Wajah Wajah Penuh Galau
Oleh
: M.Yusuf Putra Sinar Tapango
Tergesa berjalan menuju pesawat
yang akan kutumpangi menuju kampung halamanku. Sedikit trouble di jalan
membuatku hampir ketinggalan pesawat. Aku menghela nafas lega saat melangkahkan kaki ke dalam
pesawat. Segera
kurapihkan tas bawaanku ke dalam
kabin. Lalu duduk di seat no 17.A
sesuai yang tertera di tiket. Tempat yang sangat pas, gumamku. Aku berada di
samping jendela kaca pesawat.
Penerbangan dari Bandara Udara
Soekarno-Hatta menuju ke Bandara Udara Supadio Pontianak akan memakan waktu
lebih dari satu jam. Burung besi yang akan mengantarkanku kembali ke kampung
halamanku perlahan bergerak. Dalam hitungan menit kemudian, burung besi ini
telah melaju. Melesat dan meninggi. Aku melihat jauh ke bawah dari jendela kaca
pesawat. Perlahan pandanganku semakin samar tergantikan gumpalan awan putih
berarak.
Kini wajah adikku telah bergelayut
di pelupuk mataku. Lalu ibu, almarhum bapak, dan keluarga besarku. Aku memang
menjadi anak rantau di Jakarta. Bekerja di sebuah rumah sakit terkenal dan
berprofesi sebagai dokter ahli kandungan. Masih terbilang baru memang. Aku
resmi menjadi dokter ahli kandungan selama dua tahun.Yah, aku termasuk salah
satu dokter muda. Kepulanganku ke Pontianak kali ini, untuk menghadiri acara
pernikahan adik perempuanku Lianti, tepatnya dua hari yang
akan datang.
Setelah ayahku meninggal beberapa
tahun lalu, sebagai anak sulung, kini aku yang menjadi tulang punggung
keluarga. Dalam pernikahan adikku nanti, ia memintaku untuk mendampinginya
sebagai pengganti ayah. Aku menghela nafas dan membuangnya perlahan. Ada rasa
haru yang tiba-tiba datang menggelitik sanubariku. Aku membayangkan bagaimana
wajah adikku dan permohonan maafnya, karena ia akan melangkahiku menikah lebih
dulu.
Tak lama kemudian, terdengar suara
dari seorang pramugari. Beberapa pramugari kemudian memperagakan tata cara
penggunaan alat keselamatan, sesuai instruksi yang dijelaskan melaui pengeras
suara. Aku memperhatikan dengan seksama instruksi mereka. Saat seperti ini,
terkadang banyak penumpang pesawat yang acuh tak acuh. Padahal bagiku, ini
sangatlah penting. Terlebih lagi, saat ini aku duduk tepat di samping pintu
darurat. Jadi aku harus mengerti cara penggunaanya, bilamana terjadi hal-hal
yang tak diinginkan.
Kulirik penumpang sebelahku. Ia adalah
seorang Ibu muda bersama anaknya. Kuperkirakan anaknya baru berumur sekitar dua
tahun. Anak laki-laki itu begitu lucu. Giginya tumbuh rapih dan sangat lucu
saat ia tertawa. Saat sang anak melihatku, aku pun mencandainya. Ia tertawa
malu melihatku. Aku meberanikan diri untuk menyapa ibunya.
“Mbak, tujuannya ke Pontianak
juga?” ujarku.
“Iya benar, saya asli Jakarta, tapi
suami orang Pontianak. Kami sekeluarga menetap di Jakarta. Kebetulan, suami saya
lebih dulu pulang ke Pontianak, Ibu mertua sedang sakit keras.” jawabnya ramah.
“Ooh..oia anaknya lucu, Mbak.” Kataku
sembari menyentuh jari sang anak.
