas bututku, aku bersiul menuju sekolah.
Saat
melewati teman-teman sesama pengamen yang sedang berkumpul dan melepas lelah, salah
satu temanku Erwin menyapa. Ia lalu mengatakan padaku tadi ada orang yang
datang ke sini. Ia pun mengatakan kalo orang itu berbincang bersama nenek
Widuri. Aku jadi teringat lentera kecil pemberian orang pada nenek. Mungkin orang
itu yang dimaksud nenek, pikirku. Aku lalu pamit pada teman-teman pengamenku
itu.
Pagi
itu aku menunggu Yani di halte sambil sesekali memainkan biola. Entah mengapa
perasaanku tidak enak. Tidak biasanya ia telat seperti ini. Dari kejauhan
kulihat Erwin berlari menuju ke arahku. Nafasnya yang masih memburu berdiri
tepat di depanku. Dengan nafas yang masih terengah-engah, ia mengatakan kalau
Yani sedang di ganggu oleh sekumpulan anak-anak sekolah di seberang jalan.
Tanpa
pikir panjang aku lansung berlari ke arah yang dimaksud Erwin. Kulihat Yani
yang sedang berusaha menghindari ke empat anak-anak berandal itu. Aku lansung
meneriaki mereka. Terlibatlah perkelahian diantara kami. Perkelahian yang tidak
berimbang 1 lawan 4. Aku jadi babak belur di buatnya. Darah segar mengalir di
hidung membuatku meringis kesakitan. Yani berteriak menangis, histeris
ketakutan.
Aku
tetap berusaha mempertahankan diri, saat aku meraih lengan baju salah satu
diantara mereka kugigit telinganya. Anak itu menjerit-jerit kesakitan. Ketiga
temannya lalu menarikku dan memukuli, tapi aku tetap melawan meski babak belur.
Aku terjatuh. Saat terjatuh kemudian mereka menendangiku. Beruntunglah saat
terdesak seperti itu, sekumpulan teman-teman pengamenku mulai berdatangan
sambil membawa alat di tangan masing-masing.
Melihat
itu ke empat anak-anak itu lansung kabur. Erwin dan sebagian teman-temanku
mengejar mereka dan entahlah apa yang terjadi setelahnya. Yang kutahu aku tidak
sadarkan diri dan mendapati diriku sudah berada di gubuk kecilku. Kulirik Nenek
Widuri. Wajahnya terlihat begitu sedih melihat keadaanku. Lalu ada Yani di
sebelah nenek yang masih menangis sesegukan. Aku baru kali ini melihat Yani
menangis. Selama ini yang kulihat adalah senyumannya.
Aku
masih merasakan sakit di bagian hidungku. Aku lalu berusaha bangkit tapi segera
di cegah nenek dan menyuruhku untuk tetap berbaring. Tapi aku bilang kalau aku
baik-baik saja dan tersenyum. Aku tidak boleh lemah di depan mereka. Aku tetap
Rendy seorang bocah yang tegar dalam menghadapi perjalanan hidupnya. Bagiku ini
adalah hal yang biasa bagi remaja seusiaku.
”Yani,
lo nggak usah nangis. Gue nggak apa-apa kok, yang penting lo nggak di jahatin
sama anak-anak itu.”
“Iya
Ren, makasih lo dah nolongin gue. Ini yang kedua kalinya lo nyelamatin hidup
gue. Entah gimana lagi caranya gue bales budi ke lo.” Ujar Yani yang masih
terisak.
“Alah…lebay ah!
Males deh gue dengernya. Udahlah kan gue sahabat lo, itu wajar. Nah sekarang
gue bisa sekolah itu juga karena lo.” Kataku sambil menepuk lengannya.
Nenek
Widuri yang melihat eratnya tali persahabatan kami, tersenyum bahagia. Nenek meledek, Yani
akhirnya tertawa dan akupun ikut tertawa meski masih menahan rasa sakit di
wajahku. Aku menyuruh Yani pulang dan kami tidak jadi ngamen hari itu. Erwin
dan teman-temanku kemudian muncul dan mengatakan kalau ke empat anak tadi telah
di beri pelajaran oleh mereka dan berjanji tidak akan pernah lagi mengganggu
Yani.
