Gadis Senja di Pantai Palippis
Oleh : M.Yusuf Putra Sinar Tapango
AKU berlari kecil mengikuti
keponakanku Haeder yang sedang asyik berlari bermain ombak. Kupercikkan air
padanya, ia pun membalas sambil berlari memutariku. Ia begitu riang, ceria, sesekali
menarik tanganku agar mengikutinya melawan ombak yang sedang bergulung ke arah
kami. Ah, masa kecil yang mengasikkan, kata hatiku memerhatikannya.
Semburat senja telah terlihat lelah
di ufuk barat. Pertanda malam
akan segera tiba. Kuajak Haeder berkemas pulang ke rumah. Semilir angin pantai
Palippis menerpa wajahku memberi kesejukan. Enggan rasanya meninggalkan
keindahan sore ini. Namun aku mengkhawatirkan Haeder yang masih kecil. Cuaca
seperti ini tidak bersahabat bagi anak seumurannya.
Kami kemudian menyusuri pantai
dengan langkah santai. Sabtu sore itu tampak ramai oleh pengunjung. Pantai
Palippis memang indah. Pantai ini terletak di Kabupaten Polewali Mandar
Propinsi Sulawesi Barat. Selain pemandangan pantainya, berjejeran kapal nelayan
yang sedang terikat rapih di pinggir pantai, menambah keindahan suasananya.
Gunung-gunung dan perbukitan di seberang jalan yang terlihat jelas dari pantai
menambah lengkap keindahannya.
Namun
pemerintah setempat tampaknya belum mempromosikan dengan baik tempat wisata
ini. Terbukti pengunjung yang datang ke sini adalah orang-orang setempat ini
saja. Malam harinya aku cepat tidur agar besok bisa bangun pagi dan kembali ke
pantai lagi.
***
Aku kembali menyusuri pantai
Palippis. Kumainkan kameraku, mengambil beberapa gambar yang menurutku sangat
indah. Aku tak menghiraukan lagi bagian mana harus aku ambil gambarnya,
semuanya indah. Nantilah, setelah tiba di rumah, maka aku akan memilih-milih
gambar yang sesuai dengan keinginanku.
”Kuraaang
ajar!!! Awas kamu ya!”
Tiba-tiba
terdengar pekikan seseorang. Aku terperanjat kaget dan berpaling. Kulihat
seorang gadis muda berlari ke arahku sembari membawa sebuah golok. Wajahku
pucat pasi. Tak ada lagi yang dapat kulakukan selain mengambil langkah seribu.
Tiba di rumah nenek, aku lansung
terduduk lesu di teras rumah. Napasku masih memburu. ”Sial, siapa gadis itu!” umpatku. Aku baru menyadari jika kameraku
tertinggal di pantai saat berlari tadi. Kuajak beberapa temanku kembali ke
pantai. Tiba di pantai, tak kutemukan lagi kamera itu. Kucari dan kucari.
Kutelusuri sepanjang pantai dan tempat di mana tadi aku berlari, tetap saja
nihil.
Tapi,
bukan soal kamera yang kini bermain di kepalaku. Siapa gadis yang telah
mengejarku tadi? Sekilas kulihat wajah cantiknya, tapi matanya, mengisyaratkan
kebencian. Tiga jam sudah aku dan teman-temanku mengitari sepanjang pantai dan
sekitarnya, tapi tetap saja nihil. Tak kutemukan kameraku. Salah satu temanku
lalu menyarankan untuk mencari gadis pembawa golok tadi.
”Mungkin,
ia yang mengambilnya,” ujar salah satu temanku. Aku hanya menarik napas. Aku
kalut. Ngeri sekali rasanya jika harus bertemu dengan gadis itu lagi. Aku masih
mengingat jelas tatapan matanya. Penuh kebencian. Seolah ia ingin menerkamku.
Ada ketakutan yang menyelimutiku. Namun aku tak ingin jika teman-teman
mengetahui apa yang aku rasakan. Pasti mereka mencibirku, pecundang sekali jika
laki-laki takut pada seorang gadis.