Namun tak kusangka ia tiba-tiba
menangis. Mungkin nalurinya sebagai anak protes, karena seorang laki-laki lain
sedang mengajak ngobrol ibunya. Cemburu mungkin, aku mengira-mengira dan
tersenyum. Aku berpaling ke luar jendela pesawat memandangi awan. Entah mengapa
aku tiba-tiba terserang kantuk dan akhirnya membuatku terlelap.
***
Teriakan histeris para penumpang pesawat
membuatku tersentak dan terbangun. Kegaduhan terjadi di dalam pesawat. Aku
belum tahu pasti apa yang sedang terjadi. Ingin bertanya pada ibu sebelahku,
tapi ia sedang sibuk mendiamkan tangisan keras anaknya. Aku tak dapat lagi
mendengar dengan jelas instruksi dari seorang pramugari. Suara
teriakan-teriakan histeris, spontan membuat suasana menjadi tidak karuan.
Kegaduhan terjadi di sana sini. Kurasakan pesawat seperti oleng. Aku sadar
sedang terjadi masalah besar. Spontan aku berdoa dalam hati. Goncangan keras
terjadi. Semua berlalu begitu cepat. Sekejap dan pandanganku gelap.
Mataku mengerjap terbuka saat
sayup-sayup seperti terdengar suara ibu dan adikku memanggil-mangil namaku. Perlahan
mataku terbuka. Tapi itu hanya ilusinasiku. Ternyata yang kudapati bukan ibu
ataupun adikku. Suara-suara merintih kesakitan dan meminta tolong memenuhi
gendang telingaku. Mataku menangkap rimbunan pepohonan di luar jendela kaca
pesawat. Aku sadar pesawat yang aku tumpangi mengalami kecelakaan. Terjatuh dan
sepertinya di hutan belantara. Sakit pada lengan kiriku membuatku susah
bergerak. Ada rasa perih pada bagian
pelipis kiri. Kuraba pelipisku. Ternyata darah mengalir perlahan di sana. Aku
meringis kesakitan. Benturan keras tadi membuatku tak sadarkan diri meski hanya
beberapa menit.
Tangisan anak kecil yang lirih dan
kesakitan terdengar jelas olehku. Pasti anak laki-laki tadi, pikirku. Aku
berusaha melepaskan diri dari kursi yang menghimpitku. Pandanganku gelap karena seluruh lampu ruangan
pesawat mati. Akhirnya dengan segala kekuatanku yang tersisa aku melepaskan
diri. Aku berusaha menggerak-gerakkan tubuh ibu muda di sebelahku.Tapi tak ada
reaksi. Hatiku semakin kalut. Aku berusaha melewatinya dan menggapai kabin.
Sementara kursi di sebelah sang ibu muda ini entah kenapa sudah kosong. Segera
kubuka kabin pesawat tempat aku menaruh tas dengan meraba-rabanya. Di dalam
tasku, ada senter kecil dan beberapa obat-obatan.
Dengan susah payah, akhirnya
kutemukan juga tasku. Segera kubuka dan mengambil senter kecilku. Saat
menyalakannya, aku hampir histeris. Kini, terpampang dengan jelas meski hanya
dengan cahaya lampu senter, darah berceceran di mana-mana. Aku segera mencari
asal suara tangisan si anak itu. Ternyata ia ada di bawah bangku ibunya. Ada
darah yang terlihat ke luar dari pergelangan tangannya. Sementara di bagian
depan dan belakang pun kini sudah mulai banyak teriakan. Itu pertanda masih ada
yang hidup selain aku.
Kini aku harus berbuat sesuatu. Senter
kecilku kumasukkan ke dalam mulut dan aku segera mengeluarkan sang anak dari
bawah bangku. Ia menggeliat, kini terdengar jelas suaranya. Aku beralih pada
sang ibu. Darah membasahi bajunya. Dari kepalanya ada darah yang terus
mengalir. Aku tahu pasti terjadi benturan keras di kepalanya. Aku ingat, ia
tadi melepaskan seatbeltnya saat memberi minum dari botol susu pada
anaknya. Hatiku miris. Kurasakan denyut nadi sang ibu muda ini tak berdenyut
lagi.