Aku berterima
kasih kepada mereka, Nenek Widuri yang sudah kenal dengan mereka pun tersenyum
dan mengucapkan terima kasih. Hari itu kuputuskan untuk tidak berangkat
sekolah, kukatakan pada Yani agar meminta ijin pada guru buatku.
***
Hari
demi hari berlalu. Tak terasa Nenek Widuri telah tinggal bersamaku selama satu minggu
lamanya. Tak ada tanda-tanda bahwa ia mengingat dari mana ia berasal dan
bagaimana ia bisa sampai di Jakarta. Maka aku pun tak pernah membahasnya lagi.
Aku senang tinggal bersama dengannya. Aku seperti memiliki keluarga kecil yang
bisa memberiku petuah-petuah. Meski usiaku baru 16 tahun, beratnya hidup yang
telah kulalui membuatku menjadi anak remaja yang kuat dan berpikiran lebih
dewasa.
Semakin
hari aku sangat dekat dengan nenek Widuri. Ia juga pandai bernyanyi, di
sela-sela waktu kami bersama, kumainkan biolaku mengiringinya bernyanyi. Lagu
andalannya dari kelompok musik The Beatles yang berjudul hei
jude..saat bernyanyi kulihat nenek seperti mengenang masa lalunya. Aku
terkadang meledeknya dan nenek suka tersipu dan menghardikku.
”Husss...jangan
bertanya seperti itu! Anak seusia kamu sebaiknya nggak usah mikirin soal
cinta-cintaan. Sekolah yang rajin biar jadi orang hebat.” Ujar nenek sembari
mengingatkanku. Kalimatnya terakhir itu yang selalu membuatku penuh semangat.
Jadi orang hebat. Hebat itu seperti apa ya, tanyaku dalam hati. Aku hanya tersenyum
dan mengangguk tanda setuju dengan ucapannya.
***
Siang
itu di sekolah, aku dan Yani duduk berdua saat jam istirahat. Tempat favorit di
kala santai yaitu kami duduk di bawah pohon besar yang terletak di taman
sekolah. Taman ini besar. Sekolahnya juga besar dan tentunya untuk bisa masuk
sekolah di sini biayanya pasti mahal. Aku bersyukur bisa sekolah di tempat ini.
Semua berkat orang tua Yani. Orang tua Yani adalah pengusaha yang terkenal
sekaligus pemilik sekolah ini.
Ia
anak bungsu dari kedua bersaudara. Kakak laki-lakinya tinggal dan kuliah di
Amerika. Kesibukan orang tuanya membuat Yani merasa kurang kasih sayang. Hingga
suatu hari di pagi itu ia meninggalkan rumahnya sebagai tanda protes pada kedua
orang tuanya. Saat itulah ketika berjalan, ia melamun dan sedang menangis. Ia
tidak menyadari ada sepeda motor yang melaju kencang menuju ke arahnya. Aku
yang berada di sekitar itu, dengan sigap segera menarik dan mendorongnya hingga
terjatuh.
Aku
kemudian mengajaknya duduk di taman, ia menceritakan persoalan keluarganya. Aku
pun menceritakan kisah hidupku, berharap agar ia lebih tegar dariku, karena
ternyata di dunia ini masih ada yang lebih susah dibanding hidupnya. Akhirnya ia
kubujuk dan mengajaknya untuk pulang kerumahnya. Orang tuanya sangat senang dan
berterima kasih padaku. Orang tua Yani menawariku untuk tinggal di rumahnya,
tapi aku menolaknya secara halus.
Sebagai
rasa terima kasihnya itulah aku kemudian diberi beasiswa untuk sekolah di sini.
Aku masuk kelas 1 sementara Yani telah kelas 2. Seharusnya aku juga kelas 2, tetapi setelah meninggalkan panti asuhan sejak
lulus SMP, selama satu tahun aku menghabiskan waktu di kolong jembatan itu
bersama teman-teman yang senasib denganku. Setelah kejadian itu kedua orang tua
Yani pun semakin perhatian padanya.