”Baiklah
teman-teman, karena sudah mulai gelap, besok saja kita lanjutkan mencari
kameranya. Mungkin orang yang menemukannya akan kembali ke sini lagi,” ujarku
dan kami akhirnya memutuskan pulang.
***
Senja keesokan harinya aku kembai ke
pantai seorang diri. Aku memberanikan diri, karena ada info jika sore itu,
adalah jadwal dari kesatuan brimob akan berlatih di pantai. Setidaknya jika
gadis yang kuanggap gila itu tiba-tiba datang menyerangku akan minta tolong
pada mereka. Aku lalu duduk di atas sebuah batu besar yang menjorok ke pantai.
Suasana senja hari itu memamerkan keindahannya.
Kicau
burung bersahutan dari belakang pepohonan tempat aku duduk. Lalu ada pelangi
yang melintas di atas permukaan laut. Indah sekali. Kuperhatikan dari kejauhan kesatuan
Brimob yang sedang berlatih. Sambil sesekali memotret menggunakan ponselku.
”Hai...”
tiba-tiba suara seseorang membuatku
terperanjat dan terjatuh.
”Aaaw...sakit!”
pekikku menahan rasa sakit. Lenganku tersayat batu dan berdarah. Aku berusaha
bangkit. Jantungku terasa mau copot saat kutahu suara itu berasal dari gadis yang
waktu itu mengejarku.
”Haaa..Kamu! Sa...saya salah apa?” ujarku ingin segera berlalu dan
membalikkan badan.
”Kak Rendy, tunggu!”
Langkahku terhenti. Bukan
main kagetnya aku saat ia mengetahui namaku. Aku mencoba menatapnya. Kali ini
hatiku berdesir. Sosok yang tampak di depanku adalah gadis yang begitu cantik.
Tatapan matanya pun memberi keteduhan. Seolah masih tak percaya, ia gadis yang
tadinya begitu menakutkan bagiku berubah menjadi gadis secantik ini.
”Kak
Rendy, ini kameranya.”
Ia
menyodorkan kamera padaku sambil tersenyum simpul. Tanpa ragu segera kuraih dan
memeriksanya. Memastikan tidak ada kerusakan. Benar dugaanku, gadis ini yang
menemukannya.
”Eh,
Kak! lengannya berdarah tuh.”
Ia
kemudian meraih lenganku dan menyeka perlahan darahnya dengan tisu. Aku hanya
terdiam. Membisu. Entahlah, mengapa bibirku seolah terkunci. Kutatap lekat
wajahnya. Ia begitu lembut. Tutur sapanya halus. Seketika aku begitu terpesona
melihatnya.
Bahkan
ketika ia berlalu pergi aku hanya termangu. Baru tersadar ketika ia memanggil
namaku dari jauh sembari melambaikan tangannya. Aku belum berterima kasih
padanya maka kukejar gadis itu.
”Hei,
tunggu! terima kasih, ya. Nama kamu siapa?” teriakku sambil berlari kecil
menyusulnya.
”Panggil
aku, Becce.”
Ia
menyebutkan namanya. Namun anehnya, saat kukejar ia pun berlari menjauhiku.
Membuatku tertantang mempercepat lari. Tapi tetap saja ia semakin jauh dari
hadapanku. Aku berteriak memanggil-manggil namanya.
Hingga
akhirnya sayup terdengar suara ibuku sambil menggerak-gerakkan tubuhku. Aku
terperanjat kaget dan membuka mata. Ibu tersenyum padaku. Aah...ternyata aku
tadi hanya bermimpi. Mimpi burukkah? Tidak juga, karena ada Becce memperindah
mimpi itu, gumamku dalam hati. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
”Rendy,
kamu mimpi ya, Nak? Tadi ibu kaget saat kamu teriak-teriak memanggil nama
seseorang,” ujar ibuku.
”He’e
iya kali, Bu,”
”Ayo
bangun udah siang, katanya kamu mau ke pantai.”