Sementara tak jauh dari tempat aku,
suara seseorang perempuan berteriak meminta bantuan. Aku segera membuka tasku. Teringat
masih ada senter kecil. Aku memang membawa satu senter kecil lagi buat
cadangan. Kunyalakan dan kulempar pada asal suara di belakangku. Dari cahaya
kecil senterku, kulihat dia adalah seorang gadis muda. Dari tampilannya
terlihat masih seperti anak kuliahan.
“Mas, buka pintu darurat itu!” teriaknya
padaku.
Sembari menggendong anak laki-laki
yang terus menangis di tangan kananku, aku beranjak pada pintu darurat. Mencoba
dengan sisa-sisa tenagaku membukanya. Kini terpampang sudah hutan belantara di
depanku. Kini aku didera kebingungan. Apa yang harus kulakukan? Ke luar dari
pesawat meletakkan sang anak ini yang sedang sekarat? Atau kembali masuk
bersama lainnya untuk membantu penumpang yang masih selamat? Tangisan sang anak mereda, matanya
mengerjap-ngerjap. Kemeja putih yang kukenakan kini menjadi merah. Pelipis
kiriku nyeri sekali. Lengan kiriku terasa sakit saat aku menggerakkannya. Kuputuskan
untuk segera ke luar dari pesawat.
Sementara telah terlihat beberapa
orang yang sudah berhasil ke luar lebih dulu. Mereka pun sepertinya terluka.
Entah bagaimana cara mereka ke luar, aku tak peduli lagi pertanyan-pertanyaan
di kepalaku. Tidak. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus kuat, bathinku. Sebagai
seorang dokter aku sudah terbiasa melihat darah. Namun dalam kondisiku yang
sedang terluka aku sadar kemampuanku sangat terbatas. Sementara di dalam
pesawat, kini banyak nyawa yang sedang meradang. Entah kapan bantuan akan
datang, hatiku getir. Kini wajah adikku Lianti bermain-main di pelupuk mataku. Bagaimana
dengan pernikahannya tanpa kehadiranku?
Aku mendekati seorang bapak yang
tak jauh dariku. Ia bersandar pada pohon besar. Terduduk lesu dengan tatapan
kosong. Pada wajahnya terlihat beberapa luka meskipun tidak besar.
“Pak, tolong sebentar, bisa gendong
anak ini? Saya mau mengambil handphone dari saku celana saya. Tangan
kiri saya sakit, Pak.” ujarku.
Ia tak menjawab. Ia memberi isyarat
agar aku meletakkan di pangkuannya. Aku dapat melihat jika ia pun terluka serius.
Segera kuletakkan sang anak perlahan. Merogoh saku celana jeansku, dan
mengeluarkan handphone. Mencoba menyalakannya, tapi mati. Handphone
ini lowbat. Aku menggerutu tidak karuan. Menyesali,
mengapa perangkat yang secanggih dan semahal ini bahkan tidak bisa diandalkan
dalam kondisi genting ini. Aku melihat seorang pria berbadan tegap sedang sibuk
menolong beberapa orang. Paha kirinya terluka sehingga ia berjalan sambil
menyeret kakinya.
“Mas, hayoo bantuin, di dalam
pesawat masih banyak orang yang butuh bantuan kita!” teriak pria itu.
Aku melirik bapak yang memangku
sang anak. Aku tak tega meninggalkan anak itu. Ia tak menangis lagi. Ia bahkan
tak mengeluarkan suara. Hanya gerakan kaki dan tangannya yang membuatku tahu
jika ia masih hidup. Aku menelan ludah kegetiran. Si bapak memberi isyarat
dengan tangannya agar aku mengikuti pria tadi. Masuk ke dalam pesawat dan
membantu yang lainnya. Dengan langkah gontai aku segera menyusul masuk ke dalam
pesawat.
