KERINDUAN YANG PERIH
oleh: M.YUSUF PUTRA SINAR TAPANGO
pada 19 Maret 2011 jam 1:15
”Apa? Kamu mau menikahi anakku, kerja tidak punya! Lalu dengan apa kamu nanti menafkahinya? Hanya bermodal cinta! Kamu mengerti, jika menikahi perempuan itu, harus membawa mahar. Itu adat sebagai orang sulawesi,..”. Aku terdiam. Apalah dayaku sebagai orang tak mampu. Emosi, terhina tapi kusadar itu benar adanya. Pedih terasa. ”Dasar orang tua matre”, gerutuku. Kulirik Naya yang hanya tertunduk bergelimangan air mata. Aku berlalu pergi.
Pagi itu, surya bersinar malu. Embun pagi dedaunan memberi kesejukan. Kurapatkan jaket, kuangkat rangsel bututku ke pundak. Pamit pada Ibu dan adik-adikku. Di antara samar kabut pagi itu, kulihat sosok Naya berdiri. Aku terhenti sejenak di ujung jalan setapak. Terdiam seolah tak percaya. Tiba-tiba sosok itu berlari, menabrak, memeluk, membuyarkan keterpakuanku. Kubelai rambutnya. Kutatap matanya. Ada Perih mengoyak hatiku. Mata beradu tanpa kata. Air mata pun tumpah. Kusandarkan ia di dadaku.
”Sayang...aku pergi untuk sementara. Jaga diri yah, aku pasti sangat merindukanmu. Aku akan berkirim surat, setelah tiba di Jakarta,”
”Kak Rendy...rasanya tak sanggup kehilanganmu di sisiku, meski hanya sementara.” Suara Naya lirih diantara isaknya. Hening sesaat. Lama kami terdiam. Perlahan kulepaskan pelukanku. Tangannya kugenggam erat.
”Sayang ini memang berat, aku harus pergi. Semua ini kulakukan untuk membuktikan pada orang tuamu. Setelah mengumpulkan uang, aku pulang melamarmu.”
Aku meninggalkannya dengan berurai air mata. Kulangkahkan kaki tanpa menoleh ke belakang. Kesedihan itu tak terkira rasanya. Yah...dua tahun sudah saat itu berlalu. Aku sangat merindukannya. Ia menjadi sulu hidupku di kota besar ini. Setiap bulan, lewat sepucuk surat kukabarkan tentangku. Balasan suratnya setia menghampiri, pengobat rinduku. Namun dua bulan kini, suratku tak terbalas. Akhirnya kuputuskan pulang kampung.
Kerinduan kurasakan kini di ambang batas. Tergesa menapaki jalan setapak rumahku. Ibu dan adik-adikku, terperanjat kaget dan girang saat kuberdiri di depan pintu. Serentak memelukku. Kami pun terharu, melepas rindu. Aku pamit untuk menemui Naya, tapi semua membisu. Kubalik badan, namun tangan ibu segera menarikku. Ia menggeleng.
”Nak...Naya telah menikah dengan pilihan orang tuanya tiga minggu lalu, maaf kami tidak tega memberitahumu”. Bibirku terkunci. Seluruh tulangku seolah akan segera lepas dari persendian. Aku tersungkur ke lantai dengan air mata kerinduanku, yang kini terjawab dengan kehilangannya. Perih tapi nyata. Ibu memelukku memberi kehangatan. Memberi isyarat jika aku harus ikhlas menerima kenyataan ini.