Persahabatanku
dengan Yani semakin erat sehingga ia dengan senang hati mau menemaniku ngamen
hampir setiap paginya, orangtuanya pun tidak melarang. Bahkan pernah suatu hari
kedua orangtuanya secara diam-diam mengikuti kami dan menaiki bus jurusan Pulo
Gadung-Blok M hanya untuk memastikan kegiatan ngamenku bersama Yani.
Semilir
angin di bawah pohon tempat aku dan Yani sedang beristirahat memberi kesejukan.
Sesejuk hatiku kini yang di kelilingi orang yang sayang padaku, termasuk nenek
Widuri, meski aku sesungguhnya hidup sebatang kara. Aku lalu teringat nenek
Widuri. Kutepuk pundak Yani yang kelihatan sedang memikirkan sesuatu.
”Eh,
Yani.. lo tahu nggak, nenek Widuri dua hari lagi berulang tahun!.”
”Haa, lo tahu dari mana?”
”Waktu itu gue sempet ngeliat KTPnya.”
”Terus...lo mau ngasih hadiah apa sama nenek?”
”Ehm..,waktu itu gue pernah nanya, Nenek Widuri mau makan apa?. Terus
ia jawab pengen makan pizza. Tapi gue
mana bisa beliinnya, pizza itu mahal
kan?” Tanyaku pada Yani. Ia tertawa meledekku.
”Eh..iya iya lo nggak usah ngeledek! gue ngerti, mana pernah gue makan
pizza, liat bentuknya aja kan belom
pernah. Nah lo kaya, pasti
sering makan pizza!” Kataku sedikit
sewot.
”Eehh...huuus,
sorry fren.. gue nggak masksud gitu
kok! Gini aja kita kan masih ada waktu nih, kita ngamen ngumpulin duit yang banyak, terus beliin pizza untuk nenek sebagai hadiah
ultahnya. Menurut lo gimana?”
”Waaah boleh juga
tuh ide lo! Terus kita buatin lagu untuk Nenek Widuri yuuk, sebagai kado
ultahnya. Pasti ia senang.” Ujarku dengan mata berbinar.
Kami lalu menyusun rencana untuk hadiah ulang
tahun Nenek Widuri. Jam ngamen kami tambah, untunglah ultah nenek hari senin,
jadi hari minggunya kami punya banyak waktu untuk ngamen.
***
Senin
pagi itu aku dan Yani memutuskan untuk tidak ngamen. Kami berlatih bersama
menyanyikan lagu untuk nenek. Lagu yang kami ciptakan itu kami beri judul; WAJAHMU
SEPERTI PURNAMA. Sore sepulang sekolah, aku dan Yani ke Mall untuk
membeli pizza. Syukurlah uang hasil
ngamen kami kemarin cukup untuk membeli pizza,
lalu kami bungkus kado. Kami juga
membeli kue ukuran mini yang kami beri lilin. Karena aku lupa berapa usia yang
tertulis di KTP Nenek Widuri, maka kami putuskan untuk menaruh hanya satu lilin
di atasnya.
Seperti
yang telah kami rencanakan, teman-teman pengamenku pun aku libatkan. Tepat jam
7 malam aku kemudian berdiri di depan gubuk kecilku. Dari luar kupanggil nama
nenek Widuri. Ia menyahutiku dari dalam, kuyakin ia khawatir padaku karena baru
pulang jam segini. Karena aku tak masuk, ia pun menyibak pintu dan melongo ke luar.
Saat itulah aku memainkan biolaku dan di sambut suara gitar teman-temanku yang
bermunculan satu persatu.
Nenek
Widuri seperti kaget melihat tingkah kami, ia tersenyum sumringah dan ke luar.
Yani muncul sambil bernyanyi, lalu menarik
tangan Nenek Widuri ke tengah-tengah kami. Suara biola dan gitar teman-temanku
menyatu mengalunkan nada-nada yang indah. Erwin kemudian muncul membawa kue
mungil yang telah kami beri lilin tadi. Melihat itu barulah Nenek Widuri menyadari
bahwa kami memberi surprise ulang
tahun untuknya. Air matanya mengalir terharu. Suara musik berhenti sejenak,
kami kemudian menyuruh nenek untuk meniup lilinnya.