***
Aku terduduk lesu bersandar pada
pohon. Menatap pada pesawat yang hampir seluruh bagian depannya hancur. Ia
menabrak pohon besar. Hatiku menjerit. Entah perasaan apa yang kini bersemayam
dalam hatiku. Aku merasa begitu bersalah tak mampu menyelamatkan sang anak
tadi. Ia sudah tak bernafas lagi saat aku kembali. Sementara bapak yang
menggendongnya pun kini tak bernyawa. Tak terasa air mata menguap di pelupuk mataku. Entah berapa banyak
penumpang yang meninggal. Aku melirik gadis muda yang kuberi senter tadi. Kini
ia menangis histeris. Entah apa yang sedang terjadi padanya.
Aku melihat
pemandangan yang sangat menyayat hatiku. Penumpang yang masih hidup, semuanya
terluka. Mereka semua kebingungan sama sepertiku. Yang perempuan menangis
menjerit-jerit. Sementara pria pun demikian, ada yang menangis sambil memegangi
rambutnya. Aku tak tahu penyebab pastinya mengapa pesawat ini terjatuh.
Sepertinya, bertanya juga percuma saja. Mungkin diantara mereka ada yang
kehilangan keluarganya. Aku harus berbuat sesuatu. Meski aku sebagai dokter
kandungan, setidaknya aku bisa membantu pengobatan dengan obat-obatan yang ada
di tasku tadi. Tapi aku sadar, tas itu kutinggalkan di kabin pesawat.
“Pak,
jangan kembali ke dalam, bahaya!” teriak seorang pria berkacamata tak jauh
dariku.
“Saya harus
mengambil tas, Pak. Ada obat-obatan yang mungkin bisa berguna.”
“Jangan,
Pak! Saya khawatir pesawat akan meledak. Lebih baik kita semua mencari cara
agar posisi jatuhnya pesawat kita bisa diketahui secepatnya.”
Mendengar
ucapan bapak itu, membuat aku jadi meragu. Bagaimana jika saat aku masuk ke
dalam pesawat terjadi ledakan? Tapi melihat begitu banyak yang terluka dan
butuh pertolongan membuatku jadi galau. Aku sadar, kami semua berada di hutan
belantara. Dalam kondisi kami yang sedang kritis, ancaman dari binatang buas
pun membuatku semakin kalut. Hatiku semakin getir takkala melihat sekelilingku.
Wajah-wajah penuh luka dengan tangisan histeris kehilangan sanak keluarga
menjadi pemandangan yang sangat menyayat hati.
“Apakah ada
diantara saudara-saudara semua mempunyai
handphone yang masih aktif?” aku
berteriak agar semua mendengarku.
“Handphone saya aktif, Pak! Tapi tidak
ada sinyal di sini.” jawab seorang pria berbadan ceking yang tak jauh dariku.
“Sama, handphone saya juga aktif. Tapi percuma,
tidak ada sinyal, mungkin karena kita berada di hutan
belantara seperti ini.” ujar seorang lagi menimpali.
Pikiranku
semakin kalut. Aku kini merasakan berada diantara wajah-wajah tanpa senyuman.
Tergambar jelas di wajah-wajah mereka kegalauan. Air mata, tangisan histeris,
wajah-wajah penuh ketegangan. Sementara aku, ada kesedihan yang begitu mendalam
ketika wajah adikku Lianti menggelayut di pelupuk mataku. Membayangkan
pernikahannya tanpa kehadiranku, akan seperti apa rasanya. Atau mungkin saat
ini ia sedang menangis histeris, karena ia mengetahui bahwa pesawat yang aku
tumpangi mengalami kecelakaan.
Aku menghela
nafas yang panjang. Betapa kematian begitu mengerikan dengan cara seperti ini. Kematian
itu kini terpampang jelas di depan mataku. Aku teringat sebuah buku yang pernah
aku baca; “Hidup itu hanyalah misteri.