Ibu
menyibak tirai jendela kamarku. Lalu berlalu pergi meninggalkanku yang masih
terbaring malas. Sinar matahari pagi menyusup masuk kamar membuat silau. Aku
teringat mimpi semalam. Seperti nyata rasanya. Seorang gadis bermata merah,
menyembunyikan dendam dan amarah di matanya sambil membawa golok. Ia
mengejarku.
Kemudian
tiba-tiba ia berubah menjadi gadis yang begitu cantik, mempesonaku. Gadis itu
menyebutkan namanya Becce. Sebuah nama khas untuk seorang gadis suku Mandar Sulawesi
Barat. Aaah...hanya sebuah mimpi. Tapi mimpi itu begitu panjang. Seperti
terdiri dari beberapa episode.
***
Sore itu aku menuju pantai Palippis
dengan bersepeda. Yah, jarak rumah nenek ke pantai memang dekat. Hanya 500
meter di seberang jalan utama. Aku baru dua kali ini liburan ke rumah nenek.
Meskipun kedua orangtuaku berasal dari Sulawesi Barat tapi keduanya menetap di
Jakarta. Sepeda kuparkir lalu menyusuri pantai sambil sesekali menendang-nendang
gundukan pasir kecil yang kutemui. Aku memang begitu takjub dengan keindahan
pantai ini.
Pasirnya
putih. Jika kita berdiri menghadap ke laut. Akan terbentang laut yang begitu
indah. Kapal-kapal nelayan yang hilir mudik menambah indah suasananya. Bahkan
menurut keterangan orang sekitar. Pantai di bagian baratnya sekitar 300 kapal
nelayan berjejer di sana saat petang. Lalu kuputar badanku menghadap jalan
utama. Maka tidak kalah indahnya, pemandangan gunung-gunung di seberang jalan yang
menghijau. Pohon-pohonnya tinggi, daunnya lebat.
Di
bawahnya ditanami pohon kakao. Buah kakao itulah bahan dasar coklat yang menjadi
makanan favorit orang kota. Melihat hijaunya gunung-gunung itu seolah memberi
kesejukan di sana. Ehm...semua masih alami. Aku yakin suatu hari nanti jika di
kelola dengan baik, kawasan ini akan jadi tempat wisata terkenal di Sulawesi
Barat.
Aku terus berjalan dan membiarkan
kakiku tersapu ombak. Besok aku dan keluargaku akan kembali ke Jakarta. Maka
kupergunakan kesempatan sore ini untuk mengambil foto sebanyak-banyaknya.
Kamera kumainkan. Dalam hati kecilku berharap semoga mimpi semalam itu terjadi
hari ini. Andai gadis bernama Becce itu membawa golok sekali pun aku tidak akan lari.
Aku lalu mencari batu tempat aku duduk seperti dalam mimpi itu.
Ahaa..
ternyata batu itu benar ada. Aku segera naik ke atasnya. Spontan berdo’a dan berharap ada suara gadis itu
datang menyapaku. Aku menutup mata. Berkonsentrasi. Tidak ingin melewatkan
sedikit pun jika ada suara yang terdengar. Detik demi detik berlalu. Harapan
itu sia-sia. Ia tidak datang. Aku menghela napas. ”Bodohnya aku, itu kan hanya mimpi,” hardikku pada diri sendiri.
Angin malam mulai terasa meyentuh lembut kulitku.
Matahari
senja telah terbenam. Puluhan lampu kapal nelayan telah menghiasi laut di
depanku. Aku berdiri. Kufoto sekali lagi pemandangan yang begitu menakjubkan
itu. Enggan rasanya meninggalkan pantai ini. Meski ini terdengar bodoh. Meski
ini hanyalah sebuah mimpi. Aku merasa telah jatuh cinta, pada gadis yang hadir
kala senja di Pantai Palippis yang bernama Becce itu. Yaah.. kusebut ia gadis
senja Pantai Palippis. Aku tersenyum, lalu berteriak kencang.
”Becce...di
mana pun kamu I love U...” Teriakku.
Orang sekitar yang melihat tingkahku hanya tersenyum heran. Aku berlalu pulang
ke rumah nenek, untuk mempersiapkan kepulanganku besok ke Jakarta.
THE END