”Nek..Selamat
ulang tahun ya,” Ujarku dan Yani hampir bersamaan. Kami berdua memeluknya. Ia
pun memeluk kami sangat erat. Ia berterima kasih, tersenyum dan mengelus-elus
rambut kami berdua. Aku mengatakan kalo kami berdua menciptakan lagu untuknya.
Kugesek biolaku dan kumainkan nada-nadanya. Teman-temanku pun segera memainkan
gitarnya termasuk Erwin yang hanya memiliki gitar mungil yang sudah tua.
Musik
mengalun merdu, Yani pun bernyanyi sambil memegang erat tangan Nenek Widuri.
Mendengar lagu kami seketika bulir-bulir air matanya menetes perlahan menghiasi
senyumnya yang mengembang. Aku tahu ia sangat terharu. Seketika kolong jembatan
itu seolah berubah menjadi pentas kecil yang mengharukan. Aku sangat senang
malam itu. Kulihat wajah nenek Widuri memancarkan kebahagiaan. Mungkin perayaan
kecil ini tak akan pernah di lupakannya. Malam itu berlalu dengan indah.
***
Aku
kaget dan segera terbangun saat Yani menggerakkan tubuhku. Aku lalu bangkit.
Biasanya Nenek Widurilah yang membangunkan aku jika ketiduran. Aku heran
mengapa ia tak ada, aku pun mencari-carinya.
”Nenek
Widuri mana?” Tanyaku heran pada Yani.
”Gue
baru datang, dan nggak ngeliat nenek!”. Aku segera berdiri dan mencari-carinya.
Kutanyakan
pada teman-teman sekitar gubukku tapi jawaban mereka tidak ada yang melihatnya.
Aku kemudian mengajak Yani mencarinya. Perasaanku kalut tidak karuan. Kami
akhirnya mencari–cari Nenek Widuri bersama semua teman-teman yang ikut
membantuku. Hampir semua tempat yang kami datangi tak ada yang mengetahui
ciri-ciri nenek yang kami sebutkan. Aku semakin kalut, Yani pun begitu.
Hingga
sore harinya kami tetap tak bisa menemukannya. Akhirnya kami memutuskan untuk
kembali ke kolong jembatan. Siapa tahu ia kembali ke sana, pikirku. Tapi tetap
saja nihil. Nenek Widuri seolah hilang entah ke mana. Aku terduduk lesu,
tiba-tiba mataku tertuju pada secarik kertas yang terselip pada lentera yang
masih menyala. Sewaktu bangun tadi pagi aku lupa memadamkannya. Bergegas kuambil kertas itu.
Ternyata
itu surat dari Nenek Widuri. Entah kapan ia menyelipkannya. Ia mengucapkan
terima kasih atas kebersamaan kami selama ini. Nenek pamit pulang, dan katanya
lagi tidak usah mencari nenek. Suratnya begitu singkat. Membaca itu seketika
aku menangis, dan meneriakkan namanya. Yani memelukku dan berusaha
menenangkanku ia pun menangis.
Meski
kebersamaan kami singkat, tapi aku begitu merasa kehilangannya. Namun yang
menjadi pertanyaanku ia pulang ke mana? Bukannya ia lupa harus pulang ke mana?
Atau apakah ia telah mengingat kemana harus pulang? Tapi mengapa ia pergi
begitu saja!?. Pertanyaan-pertanyaan ini mengisi rongga hatiku. Aku begitu
sedih dibuatnya. Malam itu aku begitu merasa kesepian, tidak ada lagi suara
nenek yang terkadang bernyanyi dengan biolaku. Tak ada lagi tawa-tawa kecilnya
yang menemaniku saat belajar.
Kini
aku meratapi kesendirianku. Andai saja Nenek Widuri tidak pernah hadir
bersamaku di gubuk ini, pastilah aku tidak akan sesedih ini. Aku pun berdo’a
agar tidak terjadi apa-apa dengannya dan semoga ia bisa berkumpul bersama
keluarganya kembali. Akhirnya aku tinggal sendiri lagi, sepi, hanya berteman
lentera baru dan biolaku. Malam itu akupun terlelap dengan kesedihan yang masih
bersamaku.