Kematian adalah hal yang pasti. Tapi kematian itu tidak mengenal waktu, maupun
usia. Ia bisa datang kapan saja, di mana saja, atas kehendak Sang Pencipta.
Maka dari itu, syukurilah dan buatlah setiap moment yang indah dalam hidupmu
selagi nafas masih di raga,” dan kini kurasakan itu semua benar adanya. Ya
Allah, berilah aku kesempatan untuk membahagiakan orang-orang terdekatku
sebelum aku mati, doaku.
Seseorang
berteriak agar kita harus segera ke luar dari hutan belantara ini dan mencari
bantuan. Banyak yang tak bergeming, saling memandang. Mungkin ada yang berpikir
dengan luka serius seperti ini, mana mungkin kita bisa berjalan jauh. Aku galau,
sebagai seorang dokter aku malah tak bisa berbuat banyak. Aku bangkit dan
berdiri meski lengan kiriku terasa sakit sekali.
“Hayooo… Saudara-saudara
semuanya, kita harus semangat! Kita tidak mungkin hanya berdiam diri seperti
ini menunggu bantuan yang entah kapan akan datang.” teriakku menimpali teriakan
dari seseorang tadi.
“Iya kita
harus survive, kita tidak boleh
menyerah dengan keadaan ini! Kita harus segera mencari bantuan, dengan cara apapun!” si gadis muda menimpali
ikut memberi semangat.
“Tapi bagaimana
dengan mayat-mayat di dalam sana? Ada mayat Ayahku di dalam pesawat! Apakah aku
harus meninggalkanya?!” teriak seorang perempuan lagi sambil histeris. Rambut
panjangnya berwarna merah. Merah oleh darah yang masih mengalir dan perlahan
jatuh di pipinya.
Aku menelan
ludah kegetiran mendengar teriakan histeris perempuan itu. Semua lalu saling
memandang. Tapi kita tidak mungkin akan terus bertahan di hutan belantara ini
tanpa melakukan sesuatu. Kita harus ke luar dan mencari bantuan. Seorang bapak
kemudian bangkit berdiri. Kakinya berdarah. Dagu sebelah kanan pun terlihat
luka yang besar.
“Kita tidak
mungkin akan terus bertahan di sini! Kita harus segera meninggalkan tempat ini
dan mencari bantuan! Setelahnya, nanti kita barulah kembali ke sini untuk mengurus
mayat keluarga kita. Hayo mari kita semua berjalan, kita harus saling bahu-membahu,
cepat sebelum waktu kita habis di sini!” teriak bapak itu.
Aku lalu
menanyakan siapa yang memiliki korek api. Beruntunglah ada seorang anak muda
yang memilkinya lengkap dengan sebungkus rokoknya. Aku lalu berjalan menuju
diantara dua pohon. Dibantu yang lain, aku mengumpulkan dahan-dahan pohon yang
patah, rumput, apapun yang bisa terbakar. Dengan susah payah api akhirnya
menyala. Menciptakan gumpalan asap hitam yang menembus rimbunan daun dan pohon,
lalu menyebar segera menuju ke awan. Aku berharap ini bisa menjadi sebuah tanda
keberadaan kami.
Lalu dengan
kekuatan yang masih tersisa, kami mencoba berjalan. Saling bantu-membantu.
Penumpang yang terluka serius dan tak mampu berjalan, di bopong oleh yang masih
kuat. Jumlah kami semua 21 orang. “Ya,
Allah berilah kami kekuatan dan keselamatan agar kami bisa melewati semua ini,”
doaku dalam hati. Kami semua berjalan menyusuri hutan belantara. Kini
terpampang jelas wajah-wajah kami penuh galau. Semua berharap bantuan segera
tiba dan mengakhiri perjalanan penuh kegetiran ini.
THE END