***
Tiga
hari telah berlalu. Nenek Widuri benar-benar telah pergi meninggalkanku. Aku
tetap melakukan aktivitasku seperti biasa. Ketika aku sedang berjalan menyusuri
trotoar saat berangkat sekolah, tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti tepat di sampingku. Dua orang yang
berbadan tegap menyuruhku untuk segera masuk ke dalam mobil. Aku menolak dan
ingin segera kabur. Tapi mereka segera menangkapku dan memaksaku masuk ke dalam
mobil.
Aku
berteriak, minta tolong. Aku sangat ketakutan. Tapi ke empat orang yang ada di
atas mobil tersenyum padaku dan memperlakukanku dengan baik. Mereka mengatakan
padaku bahwa mereka tidak akan berbuat kasar jika aku menurut apa kata mereka.
Aku lalu bertanya mau dibawah ke mana, dan apa kesalahanku. Mereka tidak
menjawab tapi hanya tersenyum. Aku semakin ketakutan, namun aku sadar tidak
bisa berbuat apa-apa selain mengikuti apa kata mereka.
Mobil
yang membawaku kemudian masuk ke dalam rumah yang begitu besar dan mewah.
Halaman rumahnya luas. Entahlah ini kawasan mana, yang pasti kutahu kalau ini
masih Jakarta. Ke empat orang tadi segera turun dan menyuruhku untuk mengikuti
mereka. Aku hanya menurut saja. Pintu terbuka dan kulihat seorang nenek berdiri
menghadap kami. Seolah tak percaya aku menatap lekat-lekat padanya.
Ia
tersenyum padaku. Aku pun lansung mengenali senyuman itu. Ia adalah Nenek
Widuri, aku tak lagi menghiraukan kebingunganku. Setengah berlari aku memeluknya.
Aku menangis melepas kerinduanku padanya. Ia pun memelukku.
”Nenek
Widuri, kenapa di sini? Nenek tidak kenapa-kenapa?”Tanyaku masih
menghawatirkannya. Ke empat orang yang menculik aku tadi hanya tersenyum-senyum
mendengar pertanyaanku.
”Nenek
baik-baik saja kan, seperti kamu lihat. Selamat datang di rumah nenek, ayo
masuk.” Aku makin bingung.
Nenek
kemudian menuntunku masuk ke dalam rumah. Megah sekali rumah itu. Lalu kulihat
Yani menghampiriku sambil tersenyum sumringah. Kedua orang tua Yani pun ada di situ.
Aku semakin bingung di buatnya. Selain kedua orang tua Yani, ada sepasang suami
istri juga yang belakangan ku ketahui itu adalah anak tunggal nenek dan
menantunya. Namanya Ardi Setyawan dan Istrinya bernama Tasya Andini. Mereka
semua sangat ramah menyambutku.
Kami
kemudian berkumpul di ruang keluarga. Akhirnya nenek bercerita padaku bahwa
sebenarnya nenek tidaklah kesasar. Semua ini memang telah di rencanakan oleh
keluarga Nenek Widuri dan orang tua Yani, tapi tanpa sepengetahuan Yani
tentunya. Ayah Yani dan Om Ardi ternyata bersahabat dari kecil dan jadi rekan
bisnisnya. Sejak menikah 20 tahun yang lalu Om Ardi tidak juga di karuniai anak
namun mereka juga tidak ingin mengadopsi anak karena masih berharap agar ia
dapat memiliki anak dari rahim istrinya sendiri.
Hingga
akhirnya ayahnya Yani kemudian menceritakan padanya perihal diriku. Entah mengapa
Nenek Widuri dan Om Ardi beserta istrinya tertarik dan ingin mengadopsiku. Tapi
karena usiaku yang telah remaja, mereka tahu ikatan bathin antara anak dan
orang tua pasti tidak akan sama rasanya jika mereka mengadopsiku sejak
bayi. Sehingga nenek Widuri memiliki ide
untuk membangun ikatan bathin dengan cara tinggal bersamaku.
Ternyata
di luar dugaan, meski hanya beberapa hari bersamaku ia memang merasa bahagia,
ia seperti melihatku adalah cucunya yang benar-benar telah hidup lama
bersamanya. Dan katanya lagi, Nenek Widuri sayang padaku. Satu hal yang tidak
akan pernah dilupakan dalam hidupnya, adalah bagaimana aku memberikan kejutan,
kado istimewah di ulang tahunnya. Ia kemudian mengelus-elus rambutku dan
menarik nafas yang panjang.
”Rendy,
mulai sekarang nenek mau kamu tinggal bersama kami disini ya. Nenek harap kamu
nggak menolak, mau kan?” Tanya Nenek Widuri sambil menatapku penuh kasih. Aku
masih seolah tak percaya dengan semua ini. Aku menoleh pada Yani dan kedua
orang tuanya, mereka tersenyum dan mengisyaratkan agar aku tidak menolak. Aku
lalu menoleh pada Om Ardi dan istrinya mereka mendekatiku dan meraih tanganku,
kulihat di mata mereka pun memiliki harapan yang sama.
Tiba-tiba
air mataku perlahan jatuh, aku seolah menemukan keluarga yang tak pernah
kutemukan sejak kecil.
”Iya nek, Rendy
mau..” Aku seketika lansung memeluk Nenek Widuri. Begitupun ia memelukku,
termasuk Om Ardi dan istrinya yang akhirnya aku panggil ayah dan ibu.
Seketika
ruangan besar itu penuh keharuan. Sejak saat itu aku tinggal bersama keluarga
itu. Mereka sangat mengasihiku. Setamat SMU aku segera menyusul Yani yang lebih
dulu kuliah di Amerika, hingga menyelesaikan S2 di jurusan bisnis. Yani yang
lebih dulu lulus tetap menemaniku di Amerika hingga akupun menyelesaikan S2.
Selama setahun Yani membantu kakak laki-lakinya mengurus bisnis orang tuanya di
Amerika.
Setelah aku lulus kami pun pulang ke Indonesia
dengan bangga membawa gelar magister kami dengan nilai cumlaude. Lagi-lagi nenek
Widuri bersama ayah dan ibu selalu bangga padaku. Kami merayakan kebahagian itu
dengan mengadakan syukuran kecil-kecilan, dan tak lupa aku mengundang semua
sahabat-sahabat sesama pengamenku dulu yang masih sering berhubungan denganku,
termasuk Erwin yang telah memiliki sebuah cafe kecil-kecilan atas bantuan modal
dari Nenek Widuri.
Ayah
Ardi kemudian mempercayakan kepemimpinan semua perusahaan kepadaku. Kujalani
hari-hariku kini menjadi seorang direktur prusahaan ternama di Jakarta. Sesuai
permintaanku dulu sewaktu masih kuliah di Amerika, ayah mengabulkan
permintaanku agar membangun kantor baru tepat di seberang jalan kolong jembatan,
di mana aku dulu pernah mengukir kenangan bersama Nenek Widuri disana.
Aku
juga membangun sebuah yayasan sosial yang kuberi nama yayasan Widuri, itu
kuperuntukkan untuk anak-anak jalanan yang tetap harus sekolah. Yani pun
kemudian menjadi parnert bisnisku, karena ia pun telah di percaya untuk
memimpin perusahaan ayahnya. Hampir setiap hari kami meeting bersama,
persahabatan kami pun tetap terjalin sejak remaja hingga sekarang.
Pernah
suatu hari kedua keluarga kami, mencandaiku dan Yani. Mereka mengatakan jika
kami berdua kelihatan cocok, kenapa kalian tidak pacaran dan menikah saja. Saat
itu kami saling berpandangan dan tertawa, malah kami lansung saling tonjokan.
Kami mengatakan pada mereka bahwa persahabatan ini tidak ingin kami nodai
dengan perasaan cinta, biarkan kami bersahabat hingga ajal menjemput. Mereka
pun mengerti dan ikut tertawa bersama kami. Hingga akhirnya kami menikah dengan
pilihan hati masing-masing.
”Pak
Rendy, ada telepon dari pak Ardi.” Ujar salah satu karyawanku yang segera
membuyarkan lamunanku ke masa silam. Aku dan Yani segera bangkit. Menghirup
nafas dalam-dalam menatap kolong jembatan yang kini telah menjadi bersih. Tak
ada lagi gubuk kardus seperti dulu. Kami saling memandang dan tersenyum. Sambil
bersenda gurau seperti biasa, kami kembali ke ruang meeting.
THE
END